Pelaku Usaha Keluhkan Perda Pelarangan Pemajangan Rokok
A
A
A
JAKARTA - Sejumlah pedagang mengeluhkan Peraturan Daerah (Perda) No 12 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Bogor, yang melarang pemajangan produk rokok di toko. Pedagang kelontong di Kota Bogor, Agus mengaku tidak mengetahui adanya sosialisasi ketentuan peraturan tersebut oleh Pemerintah Kota Bogor.
Dia dan pedagang kelontong lainnya merasa khawatir dengan larangan pemajangan produk rokok di toko yang berpotensi mengurangi omzet. "Pedagang inginnya ya memajang barang dagangannya. Kalau tidak dipajang, pembeli kadang bingung akan barang yang bisa dibeli di toko tersebut. Peraturan ini tidak jelas, kami pun jadi khawatir bagaimana pelaksanaan ke depannya," ujar Agus di Jakarta, Selasa (14/11/2017).
Diharapkan ke depannya, pedagang kecil juga diajak untuk merumuskan peraturan yang berpotensi memengaruhi pendapatan mereka. Dengan demikian, pemerintah bisa mendapatkan gambaran penuh mengenai kondisi di lapangan.
Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis menyatakan dalam kacamata hukum, larangan ini juga dinilai sebagai aturan yang kebablasan. Pasalnya, aturan tersebut bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi, yakni Peraturan Pemerintah (PP) No 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
Dalam PP tersebut, penjual tetap diperbolehkan untuk memajang produk rokok di tempat penjualan. Hukum Indonesia menganut asas lex superior derogat legi inferior, yaitu bahwa peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan yang lebih rendah. Secara hirearkis, peraturan pemerintah lebih tinggi ketimbang peraturan daerah.
"Aturan tidak boleh mengedepankan satu kelompok, lalu meminggirkan kelompok lain," ujar dia.
Idealnya, kata dia, Perda dirancang dengan mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk aspek kesehatan, ekonomi dan keberlangsungan usaha warga Bogor yang bergantung pada industri ritel.
Dia dan pedagang kelontong lainnya merasa khawatir dengan larangan pemajangan produk rokok di toko yang berpotensi mengurangi omzet. "Pedagang inginnya ya memajang barang dagangannya. Kalau tidak dipajang, pembeli kadang bingung akan barang yang bisa dibeli di toko tersebut. Peraturan ini tidak jelas, kami pun jadi khawatir bagaimana pelaksanaan ke depannya," ujar Agus di Jakarta, Selasa (14/11/2017).
Diharapkan ke depannya, pedagang kecil juga diajak untuk merumuskan peraturan yang berpotensi memengaruhi pendapatan mereka. Dengan demikian, pemerintah bisa mendapatkan gambaran penuh mengenai kondisi di lapangan.
Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis menyatakan dalam kacamata hukum, larangan ini juga dinilai sebagai aturan yang kebablasan. Pasalnya, aturan tersebut bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi, yakni Peraturan Pemerintah (PP) No 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
Dalam PP tersebut, penjual tetap diperbolehkan untuk memajang produk rokok di tempat penjualan. Hukum Indonesia menganut asas lex superior derogat legi inferior, yaitu bahwa peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan yang lebih rendah. Secara hirearkis, peraturan pemerintah lebih tinggi ketimbang peraturan daerah.
"Aturan tidak boleh mengedepankan satu kelompok, lalu meminggirkan kelompok lain," ujar dia.
Idealnya, kata dia, Perda dirancang dengan mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk aspek kesehatan, ekonomi dan keberlangsungan usaha warga Bogor yang bergantung pada industri ritel.
(akr)