Satgas Pangan Kaji Aturan Wajib Tanam Bawang Putih
A
A
A
JAKARTA - Target Kementerian Pertanian (Kementan) yang menetapkan swasembada bawang putih pada tahun 2019 dinilai sangat tidak rasional. Bahkan Pengamat Pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas menyebut, target tersebut bak mimpi di siang bolong, mengingat persoalan terbatasnya lahan dan minat petani untuk menanam bawang putih belum dapat diatasi hingga saat ini.
Terkait hal ini, Ketua Satgas Pangan Mabes Polri Inspektur Jenderal Polisi Setyo Wasisto menuturkan, khusus komoditas bawang putih, murni hukum ekonomi yang berjalan. Pihaknya akan mengkaji aturan yang ditetapkan Kementan terhadap importir untuk wajib tanam, agar tak menghalangi ketersediaan komoditas ini di dalam negeri.
“Kalau supply-nya banyak, maka harga akan terkendali. Kalau supply-nya kurang pasti harga akan tidak terkendali karena permintaan tetap banyak,” tutur Setyo Wasisto, Senin (12/2/2018).
Terkait dengan disribusi, Ia melihat masih dalam kondisi wajar, belum terlihat ada penyimpangan atau penimbunan. Menurutnya pedagang saat ini pun sudah menyadari lelaku menimbun bisa terjerat kasus pidana. Lebih lanjut Ia mengaku akan mengecek kembali aturan tentang kewajiban menanam oleh importir yang diterbitkan Kementan.
“Kami nanti cek ke Kementan, seperti apa aturannya. Karena kalau memang memberatkan para pengusaha yang mau impor dan akhirnya mereka gak mau impor, nanti gak ada barang, karena produksi dalam negeri tidak mencukupi,” ucapnya
Sementara, pengamat Pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas menyebut, target tersebut bak mimpi di siang bolong. Pernyataan Dwi ini ditujukan untuk komentar Menteri Pertanian Amran Sulaiman yang sangat yakin target swasembada bawang putih bisa tercapai pada tahun 2019. “Tidak rasional, ini sangat tidak rasional. Sudahlah, apalagi (targetnya) 2019. Sekarang 94% konsumsi bawang putih kita dari impor,” ujarnya, Jumat (9/2) lalu.
Sebaliknya, akhir tahun lalu, Amran yakin akan target ini setelah pihaknya merasa berhasil mewujudkan swasembada beberapa komoditas, yakni padi, jagung, bawang merah, cabai. "Bawang putih sebelumnya diproyeksikan untuk swasembada tahun 2033, namun dipercepat ke 2019. Artinya ada percepatan 14 tahun," kata Mentan dalam sambutan tertulis yang disampaikan Direktur Sayuran dan Tanaman Obat Prihasto Setyanto seperti dilansir Antara.
Pernyataan Dwi sendiri didasari oleh sejumlah data produksi bawang putih dalam negeri. Dalam tiga tahun terakhir saja, dimana angka impor bawang putih ke nusantara tidak pernah kurang dari 400 ribu ton. Bahkan menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2017 angka impor komoditas ini mencapai 556,06 ribu ton.
Sementara itu, berdasarkan data Kementerian Pertanian (Kementan), konsumsi bawang putih secara nasional per kapita per tahun pada 2017 mencapai 1,63 kilogram. Dengan asumsi jumlah penduduk Indonesia sebanyak 250 juta jiwa, dibutuhkan minimal 407,5 ribu ton bawang putih guna memenuhi kebutuhan tersebut.
Itu pun baru untuk konsumsi rumah tangga, belum termasuk kebutuhan untuk industri komersial. Kebutuhan akan bawang putih ini pun dari tahun 2013-2017 diketahui terus bertumbuh rata-rata mencapai 8,78% per tahun.
Besarnya impor dari waktu ke waktu menandakan memang saat ini produksi bawang putih nasional belum mencukupi. Lihat saja, per 2016, produksi si white diamond ini hanya berada di angka 21,15 ribu ton. Hanya sedikit lebih tinggi dibandingkan tahun 2015 yang tercatat 20,30 ribu ton. Alias hanya bertumbuh 4,19% per tahun, tidak sampai setengah dari pertumbuhan konsumsi.
