Diplomasi Sawit Indonesia di Uni Eropa
A
A
A
JAKARTA - Menteri Koordinator (Menko) Bidang Kemaritiman Luhut Pandjaitan diperintahkan Presiden Joko Widodo untuk melakukan pertemuan-pertemuan mengenai sawit di Uni Eropa. Pertemuan-pertemuan ini merupakan bagian dari lobi pemerintah menghadapi rencana pengesahan rancangan proposal energi yang menghapus penggunaan bahan minyak nabati sawit untuk biodiesel pada tahun 2021 di parlemen Uni Eropa.
“Saya diperintahkan presiden untuk pergi ke Uni Eropa untuk melakukan pertemuan-pertemuan mengenai sawit. Kepentingan saya soal sawit sebenarnya renewable energy-nya dan biodieselnya. Jadi jangan tanyakan kenapa Menko Maritim urus sawit, saya urus biodieselnya, biodieselnya asalnya dari sawit, gitu aja. Supaya clear dulu," kata Menko Luhut seperti dikutip dari laman resmi Kemenko Maritim.
Renewable Energy dan biodiesel menjadi perhatian Kemenko Maritim karena kementerian teknis bidang energi -Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sesuai Perpres Nomor 10 tahun 2015 berada dalam koordinasi dengan Kemenko Maritim.
Menko Luhut menjawab issue yang dilontarkan Eropa mengenai masalah lingkungan hidup, deforestasi dan hak asasi manusia terkait sawit. “Saya jelaskan bagaimana kita peduli pada lingkungan, kita peduli pada peatlands. Untuk masalah human rights, kita sekarang disclose masalah human rights ini, masalah human rights sudah diselesaikan sejak saya masih di Menkopolhukam. Jadi saya pikir itu bukan issue lagi," ungkapnya
Terkait deforestasi lahan, Menko Luhut memberi penjelasan, luas lahan kelapa sawit kita 12 juta hektar dan sudah moratorium, jadi tidak ada penambahan lahan baru. “1 kelapa sawit sama dengan 10 soya bean dalam perbandingan luasan tanah untuk menanam. Kita menanam sawit di tanah-tanah bekas, jadi kita tidak menanam yang baru. Kita sudah moratorium (lahan untuk menanam sawit) sejak 6 tahun yang lalu," tambah Menko Luhut yang menekankan kelapa sawit lebih efisien dibanding soya bean.
Sawit Mengatasi Kemiskinan
Indonesia pernah mengalami krisis ekonomi pada tahun 1998. Sejak krisis ekonomi mulai terasa pada pertengahan tahun 1997, sektor perkebunan menjadi penyelamat bagi petani perkebunan khususnya petani kelapa sawit. Pada saat krisis tersebut harga tandan buah segar (TBS) meningkat tajam, ini memicu perusahaan perkebunan dan petani swadaya melakukan pengembangan perkebunan kelapa sawit.
Saat ini ada kira-kira 17.5 juta orang yang bekerja di bidang sawit, baik langsung di sektor perkebunannya maupun di sektor industri olahannya. Dalam lawatannya ke Eropa, Menko Luhut mengangkat peran sawit mengatasi masalah kemiskinan,
“Jadi kalau kalian tidak memberikan bantuan atau tidak mengakomodir eksport kami kesana, banning kami mulai 2021, hal itu akan berdampak pada kemiskinan. Padahal angka kemiskinan kita sudah turun dari 0.41 menjadi 0.391 . Genie Ratio (Indonesia) itu banyak karena kelapa sawit. Perkebunan sawit ini banyak dimiliki negara-negara berkembang," terangnya merujuk pada studi yang dilakukan Universitas Stanford pada tahun 2016.
Lampu Hijau China
Menko Luhut melanjutkan paparannya dengan pasar-pasar selain Eropa yang akan mengimpor sawit. Salah satunya adalah Tiongkok. “Tiongkok telah beri green light untuk import sawit 500.000 ton tahun ini dan peluang angka ini naik sangat besar. Oleh karena itu saya pikir perkembangannya bagus," ungkapnya.
