IHT dan Negara Merugi Jika Penyederhanaan Tarif Cukai Berlaku

Jum'at, 31 Agustus 2018 - 10:59 WIB
IHT dan Negara Merugi Jika Penyederhanaan Tarif Cukai Berlaku
IHT dan Negara Merugi Jika Penyederhanaan Tarif Cukai Berlaku
A A A
JAKARTA - Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Kretek Indonesia (GAPPRI) meminta agar Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dalam setiap mengambil kebijakan berkaitan dengan Industri Hasil Tembakau (IHT) untuk lebih memperhatikan berbagai faktor, seperti kondisi konomi yang masih sulit, dan suhu politik yang cenderung memanas jelang pemilu 2019.

"Sebagai pengusaha, kami berharap Kemenkeu sepikiran dan sepemahaman agar tidak ada generalisasi jenis kretek dan rokok putih. Kami juga berharap kebijakan cukai 2019 status quo, tetap sesuai dengan kebijakan tarif cukai hasil tembakau 2018," ujar Ketua GAPPRI, Ismanu Soemiran di Jakarta, Jumat (31/08).

Permintaan agar status quo, menurut Ismanu, berdasarkan kondisi pasar yang sangat lesu. Dimana keseluruhan penjualan menunjukkan penurunan cukup signifikan. Belum lagi kondisi ekonomi di berbagai bidang mengalami penurunan. Bahkan, saat ini sebagian besar industri termasuk industri rokok lebih memilih bertahan dari dampak yang lebih besar daripada melakukan pengembangan.

Diketahui, dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 146/2017 diatur ketentuan pengurangan golongan atau layer tarif cukai. Adapun penerapan kenaikan tarif bagi industri yang memproduksi rokok putih dan rokok kretek. Caranya menghitung total kumulasi produksi keduanya, mulai tahun 2019. Penyamaan tarif cukai antara jenis rokok SKM dan SPM pada 2020, dan menghilangkan golongan I-B SKT.

Ismanu menegaskan, jika kenaikan tarif dan penyederhanaan layer dilakukan, maka akan terjadi kenaikan ganda. Yakni kenaikan regular tarif cukai dan kenaikan atas dampak penghapusan layer. Skema kenaikan tarif melalui pengurangan layer yang cukup signifikan dari 2018-2021.

Pemerintah seharusnya bersimpati atas kondisi IHT saat ini. Pasalnya, kondisi IHT sedang terpuruk dengan menurunnya volume secara drastis. Ada penurunan 1-2 persen selama 4 tahun terakhir. Bahkan hingga April 2018, terjadi penurunan volume industri rokok sebesar 7 persen. Hal itu sesuai penelitian Nielsen, April 2018.

“Sekali lagi, kami berharap Pemerintah dapat mengkaji kembali rencana penerapan kenaikan cukai dan penyederhanaan layer cukai yang berpotensi akan menimbulkan kerugian, baik bagi industri maupun negara sendiri,” harapnya.

Ismanu lantas membeberkan fakta, dari penjualan IHT yang setor ke negara sebesar hampir 70 persen. Itu setara kurang lebih Rp 200 Triliun. Maka, sesungguhnya IHT dapat disebut BUMN yang dikelola swasta. Jadi, hidup mati IHT tergantung pemerintah juga. Secara de-facto, pemerintah adalah penerima pungutan terbesar hasil penjualan IHT.

"Oleh karenanya, bila pemerintah tetap kukuh kami tetap akan menjalankan kebijakan cukai 2019. Kami percaya pemerintah menganggap kami bagaikan angsa yang bertelur emas," katanya.

Marak Rokok Ilegal

Dijelaskan Ismanu, kenaikan cukai ini juga berpotensi meningkatkan rokok ilegal. Pasalnya, salah satu sebab meningkatnya rokok illegal dan menurunnya produksi rokok adalah karena tingginya harga rokok akibat kenaikan tarif cukai yang tinggi di atas tingkat kemampuan daya beli masyarakat. Perdagangan rokok ilegal selain mengganggu stabilitas industri rokok, juga mengganggu penerimaan negara.

Ismanu pun mencontohkan, di Malaysia karena tarif rokok yang mahal membuat rokok ilegal kian banyak. Hal sama juga dialami di kota New York, Amerika Serikat. Karenanya, jika rokok ilegal makin banyak maka pemerintah juga tidak dapat penerimaaan.

"Masih maraknya peredaran rokok ilegal, meskipun berbagai upaya terus dilakukan oleh Ditjen Bea dan Cukai, baik secara sendiri sendiri maupun bersama-sama dengan industri, terus digalakkan," kata Ismanu.

Ismanu menegaskan, para pengusaha sangat memperhatikan setiap kebijakan karena akan berdampak pada tenaga kerja dan biaya operasional yang semakin berat. Belum lagi, setiap kebijakan cukai akan membuat pengusaha tertekan sehingga bisa berdampak terhadap PHK.

"Yang kami pikirkan adalah angkatan kerja. Kami menjaga agar jangan sampai ada PHK gara-gara PMK 146. Sesuai surat GAPPRI kepada Menkeu tertanggal 23 April 2018, kami mohon pemberlakuan PMK 146 ditangguhkan, minta status quo dulu, lakukan ekstensifikasi, dan berantas rokok ilegal," tegasnya.

Pada titik inilah, GAPPRI berharap Kemenkeu mereview atas penyamaan klasifikasi golongan kretek dan rokok putih dalam PMK 147/PMK.010/2017 dan PMK 146/PMK.010/2017 ini tidak dilaksanakan di tahun 2019.

“Tak kalah penting, mengekstensifikasikan barang kena cukai di luar produk rokok, supaya beban industri rokok dapat diturunkan, dan ruang fiskal yang bersumber dari penerimaan cukai masih bisa diperluas,” pungkasnya.
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6724 seconds (0.1#10.140)