Kemudahan dan Kecepatan Jadi Alasan Utama Memilih Fintech
A
A
A
JAKARTA - Industri financial technology (fintech) di Indonesia kian hari bertumbuh pesat. Tidak hanya dari segi penyelenggara yang menjamur, peminjam-peminjam lewat fintech pun kian marak. Kemudahan dan kecepatan proses peminjaman menjadi alasan banyak orang memilih meminjam lewat fintech dibandingkan cara lainnya.
Seperti yang dialami Diah Amelia. Karyawan perusahaan swasta yang berdomisili di Jakarta ini kerap menggunakan jasa fintech peer to peer lending untuk memenuhi kebutuhan mendadak. Berawal dari keisengannya mencoba salah satu aplikasi fintech lewat internet, ia kini bahkan telah menjadi borrower untuk beberapa penyelenggara fintech.
"Mudah banget sih. Kan aku pinjam di beberapa, ada yang prosesnya agak makan waktu, tapi ada juga yang cepat. Mengajukan, data komplet, enggak sampai setengah jam, dana langsung masuk," cerita nasabah Uang Teman ini kepada wartawan, Sabtu (25/8/2018).
Memang tidak semua penyelenggara fintech bisa mengucurkan pinjaman dengan waktu kurang dari satu jam seperti itu. Namun dari pengalaman Diah, pengucuran dana fintech yang paling lama pun paling hanya berkisar 2-3 hari.
Diah mengaku selain meminjam lewat fintech, ia pun pernah meminjam kredit tanpa agunan (KTA) di sebuah bank swasta. Hanya saja, prosesnya jauh lebih ribet dan memakan waktu lebih panjang.
"Aku ada KTA, tapi itu agak rumit. Prosesnya juga agak panjang. Maksudnya harus ketemu, survei, segala macam. Makan waktunya lebih dari seminggu. Jadi kalau untuk proses lebih cepat, mending fintech," lanjut perempuan berusia 36 tahun ini.
Pinjaman dari fintech pun dianggap lebih pasti ketika ada kebutuhan mendesak. Ini dibandingkannya dengan meminjam ke orang lain secara konvensional. Pasalnya, ketika meminjam langsung ke orang lain, orang yang dituju belum tentu memiliki dana yang diperlukan.
Sejauh ini, Diah kerap melakukan pinjaman pada akhir bulan. Pinjamannya ke fintech sendiri berkisar Rp1 juta-Rp3 juta. Ia mengakui, bunga yang dipasang oleh penyelenggara fintech memang cenderung lebih tinggi. Hanya saja, ia tidak mempermasalahkannya, mengingat kemudahan dan kecepatan proses pinjaman yang ia peroleh.
Senada, Nancy Simbolon, seorang make up artist yang berdomisili di Jakarta Selatan menuturkan, kecepatan memperoleh dana segar yang diperlukan membuat perempuan ini memilih meminjam dari fintech, ketimbang lembaga keuangan lainnya pada Februari lalu.
"Waktu itu tiba-tiba ada bookingan cukup banyak, dan ada beberapa alat yang saya belum punya. Jadi harus belanja dulu. Nah, dananya saya pinjam dari fintech. Jadi buat saya, fintech ini sangat-sangat memudahkan," akunya.
Tak banyak nominal yang dipinjam Nancy dari Uang Teman dan beberapa penyelenggara lain. Dari dua kali peminjaman, totalnya hanya mencapai Rp1,1 juta. Pada pinjaman pertama, nominal yang diajukan hanya Rp100 ribu.
"Jadi kan dapat rekomendasi dari teman untuk pinjam di situ. Istilahnya coba-coba dulu, kecil dulu. Jadi totalnya Rp1,1 juta," katanya.
Jangka waktu pengembalian yang ia pilih pun terbilang singkat, yakni hanya satu bulan. Menurutnya, beragamnya pilihan jangka waktu pengembalian merupakan kelebihan layanan fintech. Peminjam bisa memilih sesuai dengan kemampuannya mencicil pinjaman.
Terkait bunga, Nancy tak merasa keberatan. Menurutnya, bunga yang dikenakan masih dalam taraf wajar. Pengenaan bunga yang cenderung lebih tinggi ia anggap sebagai biaya dari layanan yang diterima.
"Prosesnya cepat dan tidak ribet. Wajar saja bunganya lebih besar. Kan kita juga tidak buang-buang waktu untuk mengurus macam-macam," jelasnya.
Karena itu, ke depan, jika ia memerlukan modal lagi, fintech tetap menjadi pilihan untuk memperoleh dana. "Fintech lebih menarik. Tapi saya meminjam sesuai kapasitas saja, jangan sesuai keinginan. Kalau keinginan mah banyak," pungkasnya.
Untuk diketahui, data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan, jumlah nasabah fintech terus bertumbuh dari waktu ke waktu. Pada Januari 2018, akumulasi jumlah borrower baru berjumlah 330.154. Namun, pada Juni 2018, jumlahnya sudah bertambah menjadi 2.264.438.
