Nilai Tukar Rupiah Dipatok Rp14.400/USD, Pemerintah Disebut Pasrah
A
A
A
JAKARTA - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) yang dipatok pada kisaran Rp14.400/USD dalam RAPBN 2019 dinilai oleh ekonom menjadi sinyal kepasrahan pemerintah terhadap pelemahan mata uang Garuda. Ekonom dari Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara menerangkan pemerintah seperti pasrah dalam menghadapi tantangan ekonomi.
"Kurs rupiah yang ditargetkan Rp14.400/USD menunjukkan pemerintah setengah berpasrah diri terhadap kemungkinan pelemahan rupiah berlangsung hingga tahun depan. Tekanan Fed rate, krisis Turki, perang dagang dan situasi geopolitik memang cukup berat tahun depan," ujar Bhima kepada SINDOnews di Jakarta, Sabtu (18/8/2018).
Lebih lanjut, Ia menyarankan agar seharusnya pemerintah menetapkan pada kisaran Rp14.000/USD. Pasalnya pemerintah diyakini bisa menghadapi gejolak rupiah di tahun sebelumnya, atau bahkan menurutnya dipatok lebih rendah.
"Karena biasanya realisasi kurs selalu di atas target APBN. Misalnya di 2018 targetnya Rp13.500 tapi sekarang sudah Rp14.600/USD. Artinya jika tahun depan Rp14.400/USD bisa jadi Rp14.700 hingga Rp14.800/USD bahkan lebih. Sinyal yang ditangkap dunia usaha juga kurang bagus. Itu jadi beban ke ekonomi karena pengusaha lihat asumsi makro rupiah Rp14.400/USD sehingga mereka akan tunda ekspansi. Nanti pengaruhnya ke semua sektor," paparnya.
Sebelumnya dalam laporan nota keuangan pemerintah, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerangkan alasan rupiah dipatok Rp14.400 per dolar Amerika Serikat (USD) karena melihat kondisi eksternal. "Baik dari faktor dinamika ekonomi negara maju, termasuk normalisasi kebijakan moneter di Amerika Serikat dan Eropa, serta perkembangan ekonomi Tiongkok. Perlu kita sadari bersama bahwa tantangan ini tidak hanya dialami oleh Rupiah, tetapi juga oleh banyak mata uang global," jelas Jokowi.
"Kurs rupiah yang ditargetkan Rp14.400/USD menunjukkan pemerintah setengah berpasrah diri terhadap kemungkinan pelemahan rupiah berlangsung hingga tahun depan. Tekanan Fed rate, krisis Turki, perang dagang dan situasi geopolitik memang cukup berat tahun depan," ujar Bhima kepada SINDOnews di Jakarta, Sabtu (18/8/2018).
Lebih lanjut, Ia menyarankan agar seharusnya pemerintah menetapkan pada kisaran Rp14.000/USD. Pasalnya pemerintah diyakini bisa menghadapi gejolak rupiah di tahun sebelumnya, atau bahkan menurutnya dipatok lebih rendah.
"Karena biasanya realisasi kurs selalu di atas target APBN. Misalnya di 2018 targetnya Rp13.500 tapi sekarang sudah Rp14.600/USD. Artinya jika tahun depan Rp14.400/USD bisa jadi Rp14.700 hingga Rp14.800/USD bahkan lebih. Sinyal yang ditangkap dunia usaha juga kurang bagus. Itu jadi beban ke ekonomi karena pengusaha lihat asumsi makro rupiah Rp14.400/USD sehingga mereka akan tunda ekspansi. Nanti pengaruhnya ke semua sektor," paparnya.
Sebelumnya dalam laporan nota keuangan pemerintah, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerangkan alasan rupiah dipatok Rp14.400 per dolar Amerika Serikat (USD) karena melihat kondisi eksternal. "Baik dari faktor dinamika ekonomi negara maju, termasuk normalisasi kebijakan moneter di Amerika Serikat dan Eropa, serta perkembangan ekonomi Tiongkok. Perlu kita sadari bersama bahwa tantangan ini tidak hanya dialami oleh Rupiah, tetapi juga oleh banyak mata uang global," jelas Jokowi.
(akr)