Nasabah Datangi OJK Keluhkan Pelayanan Fintech
A
A
A
BANDUNG - Belasan nasabah financial technology (fintech) mendatangi kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengadukan buruknya pelayanan perusahaan fintech. Dari 38 perusahaan fintech yang dilaporkan, 31 di antaranya ilegal.
Kepala Kantor Perwakilan OJK Jabar Sarwono mengatakan, pihaknya menerima pengaduan dari masyarakat terkait pelayanan fintech. “Mereka mengadukan tata cara penagihan yang dilakukan perusahaan fintech. Di mana, satu hari menunggak, langsung ditagih ke semua teman, lingkungan, dan kantor debitur,” kata Sarwono, Kamis (2/8).
Menurut dia, para nasabah merasa privasinya terlalu dibuka. Sehingga mereka diketahui sebagai debitur dari platform fintech. Para debitur merasa kurang etis diberlakukan seperti itu dan ditagih terus menerus.
Sayangnya, lanjut dia, satu debitur bisa meminjam uang hingga belasan perusahaan fintech. Dengan platform pinjaman antara Rp1-3 juta. Sehingga satu debitur bisa mendapat pinjaman hingga Rp25 juta.
Menurut Sarwono, dari laporan tersebut, pihaknya mendata sekitar 38 platform fintech. Tujuh di antaranya terdaftar di OJK, sedangkan sisanya, atau 31 perusahaan fintech belum terdaftar OJK atau ilegal.
“Tetapi data ini belum teruji keakuratannya. Ini baru laporan awal dari mereka. Kami terus kita lihat perkembangannya, karena memang pengawasan fintech ada di Jakarta. Sementara bagi yang legal, akan dilaporkan ke pengawas di Jakarta,” jelasnya.
Sementara itu, juru bicara para debitur Sulaeman Hara mengaku mereka sangat dirugikan atas tindakan platform fintech yang melakukan penagihan menggunakan data lainnya. Misalnya menghubungi teman dekat, kantor, atau keluarga. “Kami bukan tidak mau membayar, tetapi kenapa penagihannya seperti itu. Mereka juga enggak tahu dapat data itu dari mana,” kata dia.
Kepala Kantor Perwakilan OJK Jabar Sarwono mengatakan, pihaknya menerima pengaduan dari masyarakat terkait pelayanan fintech. “Mereka mengadukan tata cara penagihan yang dilakukan perusahaan fintech. Di mana, satu hari menunggak, langsung ditagih ke semua teman, lingkungan, dan kantor debitur,” kata Sarwono, Kamis (2/8).
Menurut dia, para nasabah merasa privasinya terlalu dibuka. Sehingga mereka diketahui sebagai debitur dari platform fintech. Para debitur merasa kurang etis diberlakukan seperti itu dan ditagih terus menerus.
Sayangnya, lanjut dia, satu debitur bisa meminjam uang hingga belasan perusahaan fintech. Dengan platform pinjaman antara Rp1-3 juta. Sehingga satu debitur bisa mendapat pinjaman hingga Rp25 juta.
Menurut Sarwono, dari laporan tersebut, pihaknya mendata sekitar 38 platform fintech. Tujuh di antaranya terdaftar di OJK, sedangkan sisanya, atau 31 perusahaan fintech belum terdaftar OJK atau ilegal.
“Tetapi data ini belum teruji keakuratannya. Ini baru laporan awal dari mereka. Kami terus kita lihat perkembangannya, karena memang pengawasan fintech ada di Jakarta. Sementara bagi yang legal, akan dilaporkan ke pengawas di Jakarta,” jelasnya.
Sementara itu, juru bicara para debitur Sulaeman Hara mengaku mereka sangat dirugikan atas tindakan platform fintech yang melakukan penagihan menggunakan data lainnya. Misalnya menghubungi teman dekat, kantor, atau keluarga. “Kami bukan tidak mau membayar, tetapi kenapa penagihannya seperti itu. Mereka juga enggak tahu dapat data itu dari mana,” kata dia.
(akr)