Menko Luhut memastikan bahwa Indonesia telah memiliki posisi tawar yang baik dengan Uni Eropa, “Kita itu bukan minta-minta pada mereka. Kita cuma meminta perlakuan yang adil bersandar pada WTO, tidak boleh ada diskriminasi dalam hal ini”.
Seminar Agriculture di Vatikan
Salah satu hasil lobi Menko Luhut adalah mengadakan seminar tentang agriculture. Seminar yang rencananya berlangsung di Urbania University (Pontificia Universita Urbaniana) Vatikan, Roma tanggal 15 Mei 2018 mendatang merupakan usulan dari beberapa negara. “Seminar ini tidak hanya membahas tentang Sawit, melainkan agriculture tanpa diskriminasi. Mengapa Vatikan? Karena Vatikan melihat akar masalahnya, masalah kemiskinan, masalah humanity, masalah keadilan, itu saja," paparnya.
Salah satu pembicara utama dalam seminar ini adalah Kardinal Peter Turkson (Prefect of the Dicastery for Promoting Integral Human Development). Seminar akan dihadiri oleh parlemen Uni Eropa, pengusaha-pengusaha kelapa sawit, beberapa Menteri, beberapa NGO, petani Sawit dan pakar-pakar lain, kira-kira berjumlah 75 sampai 100 orang.
Kunjungan Delegasi Parlemen Uni Eropa ke Indonesia
Perwakilan Parlemen Uni Eropa telah mengunjungi Indonesia. Delegasi Uni Eropa diterima Menko Luhut dikantornya pada hari Rabu,9 Mei 2018. Menjawab pertanyaan media mengenai bagaimana hasil kunjungan Delegasi ini, Menko Luhut menyampaikan bahwa Eropa belum memahami Indonesia.
“Mereka tidak memahami besarnya Indonesia, mereka saya kasih peta Indonesia. Saya Jelaskan kepada mereka kemarin, kita disini, ini Merauke, ini Sabang, ini 8 jam terbang , kami 17 ribu pulau, 265 juta penduduk, GDP 1,1 triliun US Dollar," kata Menko Luhut sambil menunjukkan peta Indonesia di layar presentasi.
Menko Luhut juga menunjukkan posisi-posisi perkebunan Sawit di Sumatra dan Kalimantan, “Kemiskinan disini bisa terjadi . Mereka paham, kita ini bukan negara miskin , jadi jangan pikir kita ini banana republic," tegasnya.
“Saya diperintahkan presiden untuk pergi ke Uni Eropa untuk melakukan pertemuan-pertemuan mengenai sawit. Kepentingan saya soal sawit sebenarnya renewable energy-nya dan biodieselnya. Jadi jangan tanyakan kenapa Menko Maritim urus sawit, saya urus biodieselnya, biodieselnya asalnya dari sawit, gitu aja. Supaya clear dulu," kata Menko Luhut seperti dikutip dari laman resmi Kemenko Maritim.
Renewable Energy dan biodiesel menjadi perhatian Kemenko Maritim karena kementerian teknis bidang energi -Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sesuai Perpres Nomor 10 tahun 2015 berada dalam koordinasi dengan Kemenko Maritim.
Menko Luhut menjawab issue yang dilontarkan Eropa mengenai masalah lingkungan hidup, deforestasi dan hak asasi manusia terkait sawit. “Saya jelaskan bagaimana kita peduli pada lingkungan, kita peduli pada peatlands. Untuk masalah human rights, kita sekarang disclose masalah human rights ini, masalah human rights sudah diselesaikan sejak saya masih di Menkopolhukam. Jadi saya pikir itu bukan issue lagi," ungkapnya
Terkait deforestasi lahan, Menko Luhut memberi penjelasan, luas lahan kelapa sawit kita 12 juta hektar dan sudah moratorium, jadi tidak ada penambahan lahan baru. “1 kelapa sawit sama dengan 10 soya bean dalam perbandingan luasan tanah untuk menanam. Kita menanam sawit di tanah-tanah bekas, jadi kita tidak menanam yang baru. Kita sudah moratorium (lahan untuk menanam sawit) sejak 6 tahun yang lalu," tambah Menko Luhut yang menekankan kelapa sawit lebih efisien dibanding soya bean.
