Holding Tambang, BUMN Perlu Diskusi dengan DPR
A
A
A
JAKARTA - Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, Inas Nasrullah Zubir mendukung rencana holding BUMN pertambangan, selama holding ini masih dalam kerangka UU yang berlaku.
"Tidak ada masalah. Tapi perlu ada koreksi dan didiskusikan dulu dengan DPR," katanya di Jakarta, Selasa (28/11/2017).
Pihaknya menyadari terjadinya pro dan kontra di kalangan anggota DPR terkait hglding BUMN tersebut. Hal ini dinilai wajar sebagai hak masing masing fraksi maupun anggota DPR.
Maka, dalam waktu dekat Komisi VI DPR RI akan meminta pemerintah melalui Kementerian BUMN memberikan penjelasan lebih rinci. Apalagi, pemerintah terkesan kurang konsisten.
Dia menuturkan, saat melakukan penyertaan modal negara non-tunai untuk PT Djakarta Lloyd, pemerintah meminta persetujuan DPR. Namun, untuk holding BUMN Tambang ini, pemerintah tidak meminta persetujuan DPR.
"PP No 47/2017 memutuskan penyertaan modal negara ke PT Inalum dalam bentuk non-tunai. Ini sama dengan kasus Djakarta Lloyd. Tapi mengapa untuk Inalum tidak meminta persetujuan DPR, ini tidak konsisten," imbuhnya.
Pemerintah melalui Kementerian BUMN diharapkan segera memberi penjelasan ke DPR dalam rapat kerja Komisi VI DPR dengan Kementerian BUMN yang dijadwalkan awal Desember.
Pihaknya mengakui bahwa DPR tidak mempunyai kewenangan untuk intervensi terhadap PP No 47 Tahun 2017 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke Dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT Indonesia Asahan Aluminium, karena tidak diatur dalam UU.
Untuk diketahui, sesuai PP 47/2017, saham negara di tiga BUMN yakni PT Aneka Tambang Tbk (65%), PT Bukit Asam Tbk (65,02%), dan PT Timah Tbk (65%) dialihkan atau ditambahkan dalam penambahan penyertaan modal negara ke PT Inalum (Persero).
Pertama, 15.619.999.999 saham Seri B di PT Aneka Tambang Tbk. Kedua, 1.498.087.499 saham Seri B di PT Bukit Asam Tbk, kemudian 4.841.053.951 saham Seri B di PT Timah Tbk, dan 21.300 saham di PT Freeport Indonesia.
"Tidak ada masalah. Tapi perlu ada koreksi dan didiskusikan dulu dengan DPR," katanya di Jakarta, Selasa (28/11/2017).
Pihaknya menyadari terjadinya pro dan kontra di kalangan anggota DPR terkait hglding BUMN tersebut. Hal ini dinilai wajar sebagai hak masing masing fraksi maupun anggota DPR.
Maka, dalam waktu dekat Komisi VI DPR RI akan meminta pemerintah melalui Kementerian BUMN memberikan penjelasan lebih rinci. Apalagi, pemerintah terkesan kurang konsisten.
Dia menuturkan, saat melakukan penyertaan modal negara non-tunai untuk PT Djakarta Lloyd, pemerintah meminta persetujuan DPR. Namun, untuk holding BUMN Tambang ini, pemerintah tidak meminta persetujuan DPR.
"PP No 47/2017 memutuskan penyertaan modal negara ke PT Inalum dalam bentuk non-tunai. Ini sama dengan kasus Djakarta Lloyd. Tapi mengapa untuk Inalum tidak meminta persetujuan DPR, ini tidak konsisten," imbuhnya.
Pemerintah melalui Kementerian BUMN diharapkan segera memberi penjelasan ke DPR dalam rapat kerja Komisi VI DPR dengan Kementerian BUMN yang dijadwalkan awal Desember.
Pihaknya mengakui bahwa DPR tidak mempunyai kewenangan untuk intervensi terhadap PP No 47 Tahun 2017 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke Dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT Indonesia Asahan Aluminium, karena tidak diatur dalam UU.
Untuk diketahui, sesuai PP 47/2017, saham negara di tiga BUMN yakni PT Aneka Tambang Tbk (65%), PT Bukit Asam Tbk (65,02%), dan PT Timah Tbk (65%) dialihkan atau ditambahkan dalam penambahan penyertaan modal negara ke PT Inalum (Persero).
Pertama, 15.619.999.999 saham Seri B di PT Aneka Tambang Tbk. Kedua, 1.498.087.499 saham Seri B di PT Bukit Asam Tbk, kemudian 4.841.053.951 saham Seri B di PT Timah Tbk, dan 21.300 saham di PT Freeport Indonesia.
(izz)