Telaga di Atas Awan, Kiat Gunungkidul Membasahi Kekeringan
A
A
A
GUNUNGKIDUL - Apa yang ada di benak Anda ketika mendengar nama Gunungkidul? Kering, tandus, dan sulitnya mencari air. Tunggu, itu zaman old alias sudah basi. Seiring dengan penemuan sumber mata air, Kabupaten Gunungkidul di Daerah Istimewa Yogyakarta bersalin wajah menjadi kawasan hijau dimana banyak sawah padi dan palawija baris-berbaris.
Ketua DPRD Gunungkidul Suharno menceritakan sejak program air sungai bawah tanah Bribin pada 2009, secara berangsur-angsur Gunungkidul mulai berbenah. "Ini berkah dari Allah bahwa kami diberi sumber mata air, tinggal bagaimana kami mengelolanya dengan baik," ujar politisi PDI Perjuangan ini kepada SINDOnews, Selasa (14/11/2017).
Proyek Bribin ini merupakan ikhtiar dari Pemprov Yogyakarta, Pemkab Gunungkidul, dan Kementerian Pekerjaan Umum (sekarang PUPR) yang menggandeng Karlsruhe Institute of Technology Jerman untuk pengadaan Integrated Water Resources Management (IWRM). Meski kontrak sudah selesai tahun 2014 silam, namun program airisasi terus dilanjutkan.
"Saat ini program airisasi ini sudah mencapai 70% kepada masyarakat. Tahun 2020, kami targetkan sudah bisa 100%. Seperti halnya listrik yang kini sudah 100%, diantaranya dengan pembangunan pembangkit tenaga surya," terangnya.
Menurut Suharno, selain melakukan program airisasi dengan sistem tenaga hidrolik yang mengangkat air dari sumber mata air bawah tanah, Gunungkidul juga sedang mengembangkan program embung raksasa alias Embung Sriten. Menariknya, Embung Sriten ini juga merupakan lokasi wisata yang terdapat di kawasan perbukitan Batur Agung. Sehingga menjadi telaga buatan tertinggi di Yogyakarta.
Baca Juga: Miliki 121 Pantai, Potensi Wisata Gunungkidul Menjanjikan
"Jadi kami mengangkat air dari sumber mata air di bawahnya kemudian juga menampung air hujan ke embung ini. Lalu ada teknologi untuk irigasi dan pengairan air bersih ke masyarakat," sambung dia.
Dengan adanya telaga di atas awan ini yang memberikan pengairan ke masyarakat dan petani, kata dia, maka pertanian di Gunungkidul pun meningkat. Dari semula satu kali masa cocok tanam sekarang menjadi dua kali masa cocok tanam dalam setahun. Begitu pula lahan pertanian yang mencapai 1.500 hektare, dengan capaian setiap hektare sebanyak 180 kuintal beras.
Pencapaian ini membuat warga Gunungkidul tidak lagi identik dengan konsumsi gaplek dan tiwul. Meski demikian, untuk melestarikan tradisi, maka masyarakat mengemas gaplek dan tiwul dengan kekinian. Tiwul dan gaplek instan ini bisa dijual hingga Rp100 ribu per kilogram.
Suharno berharap ke depan, di masa kepemimpinan Gunungkidul yang akan datang, selain meningkatkan pertanian, juga bisa meningkatkan usaha kecil menengah (UKM) dengan membangun sentra-sentra seni budaya seperti kerajinan gamelan. Sehingga ada desa-desa penghasil pengrajin gamelan untuk melestarikan budaya Jawa yang merupakan bagian dari kekayaan Indonesia.
Ketua DPRD Gunungkidul Suharno menceritakan sejak program air sungai bawah tanah Bribin pada 2009, secara berangsur-angsur Gunungkidul mulai berbenah. "Ini berkah dari Allah bahwa kami diberi sumber mata air, tinggal bagaimana kami mengelolanya dengan baik," ujar politisi PDI Perjuangan ini kepada SINDOnews, Selasa (14/11/2017).
Proyek Bribin ini merupakan ikhtiar dari Pemprov Yogyakarta, Pemkab Gunungkidul, dan Kementerian Pekerjaan Umum (sekarang PUPR) yang menggandeng Karlsruhe Institute of Technology Jerman untuk pengadaan Integrated Water Resources Management (IWRM). Meski kontrak sudah selesai tahun 2014 silam, namun program airisasi terus dilanjutkan.
"Saat ini program airisasi ini sudah mencapai 70% kepada masyarakat. Tahun 2020, kami targetkan sudah bisa 100%. Seperti halnya listrik yang kini sudah 100%, diantaranya dengan pembangunan pembangkit tenaga surya," terangnya.
Menurut Suharno, selain melakukan program airisasi dengan sistem tenaga hidrolik yang mengangkat air dari sumber mata air bawah tanah, Gunungkidul juga sedang mengembangkan program embung raksasa alias Embung Sriten. Menariknya, Embung Sriten ini juga merupakan lokasi wisata yang terdapat di kawasan perbukitan Batur Agung. Sehingga menjadi telaga buatan tertinggi di Yogyakarta.
Baca Juga: Miliki 121 Pantai, Potensi Wisata Gunungkidul Menjanjikan
"Jadi kami mengangkat air dari sumber mata air di bawahnya kemudian juga menampung air hujan ke embung ini. Lalu ada teknologi untuk irigasi dan pengairan air bersih ke masyarakat," sambung dia.
Dengan adanya telaga di atas awan ini yang memberikan pengairan ke masyarakat dan petani, kata dia, maka pertanian di Gunungkidul pun meningkat. Dari semula satu kali masa cocok tanam sekarang menjadi dua kali masa cocok tanam dalam setahun. Begitu pula lahan pertanian yang mencapai 1.500 hektare, dengan capaian setiap hektare sebanyak 180 kuintal beras.
Pencapaian ini membuat warga Gunungkidul tidak lagi identik dengan konsumsi gaplek dan tiwul. Meski demikian, untuk melestarikan tradisi, maka masyarakat mengemas gaplek dan tiwul dengan kekinian. Tiwul dan gaplek instan ini bisa dijual hingga Rp100 ribu per kilogram.
Suharno berharap ke depan, di masa kepemimpinan Gunungkidul yang akan datang, selain meningkatkan pertanian, juga bisa meningkatkan usaha kecil menengah (UKM) dengan membangun sentra-sentra seni budaya seperti kerajinan gamelan. Sehingga ada desa-desa penghasil pengrajin gamelan untuk melestarikan budaya Jawa yang merupakan bagian dari kekayaan Indonesia.
(ven)