Produk Biodiesel Dikenai BMAD, Ini Sikap Kemendag ke AS
A
A
A
JAKARTA - Pada tanggal 21 Februari 2018 US Department of Commerce (USDOC), institusi yang menentukan perhitungan besaran dumping, mempublikasikan penentuan akhir (final determination) atas penyelidikan anti-dumping untuk produk biodiesel yang berasal dari Indonesia dan Argentina.
Berdasarkan perhitungan akhir USDOC, terjadi peningkatan yang signifikan dari besaran dumping sementara (preliminary determination) yang ditetapkan pada 19 Oktober 2017.
Tercatat, besaran bea masuk anti-dumping (BMAD) yang dikenakan pada produsen biodiesel asal Indonesia, yakni Wilmar Trading PTE Ltd., naik dari semula 50,71% menjadi 92,52%. Lalu, PT Musim Mas dari semula 50,71% menjadi 276,65%, dan lainnya (all others) dari 50,71% menjadi 92,52%.
Kemendag menyebut besaran bea masuk yang meningkat secara signifikan pada penentuan akhir tersebut dilakukan secara tidak berdasar dan bertentangan dengan kententuan anti-dumping World Trade Organization (WTO).
Kemendag menyatakan, dengan asumsi bahwa Indonesia adalah negara dengan particular market situation, USDOC telah melakukan konstruksi terhadap nilai normal penjualan domestik produsen biodiesel Indonesia dengan tidak menggunakan data biaya produksi produsen biodiesel Indonesia yang sudah memenuhi ketentuan GAPP (generally accepted accounting principle).
Implementasi putusan USDOC ini akan tergantung pada putusan US International Trade Commission (USITC). Putusan final USITC dijadwalkan keluar pada 6 April 2018. Apabila USITC menyatakan tidak ada kerugian yang diderita oleh industri domestik atau kerugian itu tidak mempunyai hubungan kausalitas dengan impor biodiesel, maka kasus akan dihentikan dan BMAD tidak akan dikenakan.
Namun, jika USITC menemukan adanya kerugian dan hubungan kausalitas antara dumping dan kerugian, maka otoritas AS akan mengeluarkan perintah untuk memberlakukan BMAD kepada US Customs and Border Protection terhadap produk biodiesel Indonesia pada tanggal 13 April 2018.
"Sikap pemerintah saat ini adalah memperjuangkan kepentingan eksportir Indonesia di tingkat USITC melalui submisi dan dengar pendapat untuk membuktikan bahwa tidak terdapat kerugian pada industri biodiesel AS, dan impor dari Indonesia bukan penyebab dari kerugian tersebut dalam hal USITC menemukan adanya kerugian pada industri biodiesel AS," tegas Kemendag dalam keterangan resminya, jumat (23/2/2018).
Apabila pada akhirnya BMAD ini dikenakan sebagaimana halnya dengan Bea Masuk Anti-Subsidi (BMAS) yang sudah diputuskan pada 9 November 2017, pemerintah dan produsen biodiesel Indonesia berhak mengajukan gugatan terhadap AS di forum Dispute Settlement Body WTO dan juga di forum USCIT.
Terlepas dari itu, dengan adanya BMAS saat ini, ekspor biodiesel Indonesia ke AS telah terhenti karena tidak lagi kompetitif. Dampak negatif tersebut akan lebih terasa apabila BMAD dikenakan lagi atas ekspor biodiesel Indonesia ke AS.
"Dikhawatirkan akan terjadi efek domino dari tindakan over-protective AS yang dapat saja ditiru negara-negara tujuan ekspor biodiesel Indonesia lainnya, seperti Kanada," ungkap Kemendag.
Berdasarkan data Trade Map statistik, impor AS terhadap produk biodiesel Indonesia terus meningkat sejak 2014 hingga 2016, baik secara volume maupun nilai. Tren kenaikan berdasarkan volume rata-rata sebesar 47,31% dalam tiga tahun terakhir. Kenaikan terbesar secara nilai adalah pada 2016 di mana impor AS terhadap biodiesel Indonesia mengalami peningkatan sebesar 74,35% atau senilai USD268,2 juta.
