Lemahkan Pengawasan DPR, Holding Dinilai Jadi Ajang Pemburu Rente
A
A
A
JAKARTA - Kebijakan holding BUMN (Badan Usaha Milik Negara) dinilai berpotensi menjadi ajang para pemburu rente, ketika mengabaikan fungsi pengawasan DPR. Selain itu Direktur Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara menerangkan, rencana holding juga melanggar Undang-undang (UU) Keuangan Negara, UU BUMN, dan UU Minerba.
"Holding ini tidak melibatkan DPR padahal ini keputusan penting dan strategis. Tiga perusahaan yang tadinya BUMN dan sekarang dijadikan anak perusahaan PT Inalum, maka dia bukan lagi BUMN dan terhindar dari pengawasan KPK dan BPK," kata Marwan dalam keterangan resmi di Jakarta, Jumat (5/1/2018).
Karena itu menurutnya upaya Menteri BUMN, Rini Soemarno menghindar dari pengawasan DPR serta membuat keuangan tiga perusahaan luput dari BPK dan KPK, disinyalir berpotensi jadi ajang pemburuan rente.
"Kalau perusahaan statusnya BUMN, untungnya masuk pada penerimaan negara, namun sekarang dia bukan lagi BUMN, lalu negara dapat apa? Bisa jadi dengan menghindari pengawasan sehingga jadi ajang pemburuan rente," tegas dia.
Kemudian yang pasti imbuh Marwan, kebijakan holding tambang telah merugikan pihak publik. BUMN yang selama ini memiliki tugas pengabdian sosial/public Service Obligation (PSO), namun dengan holding dan tidak lagi menyandang status BUMN, maka PT Aneka Tambang (Antam), PT Bukit Asam (PT BA) dan PT Timah tidak lagi memiliki kewajiban melakukan PSO.
Selain daripada holding tambang, pemerintah dalam waktu dekat juga akan merealisasikan holding migas dengan mencaplokkan PT PGN menjadi anak perusahaan PT Pertamina. Namun berkaca pada holding tambang yang penuh masalah, bukan tidak mungkin holding migas juga akan mendapat gugatan publik.
"Pada dasarnya saya mendukung upaya penguatan BUMN dengan memperbesar nilai aset, tetapi bukan dengan cara seperti saat ini yang melemahkan sistem pengawasan. Makanya saya turut menggugat, karena kalau dibiarkan, mereka makin merajalela dan nggak karuan," pungkas Maruan yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil penggugat holding tambang.
"Holding ini tidak melibatkan DPR padahal ini keputusan penting dan strategis. Tiga perusahaan yang tadinya BUMN dan sekarang dijadikan anak perusahaan PT Inalum, maka dia bukan lagi BUMN dan terhindar dari pengawasan KPK dan BPK," kata Marwan dalam keterangan resmi di Jakarta, Jumat (5/1/2018).
Karena itu menurutnya upaya Menteri BUMN, Rini Soemarno menghindar dari pengawasan DPR serta membuat keuangan tiga perusahaan luput dari BPK dan KPK, disinyalir berpotensi jadi ajang pemburuan rente.
"Kalau perusahaan statusnya BUMN, untungnya masuk pada penerimaan negara, namun sekarang dia bukan lagi BUMN, lalu negara dapat apa? Bisa jadi dengan menghindari pengawasan sehingga jadi ajang pemburuan rente," tegas dia.
Kemudian yang pasti imbuh Marwan, kebijakan holding tambang telah merugikan pihak publik. BUMN yang selama ini memiliki tugas pengabdian sosial/public Service Obligation (PSO), namun dengan holding dan tidak lagi menyandang status BUMN, maka PT Aneka Tambang (Antam), PT Bukit Asam (PT BA) dan PT Timah tidak lagi memiliki kewajiban melakukan PSO.
Selain daripada holding tambang, pemerintah dalam waktu dekat juga akan merealisasikan holding migas dengan mencaplokkan PT PGN menjadi anak perusahaan PT Pertamina. Namun berkaca pada holding tambang yang penuh masalah, bukan tidak mungkin holding migas juga akan mendapat gugatan publik.
"Pada dasarnya saya mendukung upaya penguatan BUMN dengan memperbesar nilai aset, tetapi bukan dengan cara seperti saat ini yang melemahkan sistem pengawasan. Makanya saya turut menggugat, karena kalau dibiarkan, mereka makin merajalela dan nggak karuan," pungkas Maruan yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil penggugat holding tambang.
(akr)