Tidak mampu terangkatnya produksi bawang putih tak lain disebabkan karena terbatasnya jumlah lahan luas panen yang ada. Alih-alih meningkat, lahan panen bawang putih di tahun 2016 bahkan menurun dibandingkan tahun 2015, dari 2.563 hektare menjadi hanya 2.407 hektare.
Kebijakan pemerintah yang mewajibkan importir menanam 5% dari total bawang putih yang mereka impor, bagi Andreas, pun tidak masik akal. Ia pun yakin kebijakan ini tidak akan berjalan sebagaimana mestinya.
“Sekali lagi, importir itu ya spesialisasi mereka itu ya mengimpor bawang putih, bukan menanam. Yang menanam bawang putih itu petani. Pemerintah mau menanam? Dirjen Hortikultura? Ya enggak mungkinlah,” tutur Andreas.
Senada, Ketua Asosiasi Pengusaha Bawang Putih Indonesia (APBI) Piko Nyoto juga masih meragukan pemenuhan target swasembada bawang putih di tahun 2019. Pasalnya kebijakan produksi 5% bawang putih dari angka impor, terang dia masih sulit karena hingga saat ini para importir belum mendapat bantuan dari pemerintah.
Selama ini untuk melakukan penanaman, pengusaha bawang putih masih harus menggunakan bibit lokal yang harganya cukup memberatkan. “Ya kita membahas bawang putih kan seperti saya ceritakan, harus didukung benih loh pak. Yang sampai sekarang boleh memakai benih impor sebagai bibit kan belum ada suatu ketentuan,” ucapnya.
Belum lagi masalah keterbatasan lahan yang sesuai. Makanya, hingga saat ini baru sekitar 29 orang pengusaha yang berhasil memenuhi persyaratan RIPH tersebut. Sulitnya memenuhi kebijakan pemerintah terlihat pula dari tidak tercapainya target penanaman oleh importir.
Berdasarkan data dari Kementerian Pertanian sendiri, realisasi tanam untuk bawang putih yang “ditugaskan” kepada para importir memang belum memuaskan. Dari target 2.868 ribu hektare, yang tercapai hanya 865 hektare.
Terkait hal ini, Ketua Satgas Pangan Mabes Polri Inspektur Jenderal Polisi Setyo Wasisto menuturkan, khusus komoditas bawang putih, murni hukum ekonomi yang berjalan. Pihaknya akan mengkaji aturan yang ditetapkan Kementan terhadap importir untuk wajib tanam, agar tak menghalangi ketersediaan komoditas ini di dalam negeri.
“Kalau supply-nya banyak, maka harga akan terkendali. Kalau supply-nya kurang pasti harga akan tidak terkendali karena permintaan tetap banyak,” tutur Setyo Wasisto, Senin (12/2/2018).
Terkait dengan disribusi, Ia melihat masih dalam kondisi wajar, belum terlihat ada penyimpangan atau penimbunan. Menurutnya pedagang saat ini pun sudah menyadari lelaku menimbun bisa terjerat kasus pidana. Lebih lanjut Ia mengaku akan mengecek kembali aturan tentang kewajiban menanam oleh importir yang diterbitkan Kementan.
“Kami nanti cek ke Kementan, seperti apa aturannya. Karena kalau memang memberatkan para pengusaha yang mau impor dan akhirnya mereka gak mau impor, nanti gak ada barang, karena produksi dalam negeri tidak mencukupi,” ucapnya
Sementara, pengamat Pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas menyebut, target tersebut bak mimpi di siang bolong. Pernyataan Dwi ini ditujukan untuk komentar Menteri Pertanian Amran Sulaiman yang sangat yakin target swasembada bawang putih bisa tercapai pada tahun 2019. “Tidak rasional, ini sangat tidak rasional. Sudahlah, apalagi (targetnya) 2019. Sekarang 94% konsumsi bawang putih kita dari impor,” ujarnya, Jumat (9/2) lalu.
