Industri Harus Menciptakan Ritual, Legenda, dan Pahlawan
A
A
A
KESUKSESAN seorang pemimpin tidak bisa dilepaskan dari masa kecil dan remaja. Demikian juga dengan CEO Cognizant Francisco D’Souza. Dia memiliki kehidupan masa anak-anak hingga remaja yang penuh perbedaan dan keragaman. Ayahnya adalah seorang diplomat. Hingga usia 18 tahun, D’Souza selalu berpindah negara setiap tiga tahun.
D’Souza pun akrab dengan perbedaan dari satu negara ke negara lain. Dia mengenal banyak keragaman budaya dari satu tempat ke tempat lain. Untuk itu, dia pun belajar bagaimana mencintai dunia. Dunia penuh dengan perbedaan dan orang yang berbeda-beda. “Saya tidak belajar tumbuh di suatu kota, suatu lingkungan, di satu budaya dan di satu Negara,” kata D’Souza.
Dia menjelaskan dengan belajar di lingkungan yang berbeda-beda, itu mengajarkan tentang bagaimana mencari peluang yang belum muncul. “Kamu akan menemukan banyak hal dari hal kecil hingga hal besar,” ujarnya.
Setelah menyelesaikan sekolah menengah di Karibia, D’Souza tinggal di Hong Kong. Dia mengetahui sedikit universitas yang bahasa penyampaiannya dengan Bahasa Inggris. Dia pun memilih ke Makau untuk bekerja profesional. Di sela kesibukan, D’Souza masih ikut kuliah pada malam hari dan akhir pekan.
“Siangnya saya memiliki waktu luang. Saya bekerja sebagai teller di bank. Di sana, saya juga belajar pemprograman dan mengenal teknologi baru,” ujar D’Souza. “Saya membeli komputer dan membuat piranti lunak ketika saya berusia 19 tahun,” kenangnya.
Pengalaman masa kecil dan remaja menguatkan jiwa kepemimpinan dalam diri D’Souza. Selama memimpin Cognizant, D’Souza juga berusaha membudayakan pendelegasian wewenang dan pemberdayaan pegawai. “Ketika kita tumbuh besar, kita akan memiliki unit yang lebih besar dan memecahnya menjadi unit yang lebih kecil. Itu menjadi kesempatan memberikan rasa kepemilikan kepada individu dan menciptakan ukuran kesuksesan di sekitar individu yang bersangkutan,” paparnya.
Budaya yang dibangun di sebuah perusahaan tidak ditulis, tetapi itu menjadi ritual dalam sebuah organisasi. Budaya itu dibentuk oleh seorang pemimpin untuk melegendakan dirinya di dalam suatu organisasi. Pemimpin itu pun bisa menjadi pahlawan di perusahaannya itu. “Kita berusaha menyiapkan ritual, pahlawan, dan legenda,” ungkapnya.
D’Souza menceritakan setiap tahun perusahaannya selalu mencari pegawai berprestasi yang berkontribusi di atas rata-rata. Selain itu, dia juga selalu mengapresiasi proyek atau program terbaik setiap tahun. “Setiap tahun kami menyewa stadion yang besar untuk mengumpulkan pegawai beserta keluarganya untuk merayakan kemenangan dengan hiburan dan berbagai penghargaan serta hadiah,” jelasnya.
Untuk menjadi pemimpin yang sukses sehingga bisnisnya menjadi sukses, D’Souza selalu merekrut pegawai yang memiliki hasrat tinggi terhadap apa yang dilakukannya. “Pegawai saya harus memahami dari mana hasrat itu datang, dan mereka harus bersentuhan dengan hasrat itu. Dengan begitu, kamu akan mengetahui apa yang mengendalikan dirimu,” ucapnya. D’Souza memandang semua pegawainya sebagai orang cerdas, berbakat dan memiliki kemampuan untuk belajar.
