Industri Hasil Tembakau Butuh Regulasi Strategis
A
A
A
JAKARTA - Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK) menilai berbagai masalah di sektor hulu pertanian dan industri hasil tembakau memiliki dua permasalahan utama, yakni budidaya tanaman dan tata niaga tembakau. Dua permasalahan ini tidak berdiri sendiri, tetapi berkaitan erat satu sama lain.
Koordinator KNPK Muhammad Nur Azami mengatakan, tingkat produksi dan produktivitas pertanian tembakau nasional cenderung fluktuatif, bahkan pada dasarnya masih rendah. Ini merupakan pokok persoalan budidaya tanaman tembakau.
Azami mengatakan, produksi tembakau Indonesia pernah mencapai rekor tertingginya pada 2012, yakni seberat 260.818 ton. Namun, setelah itu cenderung mengalami penurunan. Hal ini dapat dilihat dari data Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, produksi tembakau nasional pada 2016 hanya mencapai 196.154 ton.
"Salah satu faktor yang mempengaruhi rendahnya produksi dan produktivitas pertanian tembakau, yakni penentuan baku mutu (standarisasi) bibit yang disebabkan belum adanya satu sistem yang terbangun dengan baik antara pabrikan, petani, dan pemerintah," kata Azami usai rapat dengar pendapat umum Pansus RUU Pertembakauan di ruang pansus B, Gedung Parlemen, Senayan, Kamis (18/01).
Persoalan lain, lanjut Azami, tata niaga tembakau yang terletak pada mata rantai yang panjang antara produsen (petani) dengan pihak konsumen penyerapnya (industri pengolah atau pabrikan). Pada titik inilah, tembakau sebagai komoditas strategis perkebunan nasional justru tidak banyak diurus tata niaganya oleh negara.
"Selama ini, nyaris tidak ada kontribusi pemerintah dalam pertanian dan perdagangan tembakau, baik berupa payung peraturan dan kebijakan, apalagi bantuan permodalan," tegasnya.
Menurutnya selama ini pertanian tembakau merupakan sektor mandiri, mekanisme pasar-lah yang menjadi pengendali satu-satunya dinamika pertanian dan perniagaan tembakau. Dalam hal ini seharusnya pemerintah menunaikan kewajibannya untuk melindungi kepentingan dan keberlangsungan industri strategis yang menjadi salah satu sumber terbesar pendapatan negara.
Dari dua persoalan utama pertanian tembakau yang telah disebutkan, KNPK menilai penerapan sistem kemitraan (partnership cooperation) antara petani dengan pabrikan dapat menjadi solusi atas permasalahan tersebut. "Dengan sistem kemitraan, dapat diupayakan bersama tujuan-tujuan normatif berupa hubungan yang saling menguntungkan, saling membutuhkan, dan saling memperkuat," katanya.
Agar hal tersebut dapat terlaksana, maka perlu adanya payung regulasi yang khusus memayungi industri hasil tembakau. “Adanya RUU Pertembakauan yang kini diusung dalam prolegnas prioritas 2018 merupakan momentum untuk menyamakan visi dan misi bagi stakeholder pertembakauan dan pemerintah,” pungkas Azami.
Koordinator KNPK Muhammad Nur Azami mengatakan, tingkat produksi dan produktivitas pertanian tembakau nasional cenderung fluktuatif, bahkan pada dasarnya masih rendah. Ini merupakan pokok persoalan budidaya tanaman tembakau.
Azami mengatakan, produksi tembakau Indonesia pernah mencapai rekor tertingginya pada 2012, yakni seberat 260.818 ton. Namun, setelah itu cenderung mengalami penurunan. Hal ini dapat dilihat dari data Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, produksi tembakau nasional pada 2016 hanya mencapai 196.154 ton.
"Salah satu faktor yang mempengaruhi rendahnya produksi dan produktivitas pertanian tembakau, yakni penentuan baku mutu (standarisasi) bibit yang disebabkan belum adanya satu sistem yang terbangun dengan baik antara pabrikan, petani, dan pemerintah," kata Azami usai rapat dengar pendapat umum Pansus RUU Pertembakauan di ruang pansus B, Gedung Parlemen, Senayan, Kamis (18/01).
Persoalan lain, lanjut Azami, tata niaga tembakau yang terletak pada mata rantai yang panjang antara produsen (petani) dengan pihak konsumen penyerapnya (industri pengolah atau pabrikan). Pada titik inilah, tembakau sebagai komoditas strategis perkebunan nasional justru tidak banyak diurus tata niaganya oleh negara.
"Selama ini, nyaris tidak ada kontribusi pemerintah dalam pertanian dan perdagangan tembakau, baik berupa payung peraturan dan kebijakan, apalagi bantuan permodalan," tegasnya.
Menurutnya selama ini pertanian tembakau merupakan sektor mandiri, mekanisme pasar-lah yang menjadi pengendali satu-satunya dinamika pertanian dan perniagaan tembakau. Dalam hal ini seharusnya pemerintah menunaikan kewajibannya untuk melindungi kepentingan dan keberlangsungan industri strategis yang menjadi salah satu sumber terbesar pendapatan negara.
Dari dua persoalan utama pertanian tembakau yang telah disebutkan, KNPK menilai penerapan sistem kemitraan (partnership cooperation) antara petani dengan pabrikan dapat menjadi solusi atas permasalahan tersebut. "Dengan sistem kemitraan, dapat diupayakan bersama tujuan-tujuan normatif berupa hubungan yang saling menguntungkan, saling membutuhkan, dan saling memperkuat," katanya.
Agar hal tersebut dapat terlaksana, maka perlu adanya payung regulasi yang khusus memayungi industri hasil tembakau. “Adanya RUU Pertembakauan yang kini diusung dalam prolegnas prioritas 2018 merupakan momentum untuk menyamakan visi dan misi bagi stakeholder pertembakauan dan pemerintah,” pungkas Azami.
(akr)