Dedolarisasi Membara! Morgan Stanley Ungkap 3 Alasan Dominasi Dolar AS Tak Akan Pudar
loading...
A
A
A
JAKARTA - Status dolar Amerika Serikat (USD) sebagai mata uang utama bank sentral dan untuk perdagangan internasional, diyakini oleh Morgan Stanley tidak akan segera memudar. Sementara itu belakangan fenomena dedolarisasi terus menggema karena tingginya inflasi serta ketidakpastian global.
Salah satu yang antusias membuang dolar AS adalah aliansi BRICS, yaitu Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan yang pada tahun lalu memperluas keanggotaan mereka. Deretan negara berkembang tersebut bergerak untuk berupaya menggantikan dolar AS yang biasanya digunakan sebagai mata uang transaksi bilateral.
Tujuannya untuk melepaskan ketergantungan pada mata uang dolar AS. Langkah tersebut tidak membuat Morgan Stanley khawatir bahwa dolar AS pada akhirnya bisa dicopot sebagai mata uang yang paling banyak dipegang dan paling banyak digunakan di dunia.
Beberapa pengamat memperingatkan, mata uang rival seperti yuan China atau yen Jepang atau bahkan mata uang BRICS bersama dapat mengganggu statistik dolar. Tetapi ahli strategi Morgan Stanley, menerangkan alasan utama dominasi dolar tidak akan hilang dalam waktu dekat:
"Mata uang mana yang ingin Anda miliki ketika pasar saham global mulai turun, dan ekonomi global cenderung menuju resesi? Anda ingin memposisikan dalam dolar AS karena secara historis mempengaruhi nilai tukar terhadap peristiwa semacam itu," ungkap kepala strategi FX bank untuk pasar negara berkembang, James Lord dalam podcast pekan lalu seperti dilansir Business insider.
"Intinya, dolar menjadi Raja yang tidak memiliki penantang," ungkap Michael Zezas, kepala penelitian kebijakan publik AS.
"Tampaknya tidak mungkin untuk menantang dolar AS secara berarti dalam waktu dekat. Untuk melakukannya, kami pikir China perlu melonggarkan kendali mata uangnya dan membuka rekening modal. Tampaknya Beijing tidak ingin melakukan ini dalam waktu dekat," kata Lord.
Selain itu kondisi ekonomi China menjadi pertanyaan, mengingat permintaan konsumen yang melorot dan krisis properti yang sedang berlangsung di negara tersebut.
Salah satu yang antusias membuang dolar AS adalah aliansi BRICS, yaitu Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan yang pada tahun lalu memperluas keanggotaan mereka. Deretan negara berkembang tersebut bergerak untuk berupaya menggantikan dolar AS yang biasanya digunakan sebagai mata uang transaksi bilateral.
Tujuannya untuk melepaskan ketergantungan pada mata uang dolar AS. Langkah tersebut tidak membuat Morgan Stanley khawatir bahwa dolar AS pada akhirnya bisa dicopot sebagai mata uang yang paling banyak dipegang dan paling banyak digunakan di dunia.
Beberapa pengamat memperingatkan, mata uang rival seperti yuan China atau yen Jepang atau bahkan mata uang BRICS bersama dapat mengganggu statistik dolar. Tetapi ahli strategi Morgan Stanley, menerangkan alasan utama dominasi dolar tidak akan hilang dalam waktu dekat:
"Mata uang mana yang ingin Anda miliki ketika pasar saham global mulai turun, dan ekonomi global cenderung menuju resesi? Anda ingin memposisikan dalam dolar AS karena secara historis mempengaruhi nilai tukar terhadap peristiwa semacam itu," ungkap kepala strategi FX bank untuk pasar negara berkembang, James Lord dalam podcast pekan lalu seperti dilansir Business insider.
"Intinya, dolar menjadi Raja yang tidak memiliki penantang," ungkap Michael Zezas, kepala penelitian kebijakan publik AS.
3 faktor yang membuat dolar sebagai mata uang dominan di pasar keuangan:
1. Yuan tidak cukup likuid untuk menantang dolar
Yuan China oleh para pejabat di Beijing telah coba diposisikan sebagai penantang dolar di panggung dunia, namun para ekonomi menilainya tidak cukup likuid untuk benar-benar mengganggu dominasi greenback. Hal itu sebagian karena kontrol modal yang ketat oleh China pada mata uangnya, sehingga membatasi jumlah uang tunai yang dapat dibawa masuk dan keluar dari negara itu."Tampaknya tidak mungkin untuk menantang dolar AS secara berarti dalam waktu dekat. Untuk melakukannya, kami pikir China perlu melonggarkan kendali mata uangnya dan membuka rekening modal. Tampaknya Beijing tidak ingin melakukan ini dalam waktu dekat," kata Lord.
Selain itu kondisi ekonomi China menjadi pertanyaan, mengingat permintaan konsumen yang melorot dan krisis properti yang sedang berlangsung di negara tersebut.