Perbankan Siap Jadi Sumber Pembiayaan Sektor Properti
A
A
A
JAKARTA - Perbankan siap memenuhi kebutuhan pembiayaan pembangunan properti yang akan digenjot pemerintah. Potensi untuk penyaluran KPR harus bisa dimaksimalkan oleh perbankan sambil tetap menjaga kualitas kredit bermasalah.
Direktur Consumer Banking Bank BTN, Budi Satria mengatakan, kebutuhan pembiayaan sektor properti secara nasional masih sangat besar. Ditambah saat ini masih ada backlog kebutuhan rumah hingga 11,38 juta unit.
Kondisi ini membuat bank tetap menjadi sumber pembiayaan yang penting bagi perusahaan pengembang dan konsumen.“Kami optimistis masih banyak peluang dan juga ada tantangan di sektor perumahan tahun ini,” ujar Budi di Jakarta.
Dia mengaku peluang cukup besar karena saat ini perhatian dan dukungan pemerintah sangat tinggi dalam sektor properti. Hal itu ditandai oleh pembangunan Infrastruktur yang masif. Selain itu Indonesia juga diuntungkan dengan bonus demografi yang mendorong pertumbuhan nasabah kelas menengah dan affluent.
“Kontribusi sektor perumahan terhadap PDB berkisar antara 2,5% hingga 2,8%. Dengan kontribusi 2,8% di Indonesia, berarti masih banyak ruang bisnis yang bisa dikembangkan,” ujarnya.
Sementara terkait tantangan, dia mengatakan masih adanya backlog 11,38 juta unit muncul karena gap yang tinggi antara kebutuhan rumah baru dengan kapasitas pembangunan. Selain itu juga banyak masyarakat berpenghasilan rendah atau MBR dan juga di bawah MBR yang unbankable atau tidak memiliki akses ke perbankan.
Kemudian juga belum ada landbank yang bisa menjaga stabilitas harga.“Secara proses perijinan juga masih membutuhkan waktu yang lama. Tantangannya masih cukup besar,” jelasnya
Sementara itu Direktur Konsumer Bank Rakyat Indonesia (BRI) Handayani mengutarakan, pihaknya siap melaksanakan kebijakan loan to value (LTV) 100% atau tanpa uang muka untuk KPR. Namun hal ini tentunya setelah perbankan mengetahui sejumlah risiko yang dimiliki nasabah.
"Segmen bisnis KPR di BRI terus tumbuh seiring dengan pelonggaran LTV Bank Sentral. Semakin kita kenal profil nasabah berarti makin mudah kita memberikan LTV 100% ke nasabah," ujar Handayani
Namun demikian, lanjut dia, perseroan akan tetap selektif memilih pengembang atau developer. Hal ini juga untuk melindungi nasabah dari hal yang tidak diinginkan. "Pihak developernya juga harus memiliki kinerja yang baik, agar nasabah kita terlindungi," jelas dia.
Handayani juga optimistis, pelonggaran LTV tidak akan membuat angka kredit macet atau Non Performing Loan (NPL) membengkak. Sebab hingga Juni 2018, NPL KPR perseroan tercatat hanya sebesar 2,7%. Angka tersebut masih di bawah rata-rata NPL industri perbankan yang sebesar 2,8%.
“Kalau kami longgarkan LTV nantinya akan mendorong relaksasi kebutuhan pembiayaan rumah. Namun lainnya ada konsekuensi terhadap NPL. Namun nyatanya NPL kami cenderung lebih baik bahkan bisa di bawah industri,” tambahnya.
Pertumbuhan kredit KPR BRI dalam lima tahun terakhir sebesar 19,9%. Sedangkan hingga akhir Juni 2018 tercatat outstanding segmen KPR BRI telah mencapai Rp 24,2 triliun atau tumbuh sebesar 9,02% dari tahun lalu yang hanya sebesar Rp 22,5 triliun.
Direktur Consumer Banking Bank BTN, Budi Satria mengatakan, kebutuhan pembiayaan sektor properti secara nasional masih sangat besar. Ditambah saat ini masih ada backlog kebutuhan rumah hingga 11,38 juta unit.
Kondisi ini membuat bank tetap menjadi sumber pembiayaan yang penting bagi perusahaan pengembang dan konsumen.“Kami optimistis masih banyak peluang dan juga ada tantangan di sektor perumahan tahun ini,” ujar Budi di Jakarta.
Dia mengaku peluang cukup besar karena saat ini perhatian dan dukungan pemerintah sangat tinggi dalam sektor properti. Hal itu ditandai oleh pembangunan Infrastruktur yang masif. Selain itu Indonesia juga diuntungkan dengan bonus demografi yang mendorong pertumbuhan nasabah kelas menengah dan affluent.
“Kontribusi sektor perumahan terhadap PDB berkisar antara 2,5% hingga 2,8%. Dengan kontribusi 2,8% di Indonesia, berarti masih banyak ruang bisnis yang bisa dikembangkan,” ujarnya.
Sementara terkait tantangan, dia mengatakan masih adanya backlog 11,38 juta unit muncul karena gap yang tinggi antara kebutuhan rumah baru dengan kapasitas pembangunan. Selain itu juga banyak masyarakat berpenghasilan rendah atau MBR dan juga di bawah MBR yang unbankable atau tidak memiliki akses ke perbankan.
Kemudian juga belum ada landbank yang bisa menjaga stabilitas harga.“Secara proses perijinan juga masih membutuhkan waktu yang lama. Tantangannya masih cukup besar,” jelasnya
Sementara itu Direktur Konsumer Bank Rakyat Indonesia (BRI) Handayani mengutarakan, pihaknya siap melaksanakan kebijakan loan to value (LTV) 100% atau tanpa uang muka untuk KPR. Namun hal ini tentunya setelah perbankan mengetahui sejumlah risiko yang dimiliki nasabah.
"Segmen bisnis KPR di BRI terus tumbuh seiring dengan pelonggaran LTV Bank Sentral. Semakin kita kenal profil nasabah berarti makin mudah kita memberikan LTV 100% ke nasabah," ujar Handayani
Namun demikian, lanjut dia, perseroan akan tetap selektif memilih pengembang atau developer. Hal ini juga untuk melindungi nasabah dari hal yang tidak diinginkan. "Pihak developernya juga harus memiliki kinerja yang baik, agar nasabah kita terlindungi," jelas dia.
Handayani juga optimistis, pelonggaran LTV tidak akan membuat angka kredit macet atau Non Performing Loan (NPL) membengkak. Sebab hingga Juni 2018, NPL KPR perseroan tercatat hanya sebesar 2,7%. Angka tersebut masih di bawah rata-rata NPL industri perbankan yang sebesar 2,8%.
“Kalau kami longgarkan LTV nantinya akan mendorong relaksasi kebutuhan pembiayaan rumah. Namun lainnya ada konsekuensi terhadap NPL. Namun nyatanya NPL kami cenderung lebih baik bahkan bisa di bawah industri,” tambahnya.
Pertumbuhan kredit KPR BRI dalam lima tahun terakhir sebesar 19,9%. Sedangkan hingga akhir Juni 2018 tercatat outstanding segmen KPR BRI telah mencapai Rp 24,2 triliun atau tumbuh sebesar 9,02% dari tahun lalu yang hanya sebesar Rp 22,5 triliun.
(akr)