Konsumen Semakin Rasional Memilih Produk
A
A
A
PERSAINGAN dan akses digital yang semakin terbuka luas membuat informasi mengenai sebuah produk lebih transparan. Hal tersebut menjadi faktor adanya pergeseran konsumsi masyarakat. Brand kelas dua menjadi pilihan, tentu dilihat dari segi harga yang dapat dijangkau semua kalangan. Produk teknologi yang paling terlihat jelas, bagaimana kini orang berbondong-bondong menggunakan ponsel pintar merek Oppo, Xiaomi, Vivo daripada keluaran Apple dan Samsung.
Edhy Bawono, Chief Operating Officer Fortune Indonesia Group, perusahaan marketing communication terintegrasi, menjelaskan, sudah 10 tahun terakhir tren digital dimulai, namun semakin terasa perbedaannya tiga tahun terakhir. Dalam tiga tahun ini berbagai platform perdagangan muncul sehingga banyak orang mulai bisa membeli dan menjual dengan sangat mudah.
“Inovasi di bidang digital mem percepat semuanya, mempercepat kompetisi, evolusi. Bisa dilihat dari China yang 20 tahun lalu menjadi negara pekerja kini menjadi negara inovator,” ujarnya.
Perusahaan besar melakukan produksi di China, terutama produsen teknologi, karena tenaga kerja di China murah. Lalu, 20 tahun berselang ilmu dari para ahli pembuatan itu diserap oleh tenaga ahli di China sehingga orang-orang China bisa membuat produk yang serupa. Edhy memberi contoh Siemens yang berproduksi di China membuat tenaga ahli China pandai. Sesama pekerja di sana juga berkompetisi sehingga menyerap ilmu yang banyak. Jadilah ZTE membuat inovasi yang sama seperti Siemens.
"Hal tersebut juga terjadi pada Apple dan Oppo. Negara yang membuat jadi pencipta, biaya ekonomi lebih murah,” ungkapnya.
Pengamat pemasaran dari Bina Nusantara, Asnan Furinto, menjelaskan bahwa generasi milenial turut menjadi penentu. Mereka yang lebih masuk dalam dunia digital semakin melek dan makin sadar untuk membeli yang menguntungkan mereka karena mereka juga sudah bisa membedakan. “Masyarakat milenial semakin berpendidikan, informasinya juga makin banyak sehingga mereka menjadi rasional dalam memilih sebuah produk. Itu yang membuat merek lapis kedua jadi pilihan utama,” paparnya.
Asnan menambahkan, usaha ritel pun sama. Jika dulu informasi terbatas, pengaruh brand masih sangat kuat, bisa menjaga eksklusivitas. Saat tidak lagi eksklusif sehingga kini tidak banyak yang masih mengandalkan nama besar mereka. Seperti Levi's yang hanya mengandalkan kejayaan masa lalu. Saat informasi sudah banyak.
Dulu seseorang membeli mungkin hanya melihat dari sisi emosional, sekarang konsumen melihat fung sional. Kini kalau tidak ada kegunaan yang lebih unggul merek nomor dua memang dipilih. Dosen pemasaran strategis dan pengamat strategi bisnis ini tidak heran jika banyak toko ritel sekarang tutup karena tidak menawarkan sesuatu yang lebih, selain nama brand semata.
Karena itu, Asnan memberi saran, harus ada strategi untuk menjaga kedekatan dengan pelanggan. Bagi Asnan, pengguna Samsung yang sudah bertahun-tahun dengan yang baru tidak ada bedanya. “Strateginya tidak bisa bersaing di aspek teknologi lagi atau di produk saja, yang bisa dimainkan adalah kedekatan dengan pelanggan. Harus punya database seluruh pelanggan, siapa yang setia menggunakan sebuah produk,” paparnya.
Kini toko harus menyimpan database untuk membuat kedekatan. Memang terlihat rumit, tapi sekarang di era bank data itu sangat efektif untuk membangun komunikasi. Semua bisa diatur jika mempunyai bank data yang lengkap. Data pelanggan juga bisa digunakan untuk memberikan reward bagi mereka yang sangat loyal terhadap brand mereka. Ini tentu akan menarik perhatian banyak pelanggan. Strategi lain juga bisa ditempuh dengan membuat komunitas. Bisa dibina melalui media sosial dengan terus-menerus. Dari sini dibutuhkan admin yang sanggup membuat konten menarik.
