Bahas Tata Kelola Komoditas Pangan Strategis, KPPU Temui KSP
A
A
A
JAKARTA - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengadakan pertemuan tertutup dengan Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko untuk membahas tata kelola pangan strategis. Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko mengaku topik pembahasan bersama Ketua KPPU Syarkawi Rauf hanya seputar beras.
“Oh iya, bahas perberasan. Tidak ada isu lain. Kami bertemu akan menyusun konsep tentang tata kelola komoditas pangan strategis,” kata Moeldoko, dalam keterangannya, Kamis (15/2/2018).
Pertemuan sendiri berlangsung kurang dari 60 menit dan diklaim tidak membahas persoalan transisi kepemimpinan di tubuh KPPU, melainkan hanya konsep tata kelola pangan strategis. Dalam berbagai kesempatan, KPPU memang fokus mengikuti dinamika tata kelola komoditas pangan strategis, seperti beras, bawang, dan sebagainya.
"Bahkan, KPPU juga melakukan penyelidikan terkait dugaan pelanggaran persaingan usaha terkait tata kelola pangan. Saya senang karena itu mengingatkan kita semua. Semua orang Indonesia itu makan beras, makanya wajib kita pantau tentang beras ini," sambung Moeldoko.
Kendati demikian, mantan Panglima TNI ini menyayangkan belum maksimalnya regulasi tahapan peredaran beras. Lebih lanjut, kata dia, permasalahan yang menimpa petani bermula dari proses awal. Yakni dari budidaya, pasca panen, hingga tata niaga atau proses penjualan.
"Proses petani dalam mengelola beras dari padi menjadi gabah hingga beras itu melalui tahap yang panjang, itu yang perlu kita hargai dari petani beras. Walau semua dibrand dari awal semua tidak gini. Jangan seperti rencana baru bangun tidur tahapan peredaran beras ini," imbuhnya.
Sementara, Syarkawi Rauf mengatakan, adanya disparitas harga antara gabah dengan beras membuat KPPU dan Satuan Tugas (Satgas) Pangan memantau distribusi beras. Untuk itu pihaknya akan mengecek rantai distribusinya terlebih dahulu. Rantai distribusi beras diakuinya, masih lumayan panjang.
"Bagaimana lancar sampai ke konsumen, itu yang kita jaga. Biasanya, hasil panen petani masuk ke pengepul untuk kemudian masuk ke penggilingan. Dari penggilingan tersebut, beras baru disalurkan ke distributor. Distributor, riteler baru sampai ke end user. Nah ini yang ingin kita cek," terang Syarkawi.
Tidak hanya itu, KPPU juga mengusulkan agar Pasar Induk Beras (PIB) didirikan di setiap daerah yang menjadi sentra produksi beras. Hal itu perlu dilakukan agar referensi harga beras di pasaran menjadi beragam.
Syarkawi menjelaskan, selama ini patokan harga beras nasional selalu mengacu pada pasar induk beras Cipinang (PIBC). Padahal, stok beras yang masuk ke PIBC tidak mewakili jumlah beras nasional, sekitar 80 ribu ton per bulan.
"Sebulan kurang lebih hanya 80 ribu ton dari sekian juta ton beras di Indonesia. Jadi ini kan tidak fair merepresentasi nasional. Makanya kita dorong, PIB itu tidak hanya di Cipinang," kata Syarkawi.
Lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Hassanudin (1999) itu menyebutkan, PIB bisa didirikan di daerah yang menjadi sentra produksi beras nasional, yaitu Sulawesi Selatan (8% stok beras nasional), Jawa Timur (17% stok beras nasional). Selanjutnya, Jawa Tengah (15% stok beras nasional), Jawa Barat (15% stok beras nasional), Sumatera Selatan (6% stok beras nasional) dan Sumatera Utara (6% stok beras nasional).