Pintar Mendeteksi Blind Spot
D’Souza berpendapat, untuk menjadi seorang pemimpin yang baik sebenarnya sangatlah sederhana. “Dalam karier dan kehidupanmu, kamu tidak memiliki waktu untuk melakukan segalanya yang bisa membanggakanmu. Jadi, setiap waktu yang kamu miliki adalah keputusan yang harus harus dihadapi dan gunakan itu sebagai ujian yang sederhana,” jelasnya.
Tentunya, kepemimpinan D’Souza merupakan akumulasi dari pengalamannya mendirikan Cognizant. Baginya, pelajaran kepemimpinan paling berarti adalah saat dia mendirikan Cognizant pada 1994. Saat awal berdiri menjadi periode bagi dirinya untuk secara personal mengenal semua orang di dalam perusahaan. Seiring waktu, proses personal dan transisi pun terus berlalu.
“Hal penting yang saya pelajari adalah ketika kamu berhubungan dengan orang lain, kamu harus waspada dengan dua hal. Pertama adalah blind spot (titik buta) personal dan lainnya zona nyaman pribadi,” ungkap D’Souza. Titik buta itu dianggap sebagai zona yang tidak bisa dijangkau oleh pengawasan manusia. “Jika menguasai dua hal itu, kamu akan menguasai orang tersebut,” paparnya.
Faktanya, sangat sulit untuk menemukan blind spot orang lain, di sisi lain orang cenderung jatuh ke zona nyaman dengan mudah karena mereka lebih menyukai pola dan kebiasaan. D’Souza mengungkapkan dirinya selalu bertanya bagaimana cara mengidentifikasi blind spot dan mendorong orang bisa keluar dari zona nyaman. Dalam hal ini, komunikasi dan interaksi menjadi kunci. Sebagai pemimpin, D’Souza juga senantiasa belajar dari orang di sekitarnya.
“Saya selalu berbicara dengan para manajer. Percakapan dengan mereka membantu saya karena mereka adalah cermin. Saya bisa menilai apa yang saya pikirkan kalau mereka melakukan banyak hal baik. Di situlah saya menemukan blind spot para pegawai yang menjadi bawahan mereka,” jawabnya dilansir The New York Times.
D’Souza pun akrab dengan perbedaan dari satu negara ke negara lain. Dia mengenal banyak keragaman budaya dari satu tempat ke tempat lain. Untuk itu, dia pun belajar bagaimana mencintai dunia. Dunia penuh dengan perbedaan dan orang yang berbeda-beda. “Saya tidak belajar tumbuh di suatu kota, suatu lingkungan, di satu budaya dan di satu Negara,” kata D’Souza.
Dia menjelaskan dengan belajar di lingkungan yang berbeda-beda, itu mengajarkan tentang bagaimana mencari peluang yang belum muncul. “Kamu akan menemukan banyak hal dari hal kecil hingga hal besar,” ujarnya.
Setelah menyelesaikan sekolah menengah di Karibia, D’Souza tinggal di Hong Kong. Dia mengetahui sedikit universitas yang bahasa penyampaiannya dengan Bahasa Inggris. Dia pun memilih ke Makau untuk bekerja profesional. Di sela kesibukan, D’Souza masih ikut kuliah pada malam hari dan akhir pekan.
“Siangnya saya memiliki waktu luang. Saya bekerja sebagai teller di bank. Di sana, saya juga belajar pemprograman dan mengenal teknologi baru,” ujar D’Souza. “Saya membeli komputer dan membuat piranti lunak ketika saya berusia 19 tahun,” kenangnya.
Pengalaman masa kecil dan remaja menguatkan jiwa kepemimpinan dalam diri D’Souza. Selama memimpin Cognizant, D’Souza juga berusaha membudayakan pendelegasian wewenang dan pemberdayaan pegawai. “Ketika kita tumbuh besar, kita akan memiliki unit yang lebih besar dan memecahnya menjadi unit yang lebih kecil. Itu menjadi kesempatan memberikan rasa kepemilikan kepada individu dan menciptakan ukuran kesuksesan di sekitar individu yang bersangkutan,” paparnya.
