Pemerintah Imbau Industri Laporkan Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah mengimbau pelaku industri aktif melaporkan capaian penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) dalam Sistem Registri Nasional (SRN) yang dikembangkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Hal ini penting sebagai bagian dari pemenuhan komitmen pengurangan emisi GRK Indonesia sebanyak 29% pada tahun 2030.
Direktur Inventarisasi GRK dan Pengukuran, Pelaporan dan Verifikasi (MRV), KLHK, Joko Prihatno mengatakan, pelaporan oleh industri akan membuat data pengurangan emisi GRK Indonesia akuntabel dan memenuhi prinsip jelas, transparan dan dapat dipahami (CTU). Hal ini seperti diatur dalam traktat global pengendalian perubahan iklim, Persetujuan Paris.
"Pelaporan oleh industri dan mereka yang memiliki sumber daya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim juga akan mencegah adanya penghitungan ganda pengurangan emisi GRK," ujar Joko Prihatno saat diskusi Pojok Iklim di kantor KLHK, Jakarta, Rabu (15/8/2018).
Dia menuturkan, hasil inventarisasi menunjukkan Indonesia telah berhasil menurunkan emisi GRK sebesar 8,7% pada tahun 2016 dari target penurunan emisi sebesar 29% pada tahun 2030 berdasarkan Business As Usual (BAU).
Pada 2016, BAU emisi GRK adalah sebesar 1.764,6 juta ton setara karbondioksida (CO2e). Namun aksi mitigasi perubahan iklim yang telah dilakukan Indonesia berhasil menahan pelepasan emisi GRK sehingga hanya sebanyak 1.514,9 juta ton CO2e.
Meski demikian, Joko menyatakan, ada perbedaan antara klaim dan penurunan emisi GRK yang telah diverifikasi. Perbedaan itu bisa dicegah jika seluruh aktivitas adaptasi dan mitigasi perubahan iklim termasuk yang dilakukan oleh industri sudah terlaporkan dalam SRN.
Hingga saat ini telah ada 798 penanggung jawab aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang terdaftar di SRN, dengan 264 diantaranya telah terverifikasi. KLHK saat ini juga sedang mengembangkan sistem sertifikasi hasil pengurangan emisi GRK sehingga industri punya peluang untuk mendapat insentif berbasis pasar, seperti subsidi atau perdagangan emisi GRK. Peluang tersebut juga seiring dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 46/2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup.
Sementara itu, Kepala Pusat Litbang Industri Hijau dan Lingkungan Hidup Kementerian Perindustrian Teddy C Sianturi menyatakan, pihaknya telah mengembangkan Sistem Informasi Industri Nasional (SIINAS) yang bisa menjadi wadah pelaporan aktivitas adaptasi dan mitigasi perubahan iklim bagi pelaku industri. Sistem informasi tersebut terintegrasi dengan layanan publik yang diberikan Kemenperin sehingga memberi kemudahan bagi pelaku industri.
"Sejak Agustus 2017 lalu telah dilakukan uji coba pelaporan pengurangan emisi GRK untuk jenis industri baja dan logam, pulp dan kertas, kimia, tekstil, pupuk, gula rafinasi dan semen," kata Teddy.
Adapun direktur Teknik dan Lingkungan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Munir Ahmad menyatakan, industri pembangkit tenaga listrik merupakan salah satu yang potensial untuk berkontribusi dalam pengurangan emisi GRK.
Dia mengakui masih adanya pemanfaatan batu bara sebagai sumber energi listrik. Namun, pemerintah mendorong agar pembangkit batu bara memanfaatkan teknologi bersih sehingga emisi GRK yang dilepas bisa ditekan bahkan pihaknya tengah mempertimbangkan penerapan batas emisi GRK bagi pembangkit listrik.
"PLTU batu bara memang masih mendominasi. Namun jika dibandingkan dengan Business as Usual, proyeksi emisi GRK dari sektor energi mengelami penurunan," katanya.