“Komunitas dibangun agar ada rasa bangga saat menggunakan produk itu. Sekarang lebih mudah karena semua orang menggunakan media sosial. Ini bisa mempertahankan pelanggan dan mendatangkan pelanggan baru,” paparnya.
Salah satu brand lokal, Cotton Ink, menilai produk dan brand adalah hal yang saling mendukung satu sama lain. Produk yang baik tanpa brand yang baik tidak akan mampu bersaing maksimal. Sebaliknya juga seperti itu, brand yang bagus tanpa didukung oleh produk yang juara lama-kelamaan akan ditinggal oleh konsumennya.
Brand & Marketing Director Cotton Ink Ria Sarwono mengatakan, ke kuatan Cotton Ink ada di keduanya. Menjual produk yang berkualitas di bungkus dengan brand yang juga disukai pelanggan. “Hal ini konsisten kami jalankan, karena ini adalah key ingredients kami,” ujarnya.
Strategi tentu terus dilakukan, tentu dengan terus memberikan inovasi dari segi koleksi. “Kami kolaborasi dengan talent terbaik meliputi desainer, ilustrator, inspiring figure, dan memberikan koleksi dengan desain yang digemari pasar juga kualitas yang tidak kalah saing. Selain itu, kami membuka beberapa offline stores di Jakarta dan segera di luar Jakarta. Walaupun orang-orang beralih ke online,kami sadar bahwa offline presence tidak boleh ditinggalkan,” ujarnya.
Memasuki tahun ke-10, Cotton Ink akan terus menghadirkan ide-ide baru. Salah satunya akan meluncurkan line Cotton Ink Mini. Koleksi yang secara khusus dibuat untuk anak-anak. Beberapa hal lain adalah kolaborasi dengan ilustrator, desainer, dan juga figur wanita inspiratif. Cotton Ink didirikan pada November 2008 oleh duo kreatif dan teman dekat, Carline Darjanto dan Ria Sarwono. Cotton Ink dibentuk dengan menggabungkan latar belakang pendidikan Carline sebagai seorang lulusan fashion design dan Ria yang berpengalaman di bidang desain komunikasi visual.
Edhy Bawono, Chief Operating Officer Fortune Indonesia Group, perusahaan marketing communication terintegrasi, menjelaskan, sudah 10 tahun terakhir tren digital dimulai, namun semakin terasa perbedaannya tiga tahun terakhir. Dalam tiga tahun ini berbagai platform perdagangan muncul sehingga banyak orang mulai bisa membeli dan menjual dengan sangat mudah.
“Inovasi di bidang digital mem percepat semuanya, mempercepat kompetisi, evolusi. Bisa dilihat dari China yang 20 tahun lalu menjadi negara pekerja kini menjadi negara inovator,” ujarnya.
Perusahaan besar melakukan produksi di China, terutama produsen teknologi, karena tenaga kerja di China murah. Lalu, 20 tahun berselang ilmu dari para ahli pembuatan itu diserap oleh tenaga ahli di China sehingga orang-orang China bisa membuat produk yang serupa. Edhy memberi contoh Siemens yang berproduksi di China membuat tenaga ahli China pandai. Sesama pekerja di sana juga berkompetisi sehingga menyerap ilmu yang banyak. Jadilah ZTE membuat inovasi yang sama seperti Siemens.
"Hal tersebut juga terjadi pada Apple dan Oppo. Negara yang membuat jadi pencipta, biaya ekonomi lebih murah,” ungkapnya.
Pengamat pemasaran dari Bina Nusantara, Asnan Furinto, menjelaskan bahwa generasi milenial turut menjadi penentu. Mereka yang lebih masuk dalam dunia digital semakin melek dan makin sadar untuk membeli yang menguntungkan mereka karena mereka juga sudah bisa membedakan. “Masyarakat milenial semakin berpendidikan, informasinya juga makin banyak sehingga mereka menjadi rasional dalam memilih sebuah produk. Itu yang membuat merek lapis kedua jadi pilihan utama,” paparnya.