Sebaliknya, akhir tahun lalu, Amran yakin akan target ini setelah pihaknya merasa berhasil mewujudkan swasembada beberapa komoditas, yakni padi, jagung, bawang merah, cabai. "Bawang putih sebelumnya diproyeksikan untuk swasembada tahun 2033, namun dipercepat ke 2019. Artinya ada percepatan 14 tahun," kata Mentan dalam sambutan tertulis yang disampaikan Direktur Sayuran dan Tanaman Obat Prihasto Setyanto seperti dilansir Antara.
Pernyataan Dwi sendiri didasari oleh sejumlah data produksi bawang putih dalam negeri. Dalam tiga tahun terakhir saja, dimana angka impor bawang putih ke nusantara tidak pernah kurang dari 400 ribu ton. Bahkan menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2017 angka impor komoditas ini mencapai 556,06 ribu ton.
Sementara itu, berdasarkan data Kementerian Pertanian (Kementan), konsumsi bawang putih secara nasional per kapita per tahun pada 2017 mencapai 1,63 kilogram. Dengan asumsi jumlah penduduk Indonesia sebanyak 250 juta jiwa, dibutuhkan minimal 407,5 ribu ton bawang putih guna memenuhi kebutuhan tersebut.
Itu pun baru untuk konsumsi rumah tangga, belum termasuk kebutuhan untuk industri komersial. Kebutuhan akan bawang putih ini pun dari tahun 2013-2017 diketahui terus bertumbuh rata-rata mencapai 8,78% per tahun.
Besarnya impor dari waktu ke waktu menandakan memang saat ini produksi bawang putih nasional belum mencukupi. Lihat saja, per 2016, produksi si white diamond ini hanya berada di angka 21,15 ribu ton. Hanya sedikit lebih tinggi dibandingkan tahun 2015 yang tercatat 20,30 ribu ton. Alias hanya bertumbuh 4,19% per tahun, tidak sampai setengah dari pertumbuhan konsumsi.
Tidak mampu terangkatnya produksi bawang putih tak lain disebabkan karena terbatasnya jumlah lahan luas panen yang ada. Alih-alih meningkat, lahan panen bawang putih di tahun 2016 bahkan menurun dibandingkan tahun 2015, dari 2.563 hektare menjadi hanya 2.407 hektare.
Kebijakan pemerintah yang mewajibkan importir menanam 5% dari total bawang putih yang mereka impor, bagi Andreas, pun tidak masik akal. Ia pun yakin kebijakan ini tidak akan berjalan sebagaimana mestinya.
“Sekali lagi, importir itu ya spesialisasi mereka itu ya mengimpor bawang putih, bukan menanam. Yang menanam bawang putih itu petani. Pemerintah mau menanam? Dirjen Hortikultura? Ya enggak mungkinlah,” tutur Andreas.
Senada, Ketua Asosiasi Pengusaha Bawang Putih Indonesia (APBI) Piko Nyoto juga masih meragukan pemenuhan target swasembada bawang putih di tahun 2019. Pasalnya kebijakan produksi 5% bawang putih dari angka impor, terang dia masih sulit karena hingga saat ini para importir belum mendapat bantuan dari pemerintah.
Selama ini untuk melakukan penanaman, pengusaha bawang putih masih harus menggunakan bibit lokal yang harganya cukup memberatkan. “Ya kita membahas bawang putih kan seperti saya ceritakan, harus didukung benih loh pak. Yang sampai sekarang boleh memakai benih impor sebagai bibit kan belum ada suatu ketentuan,” ucapnya.
Belum lagi masalah keterbatasan lahan yang sesuai. Makanya, hingga saat ini baru sekitar 29 orang pengusaha yang berhasil memenuhi persyaratan RIPH tersebut. Sulitnya memenuhi kebijakan pemerintah terlihat pula dari tidak tercapainya target penanaman oleh importir.
Berdasarkan data dari Kementerian Pertanian sendiri, realisasi tanam untuk bawang putih yang “ditugaskan” kepada para importir memang belum memuaskan. Dari target 2.868 ribu hektare, yang tercapai hanya 865 hektare.
(akr)