Revolusi Industri 4.0 Bakal Geser 50% Jumlah Pekerjaan
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) sudah menyiapkan pemetaan jabatan-jabatan pekerjaan baru akibat dampak dari Revolusi Industri 4.0. Strategi bersama transformasi industri ini harus menyesuaikan diri dengan kompetensi dan pasar tenaga kerja.
"Setiap revolusi industri pasti akan menggerus sejumlah pekerjaan, namun revolusi industri juga memunculkan pekerjaan baru," ujar Dirjen Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas Kemenaker Bambang Satrio Lelono di Jakarta.
Dirjen Bambang dampak dari revolusi industri 4.0 bisa menggeser 50% dari jumlah pekerjaan yang ada sekarang ini. Namun jangan khawatir setiap perubahan pasti ada peluang pekerjaan yang baru. Sebagai contoh ke depan produk mobil listrik akan menjadi andalan di pasar otomotif, maka desain pendidikan mulai tingkat SMK dan perguruan tinggi harus menuju ke sana.
"Orang yang bisa beradaptasi yang mampu bersaing dalam setiap perubahan era industri," katanya
Saat ini, menurut Bambang Satrio Lelono, dalam menyikapi industri 4.0 maka dibutuhkan pemetaan jabatan-jabatan pekerjaan baru. Seperti misalnya transformasi dari industri otomotif berbahan bakar BBM ke kendaraan listrik. Pihaknya saat ini sudah mengidentifikasi kompetensi tenaga kerja baru terhadap jabatan-jabatan yang cocok di era disrupsi digital.
"Kuncinya adalah diperlukan strategi bersama transformasi industri, pemetaan jabatan-jabatan baru dan pemenuhan skill yang sesuai dengan kebutuhan industri," jelas Bambang.
Melansir dari data Kemenaker, total angkatan kerja (usia produktif) mencapai 192 juta orang. Dari jumlah tersebut sebanyak 128 juta angkatan kerja, 64 juta bukan angkatan kerja produktif (ibu rumah tangga dan lain-lain). Dari angkatan kerja sebesar 121 juta orang, sebanyak 7,04 juta orang adalah penganggur terbuka. Sementara dalam pasar kerja jumlah pekerja paruh waktu atau setengah menganggur sangat besar sekitar 51 juta orang.
Sebanyak 60% berpendidikan SMP ke bawah, sebanyak 27% pendidikan SMA sederajat, dan 12% lulusan perguruan tinggi. Dari komposisi ini angkatan kerja nasional 88% didominasi operator dan hanya 12% memiliki kemampuan perekayasa (engineer). Dari data Kemenaker ini, justru pendidikan menengah ke atas yang banyak menganggur. Hal ini yang harus diantisipasi sejak di pendidikan menengah dan tinggi.
Kondisi demikian, Bambang menerangkan, jelas merupakan missmatch antara lulusan pendidikan dan kebutuhan industri atau under qualified di pasar kerja. Mereka akhirnya masuk ke Balai Latihan Kerja (BLK).
Melihat hal itu, pemerintah terus memperkuat pendidikan vokasi bekerja sama dengan industri dan perguruan tinggi maupun sekolah kejuruan. Kemenaker juga menguatkan Balai Latihan Kerja (BLK) yang sesuai dengan kebutuhan industri 4.0.
"Setiap revolusi industri pasti akan menggerus sejumlah pekerjaan, namun revolusi industri juga memunculkan pekerjaan baru," ujar Dirjen Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas Kemenaker Bambang Satrio Lelono di Jakarta.
Dirjen Bambang dampak dari revolusi industri 4.0 bisa menggeser 50% dari jumlah pekerjaan yang ada sekarang ini. Namun jangan khawatir setiap perubahan pasti ada peluang pekerjaan yang baru. Sebagai contoh ke depan produk mobil listrik akan menjadi andalan di pasar otomotif, maka desain pendidikan mulai tingkat SMK dan perguruan tinggi harus menuju ke sana.
"Orang yang bisa beradaptasi yang mampu bersaing dalam setiap perubahan era industri," katanya
Saat ini, menurut Bambang Satrio Lelono, dalam menyikapi industri 4.0 maka dibutuhkan pemetaan jabatan-jabatan pekerjaan baru. Seperti misalnya transformasi dari industri otomotif berbahan bakar BBM ke kendaraan listrik. Pihaknya saat ini sudah mengidentifikasi kompetensi tenaga kerja baru terhadap jabatan-jabatan yang cocok di era disrupsi digital.
"Kuncinya adalah diperlukan strategi bersama transformasi industri, pemetaan jabatan-jabatan baru dan pemenuhan skill yang sesuai dengan kebutuhan industri," jelas Bambang.
Melansir dari data Kemenaker, total angkatan kerja (usia produktif) mencapai 192 juta orang. Dari jumlah tersebut sebanyak 128 juta angkatan kerja, 64 juta bukan angkatan kerja produktif (ibu rumah tangga dan lain-lain). Dari angkatan kerja sebesar 121 juta orang, sebanyak 7,04 juta orang adalah penganggur terbuka. Sementara dalam pasar kerja jumlah pekerja paruh waktu atau setengah menganggur sangat besar sekitar 51 juta orang.
Sebanyak 60% berpendidikan SMP ke bawah, sebanyak 27% pendidikan SMA sederajat, dan 12% lulusan perguruan tinggi. Dari komposisi ini angkatan kerja nasional 88% didominasi operator dan hanya 12% memiliki kemampuan perekayasa (engineer). Dari data Kemenaker ini, justru pendidikan menengah ke atas yang banyak menganggur. Hal ini yang harus diantisipasi sejak di pendidikan menengah dan tinggi.
Kondisi demikian, Bambang menerangkan, jelas merupakan missmatch antara lulusan pendidikan dan kebutuhan industri atau under qualified di pasar kerja. Mereka akhirnya masuk ke Balai Latihan Kerja (BLK).
Melihat hal itu, pemerintah terus memperkuat pendidikan vokasi bekerja sama dengan industri dan perguruan tinggi maupun sekolah kejuruan. Kemenaker juga menguatkan Balai Latihan Kerja (BLK) yang sesuai dengan kebutuhan industri 4.0.
(akr)