KKKS Tak Boleh Beri Ganti Rugi ke Penambang Minyak Ilegal
A
A
A
JAKARTA - DPR menegaskan bahwa penertiban pengeboran sumur minyak secara liar di wilayah kerja yang dikelola oleh PT Pertamina (Persero) maupun kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) lainnya tidak disertai kewajiban memberi ganti rugi.
Pasalnya, tindakan penambang liar yang menyerobot sumur minyak milik negara di wilayah kerja yang dikelola KKKS jelas melanggar hukum. Para pemangku kepentingan di industri hulu migas hanya perlu bekerja sama secara kontinyu menyosialisasikan dampak kegiatan pengeboran sumur minyak secara liar.
“Namanya juga ilegal, liar. Pertamina atau KKKS lain tak boleh mengeluarkan dana untuk kegiatan ilegal. Yang diperlukan adalah sosialisasi kegiatan penyerobotan dan pengeboran sumur minyak. Itu tugas semuanya, terutama pemerintah dan SKK Migas serta KKKS,” ujar Wakil Ketua Komisi VII DPR Satya W Yudha di Jakarta, Rabu (13/12/2017).
Satya menegaskan, migas adalah domain pemerintah pusat. Karena itu, segala aktivitasnya, termasuk pengeboran, dilakukan oleh otoritas yang ditunjuk pemerintah pusat, yaitu KKKS. Apabila masyarakat kemudian mengebor, apalagi menyerobot sumur minyak negara, maka aktivitas tersebut jelas ilegal.
“Itu yang harus ditindak dan disosialisasikan sehingga masyarakat paham apa yang mereka lakukan. Kalaupun ada dana CSR (corporate social responsibility) yang dikeluarkan KKKS, itu bukan berarti pengganti dari kegiatan illegal drilling,” paparnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, pada 21 November 2017, Polres Musi Banyuasin dibantu oleh SKK Migas, Pertamina EP Asset 1 Field Ramba (unit operasional PT Pertamina EP), Satpol PP Muba, Kodim Muba, dan Dinas ESDM Sumatera Selatan, menutup 20 sumur minyak liar di Mangunjaya, Kecamatan Babat Toman.
Penutupan sumur tersebut mendapat tentangan oknum penambang liar. Bahkan, sehari setelah penutupan, dua sumur dibuka kembali oleh penambang liar. Mereka bahkan menuntut ganti rugi atas modal yang dikeluarkan untuk menambang sumur di wilayah kerja Pertamina EP Asset 1 Field Ramba, selain meminta legalisasi atas kegiatan penambangan.
Pakar hukum migas dari Universitas Airlangga Imam Prihandono menambahkan, sumur minyak yang berada di wilayah kerja KKKS merupakan objek vital nasional sehingga diperlukan penjagaan yang ketat. Namun, kata dia, aparat kepolisian dan petugas keamanan perlu memiliki standar prosedur operasi yang jelas.
“Ini terkait dengan kapan mengambil tindakan keras dan penggunaan senjata agar tidak terjadi pelanggaran,” jelasnya.
Pengamat dan praktisi hukum migas Hakim Nasution juga sepakat dengan pernyataan DPR yang meminta Pertamina tidak memenuhi tuntutan penambang liar yang meminta kompensasi. “Jika tuntutan dipenuhi akan menciptakan preseden buruk dan akan memberikan pesan yang salah kepada para pelanggar lainnya,” tegasnya.
Sementara, pakar CSR Risna Resnawaty menilai sosialisasi bahaya pengeboran minyak secara liar harus paralel dengan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar tambang. Persoalan ini menurutnya adalah tanggung jawab bersama setiap pemangku kepentingan di bidang migas.
“Pemerintah dalam hal ini harus mengambil inisiatif terbesar. Mengapa pemerintah, sebab penanggung jawab pelaksanaan pembangunan adalah pemerintah. Sementara perusahaan dapat memberikan kontribusi sesuai dengan kemampuannya,” ujar Risna.
Pasalnya, tindakan penambang liar yang menyerobot sumur minyak milik negara di wilayah kerja yang dikelola KKKS jelas melanggar hukum. Para pemangku kepentingan di industri hulu migas hanya perlu bekerja sama secara kontinyu menyosialisasikan dampak kegiatan pengeboran sumur minyak secara liar.
“Namanya juga ilegal, liar. Pertamina atau KKKS lain tak boleh mengeluarkan dana untuk kegiatan ilegal. Yang diperlukan adalah sosialisasi kegiatan penyerobotan dan pengeboran sumur minyak. Itu tugas semuanya, terutama pemerintah dan SKK Migas serta KKKS,” ujar Wakil Ketua Komisi VII DPR Satya W Yudha di Jakarta, Rabu (13/12/2017).
Satya menegaskan, migas adalah domain pemerintah pusat. Karena itu, segala aktivitasnya, termasuk pengeboran, dilakukan oleh otoritas yang ditunjuk pemerintah pusat, yaitu KKKS. Apabila masyarakat kemudian mengebor, apalagi menyerobot sumur minyak negara, maka aktivitas tersebut jelas ilegal.
“Itu yang harus ditindak dan disosialisasikan sehingga masyarakat paham apa yang mereka lakukan. Kalaupun ada dana CSR (corporate social responsibility) yang dikeluarkan KKKS, itu bukan berarti pengganti dari kegiatan illegal drilling,” paparnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, pada 21 November 2017, Polres Musi Banyuasin dibantu oleh SKK Migas, Pertamina EP Asset 1 Field Ramba (unit operasional PT Pertamina EP), Satpol PP Muba, Kodim Muba, dan Dinas ESDM Sumatera Selatan, menutup 20 sumur minyak liar di Mangunjaya, Kecamatan Babat Toman.
Penutupan sumur tersebut mendapat tentangan oknum penambang liar. Bahkan, sehari setelah penutupan, dua sumur dibuka kembali oleh penambang liar. Mereka bahkan menuntut ganti rugi atas modal yang dikeluarkan untuk menambang sumur di wilayah kerja Pertamina EP Asset 1 Field Ramba, selain meminta legalisasi atas kegiatan penambangan.
Pakar hukum migas dari Universitas Airlangga Imam Prihandono menambahkan, sumur minyak yang berada di wilayah kerja KKKS merupakan objek vital nasional sehingga diperlukan penjagaan yang ketat. Namun, kata dia, aparat kepolisian dan petugas keamanan perlu memiliki standar prosedur operasi yang jelas.
“Ini terkait dengan kapan mengambil tindakan keras dan penggunaan senjata agar tidak terjadi pelanggaran,” jelasnya.
Pengamat dan praktisi hukum migas Hakim Nasution juga sepakat dengan pernyataan DPR yang meminta Pertamina tidak memenuhi tuntutan penambang liar yang meminta kompensasi. “Jika tuntutan dipenuhi akan menciptakan preseden buruk dan akan memberikan pesan yang salah kepada para pelanggar lainnya,” tegasnya.
Sementara, pakar CSR Risna Resnawaty menilai sosialisasi bahaya pengeboran minyak secara liar harus paralel dengan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar tambang. Persoalan ini menurutnya adalah tanggung jawab bersama setiap pemangku kepentingan di bidang migas.
“Pemerintah dalam hal ini harus mengambil inisiatif terbesar. Mengapa pemerintah, sebab penanggung jawab pelaksanaan pembangunan adalah pemerintah. Sementara perusahaan dapat memberikan kontribusi sesuai dengan kemampuannya,” ujar Risna.
(fjo)