Budaya yang dibangun di sebuah perusahaan tidak ditulis, tetapi itu menjadi ritual dalam sebuah organisasi. Budaya itu dibentuk oleh seorang pemimpin untuk melegendakan dirinya di dalam suatu organisasi. Pemimpin itu pun bisa menjadi pahlawan di perusahaannya itu. “Kita berusaha menyiapkan ritual, pahlawan, dan legenda,” ungkapnya.
D’Souza menceritakan setiap tahun perusahaannya selalu mencari pegawai berprestasi yang berkontribusi di atas rata-rata. Selain itu, dia juga selalu mengapresiasi proyek atau program terbaik setiap tahun. “Setiap tahun kami menyewa stadion yang besar untuk mengumpulkan pegawai beserta keluarganya untuk merayakan kemenangan dengan hiburan dan berbagai penghargaan serta hadiah,” jelasnya.
Untuk menjadi pemimpin yang sukses sehingga bisnisnya menjadi sukses, D’Souza selalu merekrut pegawai yang memiliki hasrat tinggi terhadap apa yang dilakukannya. “Pegawai saya harus memahami dari mana hasrat itu datang, dan mereka harus bersentuhan dengan hasrat itu. Dengan begitu, kamu akan mengetahui apa yang mengendalikan dirimu,” ucapnya. D’Souza memandang semua pegawainya sebagai orang cerdas, berbakat dan memiliki kemampuan untuk belajar.
Pintar Mendeteksi Blind Spot
D’Souza berpendapat, untuk menjadi seorang pemimpin yang baik sebenarnya sangatlah sederhana. “Dalam karier dan kehidupanmu, kamu tidak memiliki waktu untuk melakukan segalanya yang bisa membanggakanmu. Jadi, setiap waktu yang kamu miliki adalah keputusan yang harus harus dihadapi dan gunakan itu sebagai ujian yang sederhana,” jelasnya.
Tentunya, kepemimpinan D’Souza merupakan akumulasi dari pengalamannya mendirikan Cognizant. Baginya, pelajaran kepemimpinan paling berarti adalah saat dia mendirikan Cognizant pada 1994. Saat awal berdiri menjadi periode bagi dirinya untuk secara personal mengenal semua orang di dalam perusahaan. Seiring waktu, proses personal dan transisi pun terus berlalu.
“Hal penting yang saya pelajari adalah ketika kamu berhubungan dengan orang lain, kamu harus waspada dengan dua hal. Pertama adalah blind spot (titik buta) personal dan lainnya zona nyaman pribadi,” ungkap D’Souza. Titik buta itu dianggap sebagai zona yang tidak bisa dijangkau oleh pengawasan manusia. “Jika menguasai dua hal itu, kamu akan menguasai orang tersebut,” paparnya.
Faktanya, sangat sulit untuk menemukan blind spot orang lain, di sisi lain orang cenderung jatuh ke zona nyaman dengan mudah karena mereka lebih menyukai pola dan kebiasaan. D’Souza mengungkapkan dirinya selalu bertanya bagaimana cara mengidentifikasi blind spot dan mendorong orang bisa keluar dari zona nyaman. Dalam hal ini, komunikasi dan interaksi menjadi kunci. Sebagai pemimpin, D’Souza juga senantiasa belajar dari orang di sekitarnya.
“Saya selalu berbicara dengan para manajer. Percakapan dengan mereka membantu saya karena mereka adalah cermin. Saya bisa menilai apa yang saya pikirkan kalau mereka melakukan banyak hal baik. Di situlah saya menemukan blind spot para pegawai yang menjadi bawahan mereka,” jawabnya dilansir The New York Times.
(amm)