"Sehingga kita punya banyak referensi mengenai pasokan dan harga beras dan tidak hanya bergantung pada PIBC yang jangan-jangan dikuasai oleh beberapa pedagang besar saja. Ini kan tidak fair," pungkas dia.
“Oh iya, bahas perberasan. Tidak ada isu lain. Kami bertemu akan menyusun konsep tentang tata kelola komoditas pangan strategis,” kata Moeldoko, dalam keterangannya, Kamis (15/2/2018).
Pertemuan sendiri berlangsung kurang dari 60 menit dan diklaim tidak membahas persoalan transisi kepemimpinan di tubuh KPPU, melainkan hanya konsep tata kelola pangan strategis. Dalam berbagai kesempatan, KPPU memang fokus mengikuti dinamika tata kelola komoditas pangan strategis, seperti beras, bawang, dan sebagainya.
"Bahkan, KPPU juga melakukan penyelidikan terkait dugaan pelanggaran persaingan usaha terkait tata kelola pangan. Saya senang karena itu mengingatkan kita semua. Semua orang Indonesia itu makan beras, makanya wajib kita pantau tentang beras ini," sambung Moeldoko.
Kendati demikian, mantan Panglima TNI ini menyayangkan belum maksimalnya regulasi tahapan peredaran beras. Lebih lanjut, kata dia, permasalahan yang menimpa petani bermula dari proses awal. Yakni dari budidaya, pasca panen, hingga tata niaga atau proses penjualan.
"Proses petani dalam mengelola beras dari padi menjadi gabah hingga beras itu melalui tahap yang panjang, itu yang perlu kita hargai dari petani beras. Walau semua dibrand dari awal semua tidak gini. Jangan seperti rencana baru bangun tidur tahapan peredaran beras ini," imbuhnya.
Sementara, Syarkawi Rauf mengatakan, adanya disparitas harga antara gabah dengan beras membuat KPPU dan Satuan Tugas (Satgas) Pangan memantau distribusi beras. Untuk itu pihaknya akan mengecek rantai distribusinya terlebih dahulu. Rantai distribusi beras diakuinya, masih lumayan panjang.
"Bagaimana lancar sampai ke konsumen, itu yang kita jaga. Biasanya, hasil panen petani masuk ke pengepul untuk kemudian masuk ke penggilingan. Dari penggilingan tersebut, beras baru disalurkan ke distributor. Distributor, riteler baru sampai ke end user. Nah ini yang ingin kita cek," terang Syarkawi.
Tidak hanya itu, KPPU juga mengusulkan agar Pasar Induk Beras (PIB) didirikan di setiap daerah yang menjadi sentra produksi beras. Hal itu perlu dilakukan agar referensi harga beras di pasaran menjadi beragam.
Syarkawi menjelaskan, selama ini patokan harga beras nasional selalu mengacu pada pasar induk beras Cipinang (PIBC). Padahal, stok beras yang masuk ke PIBC tidak mewakili jumlah beras nasional, sekitar 80 ribu ton per bulan.
"Sebulan kurang lebih hanya 80 ribu ton dari sekian juta ton beras di Indonesia. Jadi ini kan tidak fair merepresentasi nasional. Makanya kita dorong, PIB itu tidak hanya di Cipinang," kata Syarkawi.
Lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Hassanudin (1999) itu menyebutkan, PIB bisa didirikan di daerah yang menjadi sentra produksi beras nasional, yaitu Sulawesi Selatan (8% stok beras nasional), Jawa Timur (17% stok beras nasional). Selanjutnya, Jawa Tengah (15% stok beras nasional), Jawa Barat (15% stok beras nasional), Sumatera Selatan (6% stok beras nasional) dan Sumatera Utara (6% stok beras nasional).
"Sehingga kita punya banyak referensi mengenai pasokan dan harga beras dan tidak hanya bergantung pada PIBC yang jangan-jangan dikuasai oleh beberapa pedagang besar saja. Ini kan tidak fair," pungkas dia.
(akr)