Polemik Beras Muncul Karena Perbedaan Data Kementan dan Kemendag
A
A
A
JAKARTA - Komisi Pengawas dan Persaingan Usaha (KPPU) menilai bahwa polemik yang terjadi terhadap komoditas beras, termasuk mengenai kenaikan harga beras yang terjadi belakangan ini disebabkan data yang berbeda antara Kementerian Pertanian (Kemendag) dan Kementerian Perdagangan (Kemendag).
Ketua KPPU Syarkawi Rauf mengungkapkan, perbedaan data antara kedua instansi ini perlu disikapi dengan data tunggal yang lebih kredibel. Oleh sebab itu, dia mendorong agar Badan Pusat Statistik (BPS) dapat mengeluarkan data mengenai stok dan produksi beras yang lebih kredibel.
Renananya, BPS akan mulai mengeluarkan data mengenai produksi beras mulai Agustus 2018 dengan menggunakan metode dan estimasi yang lebih baik. "Yang banyak dikemukakan tadi adalah dari pelaku usaha, menyebutkan pesoalan muncul gara-gara data yang memang perlu untuk segera diterbitkan oleh BPS, data yang lebih kredibel. Sehingga ini bisa menjadi rujukan, baik bagi pelaku usaha maupun pemerintah," katanya di Gedung KPPU, Jakarta, Senin (15/1/2018).
Selain itu, dia menilai perlu ada korporatisasi petani dengan mengintegrasikan unit bisnis yang ada di hulu. Mulai dari pemupukan, penggilingan, pengemasan, hingga pemasaran. "Ini merujuk pada apa yang disampaikan Presiden terkait korporatisasi petani," imbuh dia.
Syarkawi menambahkan, pemerintah juga perlu melihat kembali mengenai penetapan harga eceran tertinggi (HET) beras. Dia menilai, perlu dipikirkan oleh pemerintah agar HET tidak menjadi satu-satunya instrumen untuk menstabilkan harga.
"Dan peran Bulog yang dulu menjadi bagian utk bagikan rastra, yang efektif stabilkan pasokan, tapi sekarang diganti jadi e-voucher dan menghilangkan peran Bulog untuk melakukan stabilisasi," tandasnya.
Ketua KPPU Syarkawi Rauf mengungkapkan, perbedaan data antara kedua instansi ini perlu disikapi dengan data tunggal yang lebih kredibel. Oleh sebab itu, dia mendorong agar Badan Pusat Statistik (BPS) dapat mengeluarkan data mengenai stok dan produksi beras yang lebih kredibel.
Renananya, BPS akan mulai mengeluarkan data mengenai produksi beras mulai Agustus 2018 dengan menggunakan metode dan estimasi yang lebih baik. "Yang banyak dikemukakan tadi adalah dari pelaku usaha, menyebutkan pesoalan muncul gara-gara data yang memang perlu untuk segera diterbitkan oleh BPS, data yang lebih kredibel. Sehingga ini bisa menjadi rujukan, baik bagi pelaku usaha maupun pemerintah," katanya di Gedung KPPU, Jakarta, Senin (15/1/2018).
Selain itu, dia menilai perlu ada korporatisasi petani dengan mengintegrasikan unit bisnis yang ada di hulu. Mulai dari pemupukan, penggilingan, pengemasan, hingga pemasaran. "Ini merujuk pada apa yang disampaikan Presiden terkait korporatisasi petani," imbuh dia.
Syarkawi menambahkan, pemerintah juga perlu melihat kembali mengenai penetapan harga eceran tertinggi (HET) beras. Dia menilai, perlu dipikirkan oleh pemerintah agar HET tidak menjadi satu-satunya instrumen untuk menstabilkan harga.
"Dan peran Bulog yang dulu menjadi bagian utk bagikan rastra, yang efektif stabilkan pasokan, tapi sekarang diganti jadi e-voucher dan menghilangkan peran Bulog untuk melakukan stabilisasi," tandasnya.
(ven)