Kadin Indonesia Ajak Semua Pihak Wujudkan Ketahanan Pangan
A
A
A
JAKARTA - Ketimpangan ekonomi masih mewarnai sektor pertanian, peternakan, dan perikanan, entah menyangkut lahan, kesempatan pembiayaan dan pasar, serta kemampuan dan ketrampilan SDM. Padahal sektor ini merupakan hal penting bagi kedaulatan dan keberlangsungan suatu bangsa.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Rosan Perkasa Roeslani mengatakan ketimpangan ini sangat mencolok, apalagi dikaitkan antara luas lahan pertanian dan jumlah penduduk di Jawa dan luar Jawa. Hampir 40% dari luas persawahan yang ada, yaitu 8,1 juta hektare terkonsentrasi di Pulau Jawa.
Padahal luas Jawa hanya 7% dari luas daratan Indonesia yang mencapai 181 juta hektare. Ironisnya, 60% penduduk Indonesia dari 265 juta jiwa bermukim di Pulau Jawa. Akibatnya, lahan sawah di Jawa setiap tahun semakin tergerus dan "raib" sekitar 100 ribu hektare, karena beralihnya fungsi persawahan.
Dan masalah penduduk dan pangan ini, mengingatkan kita akan teori ekonom Inggris, Robert Malthus, yang menyatakan laju pertumbuhan penduduk itu seperti deret ukur. Dan laju pertumbuhan pangan seperti deret hitung. Pertumbuhan penduduk lebih cepat dibandingkan laju pertumbuhan pangan. Dan dalam jangka panjang, manusia akan mengalami krisis sumber daya dan berebut pangan, bila tidak ada ikhtiar untuk mewujdukan ketahanan pangan nasional yang solid.
Kesadaran akan pentingnya swasembada dan ketahanan pangan nasional, membuat Kadin Indonesia melihat perlu terus dikembangkan kebijakan dan kemitraan yang berpihak terhadap pertanian, peternakan, dan perikanan. Sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani, peternak, dan nelayan, yang pada gilirannya menciptakan perekonomian lebih berkeadilan, seperti cita-cita nasional yang termaktub di Sila Kelima Pancasila: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Untuk menggapai ini, Kadin Indonesia kembali menyelenggarakan pameran dan seminar bertajuk Jakarta Food Security Summit (JFFS) ke-4, mulai 8-9 Maret 2018 di Jakarta Convention Center, Senayan. JFFS ini pada intinya merupakan upaya untuk menggerakkan seluruh pemangku kepentingan dalam mewujudkan swasembada dan ketahanan pangan nasional.
Dalam JJFS ini, Rosan mengajak semua pihak untuk mengatasi kendala pangan, dengan perlu mengembangkan program ekstensifikasi lahan pertanian, terutama di luar Jawa. Program ekstensifikasi tersebut diharapkan tidak terhambat oleh adanya ketentuan bahwa 70% dari total luas daratan sebesar 124 juta-130 juta Ha diperuntukkan bagi Kawasan Hutan.
"Ini merupakan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh pemerintah, karena tanpa ketersediaan lahan yang cukup, program swasembada dan ketahanan pangan nasional akan sulit tercipta," tandas Rosan, Kamis (8/3/2018).
Lanjut dia, secara simultan pemerintah juga harus mengupayakan untuk melepaskan ketergantungan konsumsi masyarakat kepada beras. Program diversifikasi pangan harus lebih ditingkatkan, mengingat Indonesia memiliki potensi besar untuk mengembangkan sumber-sumber karbohidrat selain beras, seperti jagung, sorghum, kentang, sagu dan umbi-umbian.
Untuk menunjang program diversifikasi tersebut perlu ditetapkan kluster komoditas terkait, di mana untuk mencapai tujuan tersebut juga diperlukan ketersediaan lahan yang memadai. "Indonesia akan mampu berswasembada dan menciptakan ketahanan pangan, dan bahkan mampu menjadi pemasok kebutuhan dan lumbung pangan dunia, apabila tidak terkendala oleh ketersediaan lahan pertanian," paparnya.
Rosan menambahkan sektor pertanian, peternakan, dan perikanan menjadi penggerak ekonomi dengan penyerapan tenaga kerja dan kontribusi bagi PDB. Data BPS per Agustus 2017, menunjukkan bahwa dari total tenaga kerjadi Indonesia yang berjumlah 121,02 juta, tenaga kerja disektor pertanian (di pedesaan) meliputi 35.93 juta orang atau sebesar 29,69%, yang merupakan jumlah tenaga kerja terbesar dibanding di sektor-sektor lainnya.
Sedangkan kalau dilihat dari struktur PDB dan pertumbuhan ekonomi menurut lapangan usaha, jelas terlihat adanya ketimpangan, di mana pertumbuhan sektor pertanian adalah 3,81% dan sumbangan pertanian pada PDB hanya 13,14%, sedang pertumbuhaan sektor industri 4,27% dan sumbangan sektor industri pada PDB adalah 20,16%.