Sawit Mengatasi Kemiskinan
Indonesia pernah mengalami krisis ekonomi pada tahun 1998. Sejak krisis ekonomi mulai terasa pada pertengahan tahun 1997, sektor perkebunan menjadi penyelamat bagi petani perkebunan khususnya petani kelapa sawit. Pada saat krisis tersebut harga tandan buah segar (TBS) meningkat tajam, ini memicu perusahaan perkebunan dan petani swadaya melakukan pengembangan perkebunan kelapa sawit.
Saat ini ada kira-kira 17.5 juta orang yang bekerja di bidang sawit, baik langsung di sektor perkebunannya maupun di sektor industri olahannya. Dalam lawatannya ke Eropa, Menko Luhut mengangkat peran sawit mengatasi masalah kemiskinan,
“Jadi kalau kalian tidak memberikan bantuan atau tidak mengakomodir eksport kami kesana, banning kami mulai 2021, hal itu akan berdampak pada kemiskinan. Padahal angka kemiskinan kita sudah turun dari 0.41 menjadi 0.391 . Genie Ratio (Indonesia) itu banyak karena kelapa sawit. Perkebunan sawit ini banyak dimiliki negara-negara berkembang," terangnya merujuk pada studi yang dilakukan Universitas Stanford pada tahun 2016.
Lampu Hijau China
Menko Luhut melanjutkan paparannya dengan pasar-pasar selain Eropa yang akan mengimpor sawit. Salah satunya adalah Tiongkok. “Tiongkok telah beri green light untuk import sawit 500.000 ton tahun ini dan peluang angka ini naik sangat besar. Oleh karena itu saya pikir perkembangannya bagus," ungkapnya.
Menko Luhut memastikan bahwa Indonesia telah memiliki posisi tawar yang baik dengan Uni Eropa, “Kita itu bukan minta-minta pada mereka. Kita cuma meminta perlakuan yang adil bersandar pada WTO, tidak boleh ada diskriminasi dalam hal ini”.
Seminar Agriculture di Vatikan
Salah satu hasil lobi Menko Luhut adalah mengadakan seminar tentang agriculture. Seminar yang rencananya berlangsung di Urbania University (Pontificia Universita Urbaniana) Vatikan, Roma tanggal 15 Mei 2018 mendatang merupakan usulan dari beberapa negara. “Seminar ini tidak hanya membahas tentang Sawit, melainkan agriculture tanpa diskriminasi. Mengapa Vatikan? Karena Vatikan melihat akar masalahnya, masalah kemiskinan, masalah humanity, masalah keadilan, itu saja," paparnya.
Salah satu pembicara utama dalam seminar ini adalah Kardinal Peter Turkson (Prefect of the Dicastery for Promoting Integral Human Development). Seminar akan dihadiri oleh parlemen Uni Eropa, pengusaha-pengusaha kelapa sawit, beberapa Menteri, beberapa NGO, petani Sawit dan pakar-pakar lain, kira-kira berjumlah 75 sampai 100 orang.
Kunjungan Delegasi Parlemen Uni Eropa ke Indonesia
Perwakilan Parlemen Uni Eropa telah mengunjungi Indonesia. Delegasi Uni Eropa diterima Menko Luhut dikantornya pada hari Rabu,9 Mei 2018. Menjawab pertanyaan media mengenai bagaimana hasil kunjungan Delegasi ini, Menko Luhut menyampaikan bahwa Eropa belum memahami Indonesia.
“Mereka tidak memahami besarnya Indonesia, mereka saya kasih peta Indonesia. Saya Jelaskan kepada mereka kemarin, kita disini, ini Merauke, ini Sabang, ini 8 jam terbang , kami 17 ribu pulau, 265 juta penduduk, GDP 1,1 triliun US Dollar," kata Menko Luhut sambil menunjukkan peta Indonesia di layar presentasi.
Menko Luhut juga menunjukkan posisi-posisi perkebunan Sawit di Sumatra dan Kalimantan, “Kemiskinan disini bisa terjadi . Mereka paham, kita ini bukan negara miskin , jadi jangan pikir kita ini banana republic," tegasnya.
(akr)