BI Perkirakan Prospek Pemulihan Ekonomi Global Membaik
A
A
A
JAKARTA - Pertumbuhan ekonomi global tahun 2018 diperkirakan meningkat. Prospek pemulihan ekonomi global yang membaik tersebut diyakini akan meningkatkan volume perdagangan dunia dan harga komoditas tahun ini, termasuk minyak.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Agusman mengatakan, peningkatan pertumbuhan ekonomi global bersumber dari perbaikan ekonomi negara maju dan negara berkembang yang lebih kuat dari perkiraan semula. Di negara maju, pertumbuhan ekonomi AS diperkirakan meningkat ditopang oleh investasi dan konsumsi yang menguat seiring optimisme terhadap reformasi pajak di AS.
Sejalan dengan perkembangan tersebut, suku bunga Fed Fund Rate (FFR) diprakirakan akan kembali meningkat disertai dengan penurunan besaran neraca bank sentral untuk merespons ekspektasi inflasi yang akan meningkat di kisaran targetnya.
"Ekonomi Eropa juga diprakirakan tumbuh lebih baik, didukung oleh perbaikan ekspor dan konsumsi serta kebijakan moneter yang akomodatif," ujar Agusman di Jakarta, Selasa (13/3/2018).
Sedangan pertumbuhan ekonomi Jepang juga direvisi ke atas sejalan dengan perkembangan ekspor yang kuat, implementasi insentif perpajakan untuk perusahaan, dan kebijakan moneter yang masih akomodatif. Sementara itu di negara berkembang, pertumbuhan ekonomi Tiongkok diprakirakan tetap tumbuh tinggi terutama didorong oleh ekspor seiring peningkatan permintaan, khususnya dari negara maju.
"Ekonomi India diprediksi mulai pulih seiring dengan hilangnya dampak demonetisasi dan penerapan sistem pajak baru," ungkapnya.
Di sisi lain, BI juga menyatakan, perekonomian Indonesia terus menunjukkan kinerja yang membaik dengan struktur yang lebih berimbang. BI meyakini bahwa terjaganya stabilitas perekonomian menjadi landasan utama bagi terciptanya pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat dan berkelanjutan.
Menurut dia, sejumlah risiko tetap perlu diwaspadai, baik yang bersumber dari eksternal seperti peningkatan ketidakpastian pasar keuangan global terkait ekspektasi kenaikan Fed Fund Rate yang lebih tinggi dari perkiraan dan peningkatan harga minyak dunia, maupun dari dalam negeri terkait konsolidasi korporasi yang terus berlanjut, intermediasi perbankan yang belum kuat dan risiko inflasi.
Untuk itu, sambung Agusman, BI akan terus mengoptimalkan bauran kebijakan moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran untuk menjaga keseimbangan antara stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan dengan proses pemulihan ekonomi yang sedang berlangsung. BI juga semakin memperkuat koordinasi kebijakan dengan pemerintah untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan serta penguatan pelaksanaan reformasi struktural.
Ekonom Indef Bhima Yudhistira mengungkapkan, pertumbuhan ekonomi global diproyeksi akan tumbuh sebesar 3-3,2% tahun ini. Reformasi kebijakan pajak akan mendorong investasi dan penyerapan tenaga kerja di AS.
Namun ada kekhawatiran Fed Fund Rate akan naik lebih cepat dari ekspektasi sehingga ketidakpastian pemulihan ekonomi AS bisa berjalan mulus. "Kebijakan proteksionisme AS juga mengancam surplus perdagangan negara-negara mitra dagang AS," kata dia.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Agusman mengatakan, peningkatan pertumbuhan ekonomi global bersumber dari perbaikan ekonomi negara maju dan negara berkembang yang lebih kuat dari perkiraan semula. Di negara maju, pertumbuhan ekonomi AS diperkirakan meningkat ditopang oleh investasi dan konsumsi yang menguat seiring optimisme terhadap reformasi pajak di AS.
Sejalan dengan perkembangan tersebut, suku bunga Fed Fund Rate (FFR) diprakirakan akan kembali meningkat disertai dengan penurunan besaran neraca bank sentral untuk merespons ekspektasi inflasi yang akan meningkat di kisaran targetnya.
"Ekonomi Eropa juga diprakirakan tumbuh lebih baik, didukung oleh perbaikan ekspor dan konsumsi serta kebijakan moneter yang akomodatif," ujar Agusman di Jakarta, Selasa (13/3/2018).
Sedangan pertumbuhan ekonomi Jepang juga direvisi ke atas sejalan dengan perkembangan ekspor yang kuat, implementasi insentif perpajakan untuk perusahaan, dan kebijakan moneter yang masih akomodatif. Sementara itu di negara berkembang, pertumbuhan ekonomi Tiongkok diprakirakan tetap tumbuh tinggi terutama didorong oleh ekspor seiring peningkatan permintaan, khususnya dari negara maju.
"Ekonomi India diprediksi mulai pulih seiring dengan hilangnya dampak demonetisasi dan penerapan sistem pajak baru," ungkapnya.
Di sisi lain, BI juga menyatakan, perekonomian Indonesia terus menunjukkan kinerja yang membaik dengan struktur yang lebih berimbang. BI meyakini bahwa terjaganya stabilitas perekonomian menjadi landasan utama bagi terciptanya pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat dan berkelanjutan.
Menurut dia, sejumlah risiko tetap perlu diwaspadai, baik yang bersumber dari eksternal seperti peningkatan ketidakpastian pasar keuangan global terkait ekspektasi kenaikan Fed Fund Rate yang lebih tinggi dari perkiraan dan peningkatan harga minyak dunia, maupun dari dalam negeri terkait konsolidasi korporasi yang terus berlanjut, intermediasi perbankan yang belum kuat dan risiko inflasi.
Untuk itu, sambung Agusman, BI akan terus mengoptimalkan bauran kebijakan moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran untuk menjaga keseimbangan antara stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan dengan proses pemulihan ekonomi yang sedang berlangsung. BI juga semakin memperkuat koordinasi kebijakan dengan pemerintah untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan serta penguatan pelaksanaan reformasi struktural.
Ekonom Indef Bhima Yudhistira mengungkapkan, pertumbuhan ekonomi global diproyeksi akan tumbuh sebesar 3-3,2% tahun ini. Reformasi kebijakan pajak akan mendorong investasi dan penyerapan tenaga kerja di AS.
Namun ada kekhawatiran Fed Fund Rate akan naik lebih cepat dari ekspektasi sehingga ketidakpastian pemulihan ekonomi AS bisa berjalan mulus. "Kebijakan proteksionisme AS juga mengancam surplus perdagangan negara-negara mitra dagang AS," kata dia.
(fjo)