Perang Dagang AS-China Membuat Negara Macan Asia Ini Khawatir

Sabtu, 11 Agustus 2018 - 12:30 WIB
Perang Dagang AS-China...
Perang Dagang AS-China Membuat Negara Macan Asia Ini Khawatir
A A A
HONG KONG - Perusahaan-perusahaan asal Hong Kong yang memproduksi barang-barangnya di China daratan semakin khawatir dengan meningkatnya perang perdagangan antara Washington dengan Beijing.

Melansir dari CNBC, Sabtu (11/8/2018), Hong Kong yang dikenal sebagai salah satu pusat keuangan global dengan pelabuhannya yang ramai dan banyaknya pabrik, telah menempatkan mereka menjadi salah satu dari empat Macan Asia, bersama dengan Singapura, Korea Selatan dan Taiwan.

CEO Asosiasi Manufaktur China-Hong Kong, Raymond Young mengatakan, perang dagang yang telah dilakukan AS telah menimbulkan ketidakpastian terhadap bisnis mereka. Menurut dia asosiasi memiliki 3.000 anggota, dimana 95% bisnisnya beroperasi di China daratan.

Young yang mantan direktur jenderal untuk perdagangan dan industri di pemerintah Hong Kong menilai, perang dagang antara dua ekonomi terbesar di dunia telah membuat industri manufaktur Hong Kong menjadi tidak nyaman.

Produsen Hong Kong memproduksi berbagai macam barang di China, diantaranya mainan, furnitur, pakaian, jam tangan, mesin cetak, barang-barang teknologi yang terkena dampak perang tarif oleh AS. Dan tindakan pembalasan oleh China juga menyulitkan pabrikan Hong Kong dalam mengimpor suku cadang dan komponen dari AS. Sehingga berpengaruh bagi produk mereka.

Belum lagi ditambah dengan semakin bertumbuhnya ekonomi China, dimana biaya tenaga kerja meningkat dan peraturan di China semakin ketat. Karena itu, ia menilai menghadapi perang dagang ini, beberapa perusahaan Hong Kong ingin merelokasi pabriknya ke Asia Tenggara, yang wilayahnya jauh dari perang dagang.

"Kini banyak anggota benar-benar berpikir untuk memindahkan sebagian produksi mereka ke Asia Tenggara. Tetapi tidak semua pabrik berpindah secara massal. Perang perdagangan ini mungkin menjadi peluang bagi beberapa produsen Hong Kong untuk memindahkan sebagian produksi mereka kembali ke Hong Kong," katanya.

Namun, jika kembali ke Hong Kong, mereka dihadapkan dengan upah tenaga kerja yang lebih tinggi dan rendahnya pasokan tenaga kerja terutama untuk bekerja di pabrik. Sehingga keuntungan mereka akan menjadi terbatas karena hambatan upah dan kurangnya tenaga padat karya.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1366 seconds (0.1#10.140)