Mengurangi Impor Bukan Cara Tepat Mencegah Defisit Perdagangan
A
A
A
JAKARTA - Dalam rangka menekan defisit perdagangan, pemerintah mengambil langkah untuk menekan impor. Namun menurut ekonom Indef, Bhima Yudisthira, langkah untuk mengurangi impor harus dilihat terlebih dahulu, mengenai jenis barang impor yang akan dikurangi. Karena ini bisa berdampak negatif terhadap produktivitas ekonomi.
"Ini tergantung jenis barang impornya apa dulu. Kalau impor bahan baku industri, bisa berdampak negatif ke produktivitas ekonomi. Biaya produksi industri bisa naik signifikan apalagi impor dilakukan karena terpaksa tidak ada substitusi bahan baku lokal. Spill over effect nya sampai memicu inflasi karena harga jual produk naik, sampai efisiensi pekerja alias PHK," ujar Bhima saat dihubungi SINDOnews, di Jakarta, Jumat (6/7/2018).
Dia menambahkan, pengurangan impor bahan baku industri akan berpengaruh ke investasi sehingga bisa mempengaruhi pertumbuhan ekonomi
"Pengaruh ke investasi langsung juga negatif karena 74% total impor adalah bahan baku atau penolong yang dibutuhkan manufaktur. Ujungnya, kalau tidak hati-hati. pertumbuhan ekonominya bisa anjlok bahkan di bawah 5,1% tahun ini," jelasnya.
Apalagi, kata dia, pengendalian impor yang tidak pada tempatnya juga memukul kepercayaan investor, memicu berlanjutnya capital outflow. Dibanding proteksi impor yang blunder ke industri.
"Saya sarankan pemerintah fokus dulu mengendalikan impor bahan baku proyek infrastruktur yang sedang dikerjakan BUMN. Indikasi impor bengkak karena infrastruktur tercermin dari impor mesin dan mekanik tumbuh 31,9% (yoy) selama Januari-Mei 2018. Impor mesin dan peralatan listrik naik 28,16% (yoy) dan besi baja 39% (yoy). Kalau mau mengurangi impor, kewajiban TKDN proyek infra disarankan jadi 60-70%," paparnya.
Untuk itu, Komitmen BUMN penting agar defisit perdagangan mengecil sehingga permintaan valas turun. "Kalau impor BUMNnya diatur, saya kira sudah cukup signifikan menguatkan rupiah. Atur impor BUMN dulu baru evaluasi impor swasta," tandasnya.
"Ini tergantung jenis barang impornya apa dulu. Kalau impor bahan baku industri, bisa berdampak negatif ke produktivitas ekonomi. Biaya produksi industri bisa naik signifikan apalagi impor dilakukan karena terpaksa tidak ada substitusi bahan baku lokal. Spill over effect nya sampai memicu inflasi karena harga jual produk naik, sampai efisiensi pekerja alias PHK," ujar Bhima saat dihubungi SINDOnews, di Jakarta, Jumat (6/7/2018).
Dia menambahkan, pengurangan impor bahan baku industri akan berpengaruh ke investasi sehingga bisa mempengaruhi pertumbuhan ekonomi
"Pengaruh ke investasi langsung juga negatif karena 74% total impor adalah bahan baku atau penolong yang dibutuhkan manufaktur. Ujungnya, kalau tidak hati-hati. pertumbuhan ekonominya bisa anjlok bahkan di bawah 5,1% tahun ini," jelasnya.
Apalagi, kata dia, pengendalian impor yang tidak pada tempatnya juga memukul kepercayaan investor, memicu berlanjutnya capital outflow. Dibanding proteksi impor yang blunder ke industri.
"Saya sarankan pemerintah fokus dulu mengendalikan impor bahan baku proyek infrastruktur yang sedang dikerjakan BUMN. Indikasi impor bengkak karena infrastruktur tercermin dari impor mesin dan mekanik tumbuh 31,9% (yoy) selama Januari-Mei 2018. Impor mesin dan peralatan listrik naik 28,16% (yoy) dan besi baja 39% (yoy). Kalau mau mengurangi impor, kewajiban TKDN proyek infra disarankan jadi 60-70%," paparnya.
Untuk itu, Komitmen BUMN penting agar defisit perdagangan mengecil sehingga permintaan valas turun. "Kalau impor BUMNnya diatur, saya kira sudah cukup signifikan menguatkan rupiah. Atur impor BUMN dulu baru evaluasi impor swasta," tandasnya.
(ven)