Penjaminan Infrastruktur Dinilai Belum Dipahami Semua Calon Investor
A
A
A
JAKARTA - Bentuk penjaminan yang diberikan pemerintah untuk pembangunan infrastruktur di Indonesia diyakini belum semuanya dipahami oleh calon investor. Padahal pemerintah dengan berbagai Peraturan Presiden dan termasuk pembentukan badan usaha seperti PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero) dan PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) telah banyak memberikan struktur penjaminan.
Hal tersebut memungkinkan investor dalam dan luar negeri untuk berpartisispasi dalam pembangunan infrastruktur d Indonesia. Pembahasan ini mengemuka dalam diskusi mengenai infrastruktur yang diselenggarakan oleh publikasi hukum global, Legal 500, kantor hukum Dentons Rodyk Jakarta. Diskusi ini melibatkan general counsel dari belasan perusahan besar nasional dan multinasional termasuk perbankan dan asuransi.
Managing Partner dari Dentons Rodyk Philip Jayaretnam mengatakan, bahwa Indonesia sebagai ekonomi terbesar di ASEAN membutuhkan partisispasi dari banyak perusahaan multinasional dalam pengembangan infrastrukturnya. Termasuk infrastruktur yang menjadi bagian dari prioritas nasional seperti jalan, listrik, pelabuhan dan air minum.
“Untuk menarik investor terutama investor asing dalam proyek infrastruktur diperlukan mekanisme jaminan pemerintah atau badan penjamin yang memberikan kepastian hukum dan kemudahan dalam berusaha,“ kata Philip dalam pembukaan diskusi tersebut.
Menurutnya pemerintah Indonesia sudah memberikan berbagai macam bentuk penjaminan baik yang diberikan langsung melalui Kementerian Keuangan maupun dalam bentuk viability guarantee yang diberikan melalui PII atau SMI. Termasuk juga dalam pengadaan tanah yang sering menjadi problem dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia
“Namun belum semua pihak paham dan dapat memanfaatkan jenis penjaminan yang ada dan diberikan oleh pemerintah, seperti melalui mekanisme penerbitan Reksadana Penyertaan Terbatas (RDPT) yang sangat mungkin dapat melibatkan pihak-pihak yang saat ini belum terlibat langsung dalam proyek infrastruktur seperti bank-bank asing dan perusahaan asuransi,” tambah Andre Rahadian, Partner HPRP sebagai pihak yang banyak terlibat yang banyak terlibat dalam proyek infrastruktur di Indonesia.
Praktisi hukum internasional yang sudah hampir 30 tahun berkecimpung dibidang pembangunan proyek di Indonesia dan Asia, John Dick menyatakan bahwa problem penjaminan yang sama juga dialami di beberapa negara ASEAN yang sedang membangun infrastruktur seperti Philipina dan Vietnam.
“Penjaminan untuk proyek infrastruktur yang umumnya dilakukan dalam jangka panjang memerlukan stabilitas dan keberlanjutan dari segi pemerintahan dan kebijakannya. Saya rasa Indonesia sudah memiliki hal-hal dasar yang diperlukan untuk suksesnya pembangunan infrastruktur," terang John.
Dana yang dibutuhkan untuk pembangunan infrastruktur di Indonesia sebesar USD300 miliar, dimana APBN 2017-2018 hanya dapat memenuhi sekitar 50% dari kebutuhan tersebut sehingga peran swasta nasional dan asing sangat diperlukan terutama dengan sistem Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) yang saat ini sedang banyak dijalankan dan ditawarkan oleh pemerintah.
Hal tersebut memungkinkan investor dalam dan luar negeri untuk berpartisispasi dalam pembangunan infrastruktur d Indonesia. Pembahasan ini mengemuka dalam diskusi mengenai infrastruktur yang diselenggarakan oleh publikasi hukum global, Legal 500, kantor hukum Dentons Rodyk Jakarta. Diskusi ini melibatkan general counsel dari belasan perusahan besar nasional dan multinasional termasuk perbankan dan asuransi.
Managing Partner dari Dentons Rodyk Philip Jayaretnam mengatakan, bahwa Indonesia sebagai ekonomi terbesar di ASEAN membutuhkan partisispasi dari banyak perusahaan multinasional dalam pengembangan infrastrukturnya. Termasuk infrastruktur yang menjadi bagian dari prioritas nasional seperti jalan, listrik, pelabuhan dan air minum.
“Untuk menarik investor terutama investor asing dalam proyek infrastruktur diperlukan mekanisme jaminan pemerintah atau badan penjamin yang memberikan kepastian hukum dan kemudahan dalam berusaha,“ kata Philip dalam pembukaan diskusi tersebut.
Menurutnya pemerintah Indonesia sudah memberikan berbagai macam bentuk penjaminan baik yang diberikan langsung melalui Kementerian Keuangan maupun dalam bentuk viability guarantee yang diberikan melalui PII atau SMI. Termasuk juga dalam pengadaan tanah yang sering menjadi problem dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia
“Namun belum semua pihak paham dan dapat memanfaatkan jenis penjaminan yang ada dan diberikan oleh pemerintah, seperti melalui mekanisme penerbitan Reksadana Penyertaan Terbatas (RDPT) yang sangat mungkin dapat melibatkan pihak-pihak yang saat ini belum terlibat langsung dalam proyek infrastruktur seperti bank-bank asing dan perusahaan asuransi,” tambah Andre Rahadian, Partner HPRP sebagai pihak yang banyak terlibat yang banyak terlibat dalam proyek infrastruktur di Indonesia.
Praktisi hukum internasional yang sudah hampir 30 tahun berkecimpung dibidang pembangunan proyek di Indonesia dan Asia, John Dick menyatakan bahwa problem penjaminan yang sama juga dialami di beberapa negara ASEAN yang sedang membangun infrastruktur seperti Philipina dan Vietnam.
“Penjaminan untuk proyek infrastruktur yang umumnya dilakukan dalam jangka panjang memerlukan stabilitas dan keberlanjutan dari segi pemerintahan dan kebijakannya. Saya rasa Indonesia sudah memiliki hal-hal dasar yang diperlukan untuk suksesnya pembangunan infrastruktur," terang John.
Dana yang dibutuhkan untuk pembangunan infrastruktur di Indonesia sebesar USD300 miliar, dimana APBN 2017-2018 hanya dapat memenuhi sekitar 50% dari kebutuhan tersebut sehingga peran swasta nasional dan asing sangat diperlukan terutama dengan sistem Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) yang saat ini sedang banyak dijalankan dan ditawarkan oleh pemerintah.
(akr)