Holding BUMN Dinilai Bakal Terhadang Masalah Akuntan dan UU
A
A
A
JAKARTA - Proses holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ditegaskan harus tetap melalui persetujuan DPR, sebagaimana yang diatur pada Undang-Undang (UU) Kekayaan Negara, UU BUMN dan UU Perseroan. Wakil Ketua Komisi XI DPR dari Fraksi PAN, Achmad Hafisz Thohir menjelaskan, kebijakan holding yang dibentuk Menteri BUMN, Rini Soemarno belakangan ini, pada prosesnya terjadi perpindahan kepemilikan saham pada suatu perusahaan.
"Memang saham negara itu tidak hilang karena dia disertakan dalam bentuk modal pada perusahaan tertentu. Tapi disana ada pergeseran kepemilikan dan komposisi, sehingga harus melalui persetujuan DPR," jelasnya lewat keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (23/1/2018).
Oleh karena itu lanjut Thohir; Peraturan Pemerintah (PP) nomor 72 tahun 2016 yang menyatakan bahwa pembentu holding tidak memerlukan proses pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) atau tidak membutuhkan persetujuan DPR. Maka PP tersebut berlawanan dengan aturan yang lebih tinggi. "Nggak boleh pemerintah melanggar Undang-Undang, jelas ini berefek buruk pada citra dan kepercayaan publik pada hukum," ujar dia.
Meski menurutnya niat holding itu baik, Thohir menambahkan bukan berarti pembenaran untuk melanggar perundang-undang yang ada. "Jangan sekonyong- konyong melanggar Undang-Undang dengan alasan untuk mengefektifkan kegiatan," ujar dia.
Lagi pula, menurutnya pembentukan holding ini akan sulit terkonsolidasi dan bermasalah secara akuntan. Dimana untuk mempertahankan status BUMN pada perusahaan yang dijadikan anak holding, pemerintah menyisakan sebagian kecil saham dwi warna yang disebut saham istimewa.
Saham istimewa dwi warna pada anak holding itulah yang menjadi ganjalan dalam melakukan konsolidasi aset. Karena jika dipaksakan, akan bertentangan dengan kaidah Peraturan Standar Akuntansi 65 (PSAK 65) dalam neraca laporan keuangan. Sedangkan PSAK 65 juga terintegrasi atau merefer ke International Financial Reporting Standart (IFRS).
"Nanti bermasalah, kan keuntungan akan dikonsentrasi menjadi modal pada tahun berikutnya," pungkas Thohir.
Isu PSAK 65 ini sepertinya telah membuat gundah Pertamina yang akan menjadi induk holding Migas dengan mencaplok PT PGN, karena akibat tidak bisa terkonsolidasi. Maka holding ini hanya menjadi beban pembengkakan struktur, sementara nilai asetnya tidak bertambah.
"Memang saham negara itu tidak hilang karena dia disertakan dalam bentuk modal pada perusahaan tertentu. Tapi disana ada pergeseran kepemilikan dan komposisi, sehingga harus melalui persetujuan DPR," jelasnya lewat keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (23/1/2018).
Oleh karena itu lanjut Thohir; Peraturan Pemerintah (PP) nomor 72 tahun 2016 yang menyatakan bahwa pembentu holding tidak memerlukan proses pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) atau tidak membutuhkan persetujuan DPR. Maka PP tersebut berlawanan dengan aturan yang lebih tinggi. "Nggak boleh pemerintah melanggar Undang-Undang, jelas ini berefek buruk pada citra dan kepercayaan publik pada hukum," ujar dia.
Meski menurutnya niat holding itu baik, Thohir menambahkan bukan berarti pembenaran untuk melanggar perundang-undang yang ada. "Jangan sekonyong- konyong melanggar Undang-Undang dengan alasan untuk mengefektifkan kegiatan," ujar dia.
Lagi pula, menurutnya pembentukan holding ini akan sulit terkonsolidasi dan bermasalah secara akuntan. Dimana untuk mempertahankan status BUMN pada perusahaan yang dijadikan anak holding, pemerintah menyisakan sebagian kecil saham dwi warna yang disebut saham istimewa.
Saham istimewa dwi warna pada anak holding itulah yang menjadi ganjalan dalam melakukan konsolidasi aset. Karena jika dipaksakan, akan bertentangan dengan kaidah Peraturan Standar Akuntansi 65 (PSAK 65) dalam neraca laporan keuangan. Sedangkan PSAK 65 juga terintegrasi atau merefer ke International Financial Reporting Standart (IFRS).
"Nanti bermasalah, kan keuntungan akan dikonsentrasi menjadi modal pada tahun berikutnya," pungkas Thohir.
Isu PSAK 65 ini sepertinya telah membuat gundah Pertamina yang akan menjadi induk holding Migas dengan mencaplok PT PGN, karena akibat tidak bisa terkonsolidasi. Maka holding ini hanya menjadi beban pembengkakan struktur, sementara nilai asetnya tidak bertambah.
(akr)