"Dengan demikian sumbangan sektor pertanian kepada PDB relatif kecil, sedang jumlah tenaga kerjanya sangat besar, akibatnya tingkat kemiskinan di sektor pertanian tinggi dibanding dengan sektor lainnya," terang Rosan.
Adapun data BPS pada Maret 2017 mencatat jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 27,77 juta orang (10,64%). Angka tersebut mengalami sedikit kenaikan 6.900 orang dibandingkan kondisi September 2016 yang berjumlah 27,76 juta orang (10,70%). Meski secara prosentase angka kemiskinan mengalami penurunan, namun secara jumlah mengalami kenaikan.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 10,67 juta orang (38,4%) tinggal di perkotaan dan sebanyak 17,10 juta orang (sekitar 61,6%) di pedesaan, di mana mayoritas penduduk pedesaan adalah para petani, peternak dan nelayan, yang sangat membutuhkan dukungan untuk memperbaiki tingkat kesejahterannya.
Atas fakta-fakta di atas, kata Rosan, perlu upaya-upaya sistimatis untuk mewujudkan swasembada dan ketahanan pangan dengan melalui pemerataan ekonomi. Yaitu perhatian dan penanganan secara sungguh-sungguh, mengenai keterbatasan akses pada lahan; keterbatasan akses pada modal dan pasar; keterbatasan SDM, kelembagaan dan teknologi tepat guna; serta mengembangkan kemitraan.
Dalam rangka mempercepat pemerataan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan petani, Kadin akan terus meningkatkan upaya untuk mendorong kemitraan dengan petani, yang pada saat ini berjumlah 387.098. Pada saat ini, Kadin akan terus berusaha untuk mengembangkan "konsep kemitraan" dengan menerapkan "sistem Closed Loop" (mata rantai tertutup dan terintegrasi).
Dalam sistem ini, semua pemangku kepentingan akan dilibatkan secara aktif dengan melalui koordinasi kelembagaan terkait (perusahaan, bank, asuransi, dan koperasi). Bank harus mendukung perusahaan sebagai pembeli barang petani dan mendukung koperasi dalam memberikan pendampingan kepada petani dengan bunga murah.
Selanjutnya koperasi membantu mengupayakan pencairan kredit, peningkatan kualitas sumber daya manusia dan menciptakan good governance. Dalam sistem ini, perusahaan memainkan peran selain selaku off take, juga memberikan pendampingan agar “good agricultural practice” dijalankan dengan baik
Dengan dukungan kebijakan yang berpihak kepada para petani, peternak dan nelayan, kata Rosan, hal ini dapat mewujudkan swasembada dan ketahanan pangan. "Sehingga tidak hanya dapat memenuhi kebutuhan pangan di dalam negeri, Indonesia juga dapat menjadi lumbung pangan dunia," tandasnya.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Rosan Perkasa Roeslani mengatakan ketimpangan ini sangat mencolok, apalagi dikaitkan antara luas lahan pertanian dan jumlah penduduk di Jawa dan luar Jawa. Hampir 40% dari luas persawahan yang ada, yaitu 8,1 juta hektare terkonsentrasi di Pulau Jawa.
Padahal luas Jawa hanya 7% dari luas daratan Indonesia yang mencapai 181 juta hektare. Ironisnya, 60% penduduk Indonesia dari 265 juta jiwa bermukim di Pulau Jawa. Akibatnya, lahan sawah di Jawa setiap tahun semakin tergerus dan "raib" sekitar 100 ribu hektare, karena beralihnya fungsi persawahan.
Dan masalah penduduk dan pangan ini, mengingatkan kita akan teori ekonom Inggris, Robert Malthus, yang menyatakan laju pertumbuhan penduduk itu seperti deret ukur. Dan laju pertumbuhan pangan seperti deret hitung. Pertumbuhan penduduk lebih cepat dibandingkan laju pertumbuhan pangan. Dan dalam jangka panjang, manusia akan mengalami krisis sumber daya dan berebut pangan, bila tidak ada ikhtiar untuk mewujdukan ketahanan pangan nasional yang solid.
Kesadaran akan pentingnya swasembada dan ketahanan pangan nasional, membuat Kadin Indonesia melihat perlu terus dikembangkan kebijakan dan kemitraan yang berpihak terhadap pertanian, peternakan, dan perikanan. Sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani, peternak, dan nelayan, yang pada gilirannya menciptakan perekonomian lebih berkeadilan, seperti cita-cita nasional yang termaktub di Sila Kelima Pancasila: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Untuk menggapai ini, Kadin Indonesia kembali menyelenggarakan pameran dan seminar bertajuk Jakarta Food Security Summit (JFFS) ke-4, mulai 8-9 Maret 2018 di Jakarta Convention Center, Senayan. JFFS ini pada intinya merupakan upaya untuk menggerakkan seluruh pemangku kepentingan dalam mewujudkan swasembada dan ketahanan pangan nasional.
