Sri Mulyani Bandingkan Kondisi Ekonomi 2018 dan Saat Krisis 1998
A
A
A
JAKARTA - Pelemahan tajam nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) sepanjang tahun 2018 ini, diyakini menjadi sinyal terulangnya krisis ekonomi yang pernah melanda Indonesia. Terkait hal ini, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani membandingkan kondisi ekonomi saat ini, berbeda jauh dengan saat krisis 1998, silam.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu, menerangkan adanya Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga pengawas sektor keuangan yang independen. Membuat Indonesia diyakini lebih siap dan terjaga dari krisis keuangan.
"Berbeda sama sekali. Pertama dari sisi peraturan perundang-undangan, di mana 20 tahun lalu sebelum krisis. BI tidak independen. Kita tidak memiliki apa yang disebut institusi pengawas sektor keuangan yang independen. Nah sekarang Bank Indonesia memiliki independensi dan tujuannya untuk menjaga stabilitas nilai tukar maupun inflasi," terang Sri Mulyani di Gedung Kemenkeu, Jakarta, Selasa (22/5/2018).
Lebih lanjut, Ia mengungkapkan BI sat ini punya bauran kebijakan yang dulu mereka tidak punya. Sri Mulyani menambahkan, di zaman Reformasi terdapat mekanisme koreksi terhadap para pemilik industri perbankan dan sektor keuangan non-bank, terutama yang mengalami kondisi yang tidak baik.
Apalagi, menurutnya tata kelola pemerintah dan swasta sudah semakin transparan. Dari sisi pemerintah, pada masa sebelum Reformasi defisit Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) tidak dilakukan presentasi seperti sekarang.
"Undang-undang (UU) Keuangan Negara memberikan rambu-rambu mengenai jumlah defisit dan utang. Dari sisi setting, 20 tahun lalu penyelewengan dan tata kelola yang buruk bisa meluas tanpa mekanisme cek," jelasnya.
Sri Mulyani juga mengatakan kondisi yang membedakan zaman sebelum dan sesudah Reformasi yakni mekanisme atau sistem nilai tukar. Sebab, pemerintah mencoba defisit anggaran lebih transparan.
"Jadi, sudah ada UU Keuangan Negara yang memberikan rambu-rambu mengenai berapa jumlah defisit dan utang. Kita juga punya KPK. Jadi dari sisi setting dari 20 tahun lalu, ada banyak penyelewengan atau tata kelola yang buruk dan bisa berjalan secara luas," tegasnya.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu, menerangkan adanya Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga pengawas sektor keuangan yang independen. Membuat Indonesia diyakini lebih siap dan terjaga dari krisis keuangan.
"Berbeda sama sekali. Pertama dari sisi peraturan perundang-undangan, di mana 20 tahun lalu sebelum krisis. BI tidak independen. Kita tidak memiliki apa yang disebut institusi pengawas sektor keuangan yang independen. Nah sekarang Bank Indonesia memiliki independensi dan tujuannya untuk menjaga stabilitas nilai tukar maupun inflasi," terang Sri Mulyani di Gedung Kemenkeu, Jakarta, Selasa (22/5/2018).
Lebih lanjut, Ia mengungkapkan BI sat ini punya bauran kebijakan yang dulu mereka tidak punya. Sri Mulyani menambahkan, di zaman Reformasi terdapat mekanisme koreksi terhadap para pemilik industri perbankan dan sektor keuangan non-bank, terutama yang mengalami kondisi yang tidak baik.
Apalagi, menurutnya tata kelola pemerintah dan swasta sudah semakin transparan. Dari sisi pemerintah, pada masa sebelum Reformasi defisit Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) tidak dilakukan presentasi seperti sekarang.
"Undang-undang (UU) Keuangan Negara memberikan rambu-rambu mengenai jumlah defisit dan utang. Dari sisi setting, 20 tahun lalu penyelewengan dan tata kelola yang buruk bisa meluas tanpa mekanisme cek," jelasnya.
Sri Mulyani juga mengatakan kondisi yang membedakan zaman sebelum dan sesudah Reformasi yakni mekanisme atau sistem nilai tukar. Sebab, pemerintah mencoba defisit anggaran lebih transparan.
"Jadi, sudah ada UU Keuangan Negara yang memberikan rambu-rambu mengenai berapa jumlah defisit dan utang. Kita juga punya KPK. Jadi dari sisi setting dari 20 tahun lalu, ada banyak penyelewengan atau tata kelola yang buruk dan bisa berjalan secara luas," tegasnya.
(akr)