Dia juga menyatakan, pembangkit-pembangkit listrik dari energi baru dan terbarukan yang berbasis tenaga surya, tenaga air, dan biomassa akan terus didorong oleh pemerintah sebagai bagian dari pencapaian target pengurangan emisi GRK dari sektor energi sebesar 11%.
Direktur Inventarisasi GRK dan Pengukuran, Pelaporan dan Verifikasi (MRV), KLHK, Joko Prihatno mengatakan, pelaporan oleh industri akan membuat data pengurangan emisi GRK Indonesia akuntabel dan memenuhi prinsip jelas, transparan dan dapat dipahami (CTU). Hal ini seperti diatur dalam traktat global pengendalian perubahan iklim, Persetujuan Paris.
"Pelaporan oleh industri dan mereka yang memiliki sumber daya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim juga akan mencegah adanya penghitungan ganda pengurangan emisi GRK," ujar Joko Prihatno saat diskusi Pojok Iklim di kantor KLHK, Jakarta, Rabu (15/8/2018).
Dia menuturkan, hasil inventarisasi menunjukkan Indonesia telah berhasil menurunkan emisi GRK sebesar 8,7% pada tahun 2016 dari target penurunan emisi sebesar 29% pada tahun 2030 berdasarkan Business As Usual (BAU).
Pada 2016, BAU emisi GRK adalah sebesar 1.764,6 juta ton setara karbondioksida (CO2e). Namun aksi mitigasi perubahan iklim yang telah dilakukan Indonesia berhasil menahan pelepasan emisi GRK sehingga hanya sebanyak 1.514,9 juta ton CO2e.
Meski demikian, Joko menyatakan, ada perbedaan antara klaim dan penurunan emisi GRK yang telah diverifikasi. Perbedaan itu bisa dicegah jika seluruh aktivitas adaptasi dan mitigasi perubahan iklim termasuk yang dilakukan oleh industri sudah terlaporkan dalam SRN.
Hingga saat ini telah ada 798 penanggung jawab aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang terdaftar di SRN, dengan 264 diantaranya telah terverifikasi. KLHK saat ini juga sedang mengembangkan sistem sertifikasi hasil pengurangan emisi GRK sehingga industri punya peluang untuk mendapat insentif berbasis pasar, seperti subsidi atau perdagangan emisi GRK. Peluang tersebut juga seiring dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 46/2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup.
Sementara itu, Kepala Pusat Litbang Industri Hijau dan Lingkungan Hidup Kementerian Perindustrian Teddy C Sianturi menyatakan, pihaknya telah mengembangkan Sistem Informasi Industri Nasional (SIINAS) yang bisa menjadi wadah pelaporan aktivitas adaptasi dan mitigasi perubahan iklim bagi pelaku industri. Sistem informasi tersebut terintegrasi dengan layanan publik yang diberikan Kemenperin sehingga memberi kemudahan bagi pelaku industri.
"Sejak Agustus 2017 lalu telah dilakukan uji coba pelaporan pengurangan emisi GRK untuk jenis industri baja dan logam, pulp dan kertas, kimia, tekstil, pupuk, gula rafinasi dan semen," kata Teddy.
Adapun direktur Teknik dan Lingkungan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Munir Ahmad menyatakan, industri pembangkit tenaga listrik merupakan salah satu yang potensial untuk berkontribusi dalam pengurangan emisi GRK.
Dia mengakui masih adanya pemanfaatan batu bara sebagai sumber energi listrik. Namun, pemerintah mendorong agar pembangkit batu bara memanfaatkan teknologi bersih sehingga emisi GRK yang dilepas bisa ditekan bahkan pihaknya tengah mempertimbangkan penerapan batas emisi GRK bagi pembangkit listrik.
"PLTU batu bara memang masih mendominasi. Namun jika dibandingkan dengan Business as Usual, proyeksi emisi GRK dari sektor energi mengelami penurunan," katanya.
Dia juga menyatakan, pembangkit-pembangkit listrik dari energi baru dan terbarukan yang berbasis tenaga surya, tenaga air, dan biomassa akan terus didorong oleh pemerintah sebagai bagian dari pencapaian target pengurangan emisi GRK dari sektor energi sebesar 11%.
(ven)