Pembentukan Holding BUMN Migas Dinilai Terlalu Cepat

Selasa, 13 Maret 2018 - 16:04 WIB
Pembentukan Holding...
Pembentukan Holding BUMN Migas Dinilai Terlalu Cepat
A A A
JAKARTA - Pembentukan perusahaan induk (holding) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sektor minyak dan gas bumi (Migas) dinilai terlalu tergesa-gesa. Bahkan menurut Center for Budget Analysis (CBA) dinilai kurang tepat, sehingga menimbulkan dugaan sejumlah kejanggalan atas rencana Kementerian BUMN tersebut.

Koordinator Investigasi CBA Jajang Nurjaman menerangkan, kinerja keuangan PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk atau PGN jauh lebih baik dibandingkan PT Pertamina Gas (Pertagas) sebagai anak usaha PT Pertamina (Persero). Ia mencatat hingga september 2017, total aset PGN mencapai USD6,30 miliar atau setara Rp 83,89 triliun dengan kurs Rp13.300 per dolar.

Bahkan menurutnya setiap tahun, PGN bisa mengukuhkan pendapatan rata-rata sebesar Rp28,79 triliun. Ia juga menilai meskipun sama-sama berada di sektor bisnis transmisi dan distribusi atau niaga gas, kedua jauh berbeda dalam pendapatan. Di mana PGN bisa memperoleh pendapatan Rp38,15 triliun sedangkan Pertagas hanya bisa mengumpulkan Rp8,69 triliun.

"Bahkan yang akan menjadi induk dari holding BUMN Migas, sampai Desember 2017 lalu memiliki utang sebesar Rp153,7 triliun. Kalau dilihat dari neraca keuangan, bisa dinilai PGN cukup stabil dan sehat sedangkan Pertamina dalam kondisi yang kritis," kata Jajang seperti dalam keterangan resmi dikutip dari hasil riset yang dibuatnya, Selasa (13/3/2018).

Lebih lanjut CBA mengungkapkan upay merger PGN dengan Pertagas ada niat tersembunyi. "Ambisi Menteri BUMN Rini Soemarno yang begitu menggebu-gebu untuk menggabungkan kedua perusahaan, terselip udang di balik batu. Dengan dilakukannya penggabungan atau merger dua perusahaan gas juga bisa menimbulkan monopoli usaha karena tidak ada lagi persaingan usaha dan pengguna dalam hal ini masyarakat tidak ada pilihan harga gas yang berbeda lagi," kata Jajang.

Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi VI DPR Inas N Zubir mengatakan kebijakan holding BUMN migas yang dijalankan Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2018 tentang Penyertaan Modal Negara (PMN) Republik Indonesia ke Dalam Modal Saham Perusahaan (Perseroan) terlalu terburu-buru hingga mengabaikan berbagai aspek.

Inas menyebut sebanyak 29 persen pemegang saham PGN yang merupakan perusahaan publik masih menolak pembentukan holding tersebut. "PP Nomor 6 tahun 2018 tentang Holding Migas terlalu terburu-buru karena RUPS Luar Biasa PGN yang lalu masih menyisakan masalah. Sebanyak 29 persen pemegang saham belum menyetujui holding tersebut," katanya.

Selain itu, terdapat juga permasalahan hukum karena pembentukan holding dilakukan pemerintah tanpa melibatkan DPR sebagai lembaga pengawas aset kekayaan negara. Belum lagi pembentukan holding migas ini dilakukan saat masih bergulirnya proses gugatan UU BUMN. Jika gugatan ini dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), diperkirakan akan berimbas kepada turunannya termasuk PP pembentukan Holding. "Dengan demikian, kebijakan holding tidak memberikan kepastian hukum," ujar Inas.

Jajang mengingatkan pemerintah bahwa pembentukan holding yang mengubah status PGN sebagai perusahaan publik menjadi perseroan terbatas (PT) justru akan menjadi ladang subur bagi mafia migas. Dari sisi pengelolaan keuangan, dengan dijadikannya PGN sebagai anak usaha Pertamina maka DPR, BPK, atau bahkan KPK tidak lagi leluasa mengawasi PGN. "Perusahaan ini akan sama halnya dengan anak-anak usaha BUMN lainnya seperti Pertagas yang tertutup, banyak masalah, dan ladang subur bagi mafia," tegas Jajang.
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8213 seconds (0.1#10.140)