Namun, setelah inisiasi kasus AD/CVD ini, ekspor Indonesia turun menjadi USD71.000 per kuartal III/2017 atau mengalami penurunan sebesar 99,97% dibandingkan tahun 2016.
Berdasarkan perhitungan akhir USDOC, terjadi peningkatan yang signifikan dari besaran dumping sementara (preliminary determination) yang ditetapkan pada 19 Oktober 2017.
Tercatat, besaran bea masuk anti-dumping (BMAD) yang dikenakan pada produsen biodiesel asal Indonesia, yakni Wilmar Trading PTE Ltd., naik dari semula 50,71% menjadi 92,52%. Lalu, PT Musim Mas dari semula 50,71% menjadi 276,65%, dan lainnya (all others) dari 50,71% menjadi 92,52%.
Kemendag menyebut besaran bea masuk yang meningkat secara signifikan pada penentuan akhir tersebut dilakukan secara tidak berdasar dan bertentangan dengan kententuan anti-dumping World Trade Organization (WTO).
Kemendag menyatakan, dengan asumsi bahwa Indonesia adalah negara dengan particular market situation, USDOC telah melakukan konstruksi terhadap nilai normal penjualan domestik produsen biodiesel Indonesia dengan tidak menggunakan data biaya produksi produsen biodiesel Indonesia yang sudah memenuhi ketentuan GAPP (generally accepted accounting principle).
Implementasi putusan USDOC ini akan tergantung pada putusan US International Trade Commission (USITC). Putusan final USITC dijadwalkan keluar pada 6 April 2018. Apabila USITC menyatakan tidak ada kerugian yang diderita oleh industri domestik atau kerugian itu tidak mempunyai hubungan kausalitas dengan impor biodiesel, maka kasus akan dihentikan dan BMAD tidak akan dikenakan.
Namun, jika USITC menemukan adanya kerugian dan hubungan kausalitas antara dumping dan kerugian, maka otoritas AS akan mengeluarkan perintah untuk memberlakukan BMAD kepada US Customs and Border Protection terhadap produk biodiesel Indonesia pada tanggal 13 April 2018.
"Sikap pemerintah saat ini adalah memperjuangkan kepentingan eksportir Indonesia di tingkat USITC melalui submisi dan dengar pendapat untuk membuktikan bahwa tidak terdapat kerugian pada industri biodiesel AS, dan impor dari Indonesia bukan penyebab dari kerugian tersebut dalam hal USITC menemukan adanya kerugian pada industri biodiesel AS," tegas Kemendag dalam keterangan resminya, jumat (23/2/2018).
Apabila pada akhirnya BMAD ini dikenakan sebagaimana halnya dengan Bea Masuk Anti-Subsidi (BMAS) yang sudah diputuskan pada 9 November 2017, pemerintah dan produsen biodiesel Indonesia berhak mengajukan gugatan terhadap AS di forum Dispute Settlement Body WTO dan juga di forum USCIT.
Terlepas dari itu, dengan adanya BMAS saat ini, ekspor biodiesel Indonesia ke AS telah terhenti karena tidak lagi kompetitif. Dampak negatif tersebut akan lebih terasa apabila BMAD dikenakan lagi atas ekspor biodiesel Indonesia ke AS.
"Dikhawatirkan akan terjadi efek domino dari tindakan over-protective AS yang dapat saja ditiru negara-negara tujuan ekspor biodiesel Indonesia lainnya, seperti Kanada," ungkap Kemendag.
Berdasarkan data Trade Map statistik, impor AS terhadap produk biodiesel Indonesia terus meningkat sejak 2014 hingga 2016, baik secara volume maupun nilai. Tren kenaikan berdasarkan volume rata-rata sebesar 47,31% dalam tiga tahun terakhir. Kenaikan terbesar secara nilai adalah pada 2016 di mana impor AS terhadap biodiesel Indonesia mengalami peningkatan sebesar 74,35% atau senilai USD268,2 juta.
Namun, setelah inisiasi kasus AD/CVD ini, ekspor Indonesia turun menjadi USD71.000 per kuartal III/2017 atau mengalami penurunan sebesar 99,97% dibandingkan tahun 2016.
(fjo)