Asnan menambahkan, usaha ritel pun sama. Jika dulu informasi terbatas, pengaruh brand masih sangat kuat, bisa menjaga eksklusivitas. Saat tidak lagi eksklusif sehingga kini tidak banyak yang masih mengandalkan nama besar mereka. Seperti Levi's yang hanya mengandalkan kejayaan masa lalu. Saat informasi sudah banyak.
Dulu seseorang membeli mungkin hanya melihat dari sisi emosional, sekarang konsumen melihat fung sional. Kini kalau tidak ada kegunaan yang lebih unggul merek nomor dua memang dipilih. Dosen pemasaran strategis dan pengamat strategi bisnis ini tidak heran jika banyak toko ritel sekarang tutup karena tidak menawarkan sesuatu yang lebih, selain nama brand semata.
Karena itu, Asnan memberi saran, harus ada strategi untuk menjaga kedekatan dengan pelanggan. Bagi Asnan, pengguna Samsung yang sudah bertahun-tahun dengan yang baru tidak ada bedanya. “Strateginya tidak bisa bersaing di aspek teknologi lagi atau di produk saja, yang bisa dimainkan adalah kedekatan dengan pelanggan. Harus punya database seluruh pelanggan, siapa yang setia menggunakan sebuah produk,” paparnya.
Kini toko harus menyimpan database untuk membuat kedekatan. Memang terlihat rumit, tapi sekarang di era bank data itu sangat efektif untuk membangun komunikasi. Semua bisa diatur jika mempunyai bank data yang lengkap. Data pelanggan juga bisa digunakan untuk memberikan reward bagi mereka yang sangat loyal terhadap brand mereka. Ini tentu akan menarik perhatian banyak pelanggan. Strategi lain juga bisa ditempuh dengan membuat komunitas. Bisa dibina melalui media sosial dengan terus-menerus. Dari sini dibutuhkan admin yang sanggup membuat konten menarik.
“Komunitas dibangun agar ada rasa bangga saat menggunakan produk itu. Sekarang lebih mudah karena semua orang menggunakan media sosial. Ini bisa mempertahankan pelanggan dan mendatangkan pelanggan baru,” paparnya.
Salah satu brand lokal, Cotton Ink, menilai produk dan brand adalah hal yang saling mendukung satu sama lain. Produk yang baik tanpa brand yang baik tidak akan mampu bersaing maksimal. Sebaliknya juga seperti itu, brand yang bagus tanpa didukung oleh produk yang juara lama-kelamaan akan ditinggal oleh konsumennya.
Brand & Marketing Director Cotton Ink Ria Sarwono mengatakan, ke kuatan Cotton Ink ada di keduanya. Menjual produk yang berkualitas di bungkus dengan brand yang juga disukai pelanggan. “Hal ini konsisten kami jalankan, karena ini adalah key ingredients kami,” ujarnya.
Strategi tentu terus dilakukan, tentu dengan terus memberikan inovasi dari segi koleksi. “Kami kolaborasi dengan talent terbaik meliputi desainer, ilustrator, inspiring figure, dan memberikan koleksi dengan desain yang digemari pasar juga kualitas yang tidak kalah saing. Selain itu, kami membuka beberapa offline stores di Jakarta dan segera di luar Jakarta. Walaupun orang-orang beralih ke online,kami sadar bahwa offline presence tidak boleh ditinggalkan,” ujarnya.
Memasuki tahun ke-10, Cotton Ink akan terus menghadirkan ide-ide baru. Salah satunya akan meluncurkan line Cotton Ink Mini. Koleksi yang secara khusus dibuat untuk anak-anak. Beberapa hal lain adalah kolaborasi dengan ilustrator, desainer, dan juga figur wanita inspiratif. Cotton Ink didirikan pada November 2008 oleh duo kreatif dan teman dekat, Carline Darjanto dan Ria Sarwono. Cotton Ink dibentuk dengan menggabungkan latar belakang pendidikan Carline sebagai seorang lulusan fashion design dan Ria yang berpengalaman di bidang desain komunikasi visual.
(amm)