Dalam JJFS ini, Rosan mengajak semua pihak untuk mengatasi kendala pangan, dengan perlu mengembangkan program ekstensifikasi lahan pertanian, terutama di luar Jawa. Program ekstensifikasi tersebut diharapkan tidak terhambat oleh adanya ketentuan bahwa 70% dari total luas daratan sebesar 124 juta-130 juta Ha diperuntukkan bagi Kawasan Hutan.
"Ini merupakan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh pemerintah, karena tanpa ketersediaan lahan yang cukup, program swasembada dan ketahanan pangan nasional akan sulit tercipta," tandas Rosan, Kamis (8/3/2018).
Lanjut dia, secara simultan pemerintah juga harus mengupayakan untuk melepaskan ketergantungan konsumsi masyarakat kepada beras. Program diversifikasi pangan harus lebih ditingkatkan, mengingat Indonesia memiliki potensi besar untuk mengembangkan sumber-sumber karbohidrat selain beras, seperti jagung, sorghum, kentang, sagu dan umbi-umbian.
Untuk menunjang program diversifikasi tersebut perlu ditetapkan kluster komoditas terkait, di mana untuk mencapai tujuan tersebut juga diperlukan ketersediaan lahan yang memadai. "Indonesia akan mampu berswasembada dan menciptakan ketahanan pangan, dan bahkan mampu menjadi pemasok kebutuhan dan lumbung pangan dunia, apabila tidak terkendala oleh ketersediaan lahan pertanian," paparnya.
Rosan menambahkan sektor pertanian, peternakan, dan perikanan menjadi penggerak ekonomi dengan penyerapan tenaga kerja dan kontribusi bagi PDB. Data BPS per Agustus 2017, menunjukkan bahwa dari total tenaga kerjadi Indonesia yang berjumlah 121,02 juta, tenaga kerja disektor pertanian (di pedesaan) meliputi 35.93 juta orang atau sebesar 29,69%, yang merupakan jumlah tenaga kerja terbesar dibanding di sektor-sektor lainnya.
Sedangkan kalau dilihat dari struktur PDB dan pertumbuhan ekonomi menurut lapangan usaha, jelas terlihat adanya ketimpangan, di mana pertumbuhan sektor pertanian adalah 3,81% dan sumbangan pertanian pada PDB hanya 13,14%, sedang pertumbuhaan sektor industri 4,27% dan sumbangan sektor industri pada PDB adalah 20,16%.
"Dengan demikian sumbangan sektor pertanian kepada PDB relatif kecil, sedang jumlah tenaga kerjanya sangat besar, akibatnya tingkat kemiskinan di sektor pertanian tinggi dibanding dengan sektor lainnya," terang Rosan.
Adapun data BPS pada Maret 2017 mencatat jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 27,77 juta orang (10,64%). Angka tersebut mengalami sedikit kenaikan 6.900 orang dibandingkan kondisi September 2016 yang berjumlah 27,76 juta orang (10,70%). Meski secara prosentase angka kemiskinan mengalami penurunan, namun secara jumlah mengalami kenaikan.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 10,67 juta orang (38,4%) tinggal di perkotaan dan sebanyak 17,10 juta orang (sekitar 61,6%) di pedesaan, di mana mayoritas penduduk pedesaan adalah para petani, peternak dan nelayan, yang sangat membutuhkan dukungan untuk memperbaiki tingkat kesejahterannya.
Atas fakta-fakta di atas, kata Rosan, perlu upaya-upaya sistimatis untuk mewujudkan swasembada dan ketahanan pangan dengan melalui pemerataan ekonomi. Yaitu perhatian dan penanganan secara sungguh-sungguh, mengenai keterbatasan akses pada lahan; keterbatasan akses pada modal dan pasar; keterbatasan SDM, kelembagaan dan teknologi tepat guna; serta mengembangkan kemitraan.
Dalam rangka mempercepat pemerataan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan petani, Kadin akan terus meningkatkan upaya untuk mendorong kemitraan dengan petani, yang pada saat ini berjumlah 387.098. Pada saat ini, Kadin akan terus berusaha untuk mengembangkan "konsep kemitraan" dengan menerapkan "sistem Closed Loop" (mata rantai tertutup dan terintegrasi).
Dalam sistem ini, semua pemangku kepentingan akan dilibatkan secara aktif dengan melalui koordinasi kelembagaan terkait (perusahaan, bank, asuransi, dan koperasi). Bank harus mendukung perusahaan sebagai pembeli barang petani dan mendukung koperasi dalam memberikan pendampingan kepada petani dengan bunga murah.
Selanjutnya koperasi membantu mengupayakan pencairan kredit, peningkatan kualitas sumber daya manusia dan menciptakan good governance. Dalam sistem ini, perusahaan memainkan peran selain selaku off take, juga memberikan pendampingan agar “good agricultural practice” dijalankan dengan baik
Dengan dukungan kebijakan yang berpihak kepada para petani, peternak dan nelayan, kata Rosan, hal ini dapat mewujudkan swasembada dan ketahanan pangan. "Sehingga tidak hanya dapat memenuhi kebutuhan pangan di dalam negeri, Indonesia juga dapat menjadi lumbung pangan dunia," tandasnya.
(ven)