Peningkatan jumlah peminjam ini mendorong tumbuhnya nominal pinjaman. Data yang sama menunjukkan jumlah pinjaman mencapai Rp3 triliun pada Januari. Lalu, pada Juni jumlahnya sudah melonjak menjadi Rp7,63 triliun.
Seperti yang dialami Diah Amelia. Karyawan perusahaan swasta yang berdomisili di Jakarta ini kerap menggunakan jasa fintech peer to peer lending untuk memenuhi kebutuhan mendadak. Berawal dari keisengannya mencoba salah satu aplikasi fintech lewat internet, ia kini bahkan telah menjadi borrower untuk beberapa penyelenggara fintech.
"Mudah banget sih. Kan aku pinjam di beberapa, ada yang prosesnya agak makan waktu, tapi ada juga yang cepat. Mengajukan, data komplet, enggak sampai setengah jam, dana langsung masuk," cerita nasabah Uang Teman ini kepada wartawan, Sabtu (25/8/2018).
Memang tidak semua penyelenggara fintech bisa mengucurkan pinjaman dengan waktu kurang dari satu jam seperti itu. Namun dari pengalaman Diah, pengucuran dana fintech yang paling lama pun paling hanya berkisar 2-3 hari.
Diah mengaku selain meminjam lewat fintech, ia pun pernah meminjam kredit tanpa agunan (KTA) di sebuah bank swasta. Hanya saja, prosesnya jauh lebih ribet dan memakan waktu lebih panjang.
"Aku ada KTA, tapi itu agak rumit. Prosesnya juga agak panjang. Maksudnya harus ketemu, survei, segala macam. Makan waktunya lebih dari seminggu. Jadi kalau untuk proses lebih cepat, mending fintech," lanjut perempuan berusia 36 tahun ini.
Pinjaman dari fintech pun dianggap lebih pasti ketika ada kebutuhan mendesak. Ini dibandingkannya dengan meminjam ke orang lain secara konvensional. Pasalnya, ketika meminjam langsung ke orang lain, orang yang dituju belum tentu memiliki dana yang diperlukan.
Sejauh ini, Diah kerap melakukan pinjaman pada akhir bulan. Pinjamannya ke fintech sendiri berkisar Rp1 juta-Rp3 juta. Ia mengakui, bunga yang dipasang oleh penyelenggara fintech memang cenderung lebih tinggi. Hanya saja, ia tidak mempermasalahkannya, mengingat kemudahan dan kecepatan proses pinjaman yang ia peroleh.
Senada, Nancy Simbolon, seorang make up artist yang berdomisili di Jakarta Selatan menuturkan, kecepatan memperoleh dana segar yang diperlukan membuat perempuan ini memilih meminjam dari fintech, ketimbang lembaga keuangan lainnya pada Februari lalu.
"Waktu itu tiba-tiba ada bookingan cukup banyak, dan ada beberapa alat yang saya belum punya. Jadi harus belanja dulu. Nah, dananya saya pinjam dari fintech. Jadi buat saya, fintech ini sangat-sangat memudahkan," akunya.
Tak banyak nominal yang dipinjam Nancy dari Uang Teman dan beberapa penyelenggara lain. Dari dua kali peminjaman, totalnya hanya mencapai Rp1,1 juta. Pada pinjaman pertama, nominal yang diajukan hanya Rp100 ribu.
"Jadi kan dapat rekomendasi dari teman untuk pinjam di situ. Istilahnya coba-coba dulu, kecil dulu. Jadi totalnya Rp1,1 juta," katanya.
Jangka waktu pengembalian yang ia pilih pun terbilang singkat, yakni hanya satu bulan. Menurutnya, beragamnya pilihan jangka waktu pengembalian merupakan kelebihan layanan fintech. Peminjam bisa memilih sesuai dengan kemampuannya mencicil pinjaman.
Terkait bunga, Nancy tak merasa keberatan. Menurutnya, bunga yang dikenakan masih dalam taraf wajar. Pengenaan bunga yang cenderung lebih tinggi ia anggap sebagai biaya dari layanan yang diterima.
"Prosesnya cepat dan tidak ribet. Wajar saja bunganya lebih besar. Kan kita juga tidak buang-buang waktu untuk mengurus macam-macam," jelasnya.
Karena itu, ke depan, jika ia memerlukan modal lagi, fintech tetap menjadi pilihan untuk memperoleh dana. "Fintech lebih menarik. Tapi saya meminjam sesuai kapasitas saja, jangan sesuai keinginan. Kalau keinginan mah banyak," pungkasnya.
Untuk diketahui, data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan, jumlah nasabah fintech terus bertumbuh dari waktu ke waktu. Pada Januari 2018, akumulasi jumlah borrower baru berjumlah 330.154. Namun, pada Juni 2018, jumlahnya sudah bertambah menjadi 2.264.438.
Peningkatan jumlah peminjam ini mendorong tumbuhnya nominal pinjaman. Data yang sama menunjukkan jumlah pinjaman mencapai Rp3 triliun pada Januari. Lalu, pada Juni jumlahnya sudah melonjak menjadi Rp7,63 triliun.
(ven)