Tarif Batas Bawah Tiket Pesawat Kelas Ekonomi Dinilai Perlu Direvisi
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Perhubungan (Kemenhub) saat ini masih mengkaji kenaikan batas bawah tarif pesawat kelas ekonomi. Langkah ini diambil untuk menjamin keselamatan penerbangan. Pasalnya, kenaikan tarif batas bawah ini dapat mengimbangi biaya operasional.
Pengamat penerbangan Alvin Lie menuturkan, peraturan tarif batas bawah dan tarif batas atas maskapai ini bukan barang baru dan sudah lama berlaku. Salah satu alasan Kemenhub menerapkan kebijakan tersebut, yaitu untuk mencegah terjadinya perang harga antar maskapai yang beroperasi di Indonesia.
"Tanpa pembatasan harga minimal (batas bawah), airlines akan terlibat perang harga. Saling banting harga tiket dan dalam prosesnya, maskapai akan melakukan sejumlah 'penghematan' yang ujung-ujungnya berpotensi melakukan penghematan yang seharusnya tidak boleh dilakukan, yaitu hal-hal terkait perawatan pesawat dan hal-hal teknis lainnya yang dapat berdampak pada keselamatan penerbangan," katanya kepada wartawan, Jakarta, Rabu (15/11/2017).
Alvin Lie yang juga Anggota Ombudsman Republik Indonesia (ORI) ini menuturkan, secara reguler tarif batas bawah dan tarif batas atas ini besarannya harus ditinjau ulang. Sebab, ada beberapa komponen yang harus menjadi bahan pertimbangan pemerintah untuk merevisi tarif batas bawah tersebut, misalnya nilai tukar rupiah, harga bahan bakar dan biaya-biaya operasional lainnya.
"Sehingga diharapkan agar batas bawah tetap feasible, tetap dapat menghidupi maskapai untuk beroperasi secara normal. Jadi ini bukan barang baru, hanya nilainya memang perlu direvisi agar sesuai dengan kondisi perekonomian saat ini," terangnya.
Sementara itu Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi, menegaskan jika tarif bawah maskapai direvis dari 30% menjadi 40%, maka hal ini harus berbanding lurus dengan pelayanan maskapai yang diberikan kepada penumpang. "Standar pelayanan pesawat harus ditingkatkan. Misalnya, soal kompensasi terhadap keterlambatan," ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi mengatakan, peningkatan tarif batas bawah tersebut dilakukan untuk meningkatkan keselamatan penerbangan.
"Kalau namanya penerbangan ada harga pokok. Harga pokok ini ada hubungan dengan safety. Bagaimana mungkin orang punya taksi kalau enggak bisa bayar ban. Jadi 40% itu suatu harga yang favourable yang beri suatu kepastian terjaminnya safety," kata Budi beberapa waktu lalu.
Menurutnya, kebijakan kenaikan tarif batas bawah tersebut sudah dibahas dengan para maskapai penerbangan. Mereka pun merasa tak keberatan dengan rencana tersebut. "Sudah didiskusikan dengan maskapai penerbangan. Itu revisi kita mampu bersaing internasional. Kadang itu (keselamatan) diabaikan," tuturnya.
Sebagai informasi, penetapan tarif batas bawah mengacu pada Peraturan Manteri Perhubungan Nomor 14 Tahun 2016 tentang mekanisme perhitungan dan penetapan tarif batas atas dan bawah. Dalam aturan itu, tarif batas bawah tiket kelas ekonomi sebesar 30% dari tarif termahal. Sehingga jika terjadi kenaikan 10%, tarif terendah tiket pesawat dipatok minimal sebesar 40% dari tiket termahal.
Pengamat penerbangan Alvin Lie menuturkan, peraturan tarif batas bawah dan tarif batas atas maskapai ini bukan barang baru dan sudah lama berlaku. Salah satu alasan Kemenhub menerapkan kebijakan tersebut, yaitu untuk mencegah terjadinya perang harga antar maskapai yang beroperasi di Indonesia.
"Tanpa pembatasan harga minimal (batas bawah), airlines akan terlibat perang harga. Saling banting harga tiket dan dalam prosesnya, maskapai akan melakukan sejumlah 'penghematan' yang ujung-ujungnya berpotensi melakukan penghematan yang seharusnya tidak boleh dilakukan, yaitu hal-hal terkait perawatan pesawat dan hal-hal teknis lainnya yang dapat berdampak pada keselamatan penerbangan," katanya kepada wartawan, Jakarta, Rabu (15/11/2017).
Alvin Lie yang juga Anggota Ombudsman Republik Indonesia (ORI) ini menuturkan, secara reguler tarif batas bawah dan tarif batas atas ini besarannya harus ditinjau ulang. Sebab, ada beberapa komponen yang harus menjadi bahan pertimbangan pemerintah untuk merevisi tarif batas bawah tersebut, misalnya nilai tukar rupiah, harga bahan bakar dan biaya-biaya operasional lainnya.
"Sehingga diharapkan agar batas bawah tetap feasible, tetap dapat menghidupi maskapai untuk beroperasi secara normal. Jadi ini bukan barang baru, hanya nilainya memang perlu direvisi agar sesuai dengan kondisi perekonomian saat ini," terangnya.
Sementara itu Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi, menegaskan jika tarif bawah maskapai direvis dari 30% menjadi 40%, maka hal ini harus berbanding lurus dengan pelayanan maskapai yang diberikan kepada penumpang. "Standar pelayanan pesawat harus ditingkatkan. Misalnya, soal kompensasi terhadap keterlambatan," ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi mengatakan, peningkatan tarif batas bawah tersebut dilakukan untuk meningkatkan keselamatan penerbangan.
"Kalau namanya penerbangan ada harga pokok. Harga pokok ini ada hubungan dengan safety. Bagaimana mungkin orang punya taksi kalau enggak bisa bayar ban. Jadi 40% itu suatu harga yang favourable yang beri suatu kepastian terjaminnya safety," kata Budi beberapa waktu lalu.
Menurutnya, kebijakan kenaikan tarif batas bawah tersebut sudah dibahas dengan para maskapai penerbangan. Mereka pun merasa tak keberatan dengan rencana tersebut. "Sudah didiskusikan dengan maskapai penerbangan. Itu revisi kita mampu bersaing internasional. Kadang itu (keselamatan) diabaikan," tuturnya.
Sebagai informasi, penetapan tarif batas bawah mengacu pada Peraturan Manteri Perhubungan Nomor 14 Tahun 2016 tentang mekanisme perhitungan dan penetapan tarif batas atas dan bawah. Dalam aturan itu, tarif batas bawah tiket kelas ekonomi sebesar 30% dari tarif termahal. Sehingga jika terjadi kenaikan 10%, tarif terendah tiket pesawat dipatok minimal sebesar 40% dari tiket termahal.
(akr)