Alasan Lelang Gula Rafinasi Perlu Ditinjau Ulang
A
A
A
JAKARTA - Kebijakan pemerintah terkait lelang gula rafinasi pada pertengahan Januari ini dinilai perlu ditinjau ulang. Hal ini perlu dilakukan agar kebijakan ini tak menimbulkan masalah dan terkesan memaksakan.
Kepala Bagian Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hizkia Respatiadi mengatakan, lelang gula yang diduga akan melibatkan campur tangan pemerintah dinilai akan menyulitkan kalangan dunia usaha dalam mendapatkan gula tersebut. Terlebih, lelang itu tak akan menyelesaikan karut marut gula rafinasi di tanah air.
"Mereka justru harus mengeluarkan biaya ekstra yang berujung pada bertambahnya ongkos produksi. Biaya ini juga kemungkinan besar akan dibebankan kepada konsumen melalui harga jual produk," tutur Hizkia dalam keterangan resmi di Jakarta, Senin (8/1/2018).
Lebih lanjut Hizkiq menuturkan, setidaknya ada tiga alasan kenapa Gula rafinasi tersebut perlu ditinjau ulang. Pertama, proses lelang akan memunculkan biaya ekstra yang memberatkan para pelaku usaha.
Biarpun harga gula rafinasi lebih murah daripada gula konsumsi, munculnya biaya hambatan ini membuat harga gula rafinasi dapat menyamai harga gula konsumsi. Salah satu contoh biaya ‘tersembunyi’ yang muncul adalah biaya perantara sejumlah Rp85 sampai dengan Rp 100 per kilogram.
Kedua, proses penunjukkan perusahaan yang menjalankan lelang juga tidak transparan. "Selain itu, mewajibkan semua pelaku usaha dari berbagai tingkatan untuk mengikuti lelang gula rafinasi juga tidak efektif. Kita tidak bisa menyamakan kebutuhan mereka," ucap dia
"Kalau pelaku usaha yang tergolong dalam Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) harus membeli sesuai angka minimal yaitu 1 ton, tentu hal ini akan memberatkan ongkos produksi. Kebutuhan UMKM tidak sampai sebanyak itu," pungkasnya.
Kepala Bagian Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hizkia Respatiadi mengatakan, lelang gula yang diduga akan melibatkan campur tangan pemerintah dinilai akan menyulitkan kalangan dunia usaha dalam mendapatkan gula tersebut. Terlebih, lelang itu tak akan menyelesaikan karut marut gula rafinasi di tanah air.
"Mereka justru harus mengeluarkan biaya ekstra yang berujung pada bertambahnya ongkos produksi. Biaya ini juga kemungkinan besar akan dibebankan kepada konsumen melalui harga jual produk," tutur Hizkia dalam keterangan resmi di Jakarta, Senin (8/1/2018).
Lebih lanjut Hizkiq menuturkan, setidaknya ada tiga alasan kenapa Gula rafinasi tersebut perlu ditinjau ulang. Pertama, proses lelang akan memunculkan biaya ekstra yang memberatkan para pelaku usaha.
Biarpun harga gula rafinasi lebih murah daripada gula konsumsi, munculnya biaya hambatan ini membuat harga gula rafinasi dapat menyamai harga gula konsumsi. Salah satu contoh biaya ‘tersembunyi’ yang muncul adalah biaya perantara sejumlah Rp85 sampai dengan Rp 100 per kilogram.
Kedua, proses penunjukkan perusahaan yang menjalankan lelang juga tidak transparan. "Selain itu, mewajibkan semua pelaku usaha dari berbagai tingkatan untuk mengikuti lelang gula rafinasi juga tidak efektif. Kita tidak bisa menyamakan kebutuhan mereka," ucap dia
"Kalau pelaku usaha yang tergolong dalam Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) harus membeli sesuai angka minimal yaitu 1 ton, tentu hal ini akan memberatkan ongkos produksi. Kebutuhan UMKM tidak sampai sebanyak itu," pungkasnya.
(akr)