Hemat Devisa Puluhan Triliun, Kebijakan Biodiesel 20 Dinilai Terlambat
A
A
A
JAKARTA - Kebijakan pemerintah memperluas penerapan kewajiban pencampuran biodiesel B20 mulai, Sabtu 1 September 2018 dinilai terlambat. Mandatori biodisesel 20 atau B20 dijalankan guna mendorong ekspor dan memperlambat impor untuk menyehatkan neraca pembiayaan dan mengurangi defisit transaksi berjalan.
Kendati demikian, menurut ekonom pencampuran biodiesel nampaknya sedikit terlambat dilakukan. Sebab, pelemahan rupiah yang saat ini telah mencapai Rp14.700 dan peluncuran mandatory B20 belum akan cepat memberikan dampak.
"Pembatasan 900 barang impor aturan detail belum keluar, B20 agak terlambat dan perlu adjustment. Ditambah Pertamina yang disuruh beli semua crude oil dalam negeri," ujar Ekonom Indef Bhima Yudhistira di Jakarta, Sabtu (1/9/2018).
Lebih lanjut Ia menerangkan, agar pemerintah jangan terfokus dengan satu sektor terkait beberapa kebijakan untuk menyelamatkan rupiah. "Jangan terfokus dengan yang lain. Usahakan untuk kesemua sektor bisa dilakukan," jelasnya.
Saat ini, pemerintah mewajibkan pencampuran biodiesel B20. Melalui optimalisasi dan perluasan pemanfaatan B20 ini, diperkirakan akan terdapat penghematan sekitar USD2 miliar pada sisa 4 bulan terakhir tahun 2018. Hal ini tentunya akan memberikan dampak positif terhadap perekonomian nasional.
Adapun mekanisme pencampuran B20 akan melibatkan Badan Usaha Bahan Bakar Minyak (BU BBM) yang menyediakan solar dan Badan Usaha Bahan Bakar Nabati (BU BBN) yang memasok FAME (Fatty Acid Methyl Esters) yang bersumber dari CPO (Crude Palm Oil).
Sebelumnya Menko Perekonomian Darmin Nasution meyakini, kebijakan ini bisa berbuah cepat bagi negara, terutama untuk penyelamatan devisa karena akan ada penghematan devisa karena solarnya dicampur minyak CPO. “Berdasar hitungan Kementerian ESDM jika kebijakan berlaku efektif per 1 September nanti, maka penghematan yang bisa didapat negara untuk sementara adalah USD1,1 miliar atau Rp15,8 triliun,” ungkap Darmin.
Kendati demikian, menurut ekonom pencampuran biodiesel nampaknya sedikit terlambat dilakukan. Sebab, pelemahan rupiah yang saat ini telah mencapai Rp14.700 dan peluncuran mandatory B20 belum akan cepat memberikan dampak.
"Pembatasan 900 barang impor aturan detail belum keluar, B20 agak terlambat dan perlu adjustment. Ditambah Pertamina yang disuruh beli semua crude oil dalam negeri," ujar Ekonom Indef Bhima Yudhistira di Jakarta, Sabtu (1/9/2018).
Lebih lanjut Ia menerangkan, agar pemerintah jangan terfokus dengan satu sektor terkait beberapa kebijakan untuk menyelamatkan rupiah. "Jangan terfokus dengan yang lain. Usahakan untuk kesemua sektor bisa dilakukan," jelasnya.
Saat ini, pemerintah mewajibkan pencampuran biodiesel B20. Melalui optimalisasi dan perluasan pemanfaatan B20 ini, diperkirakan akan terdapat penghematan sekitar USD2 miliar pada sisa 4 bulan terakhir tahun 2018. Hal ini tentunya akan memberikan dampak positif terhadap perekonomian nasional.
Adapun mekanisme pencampuran B20 akan melibatkan Badan Usaha Bahan Bakar Minyak (BU BBM) yang menyediakan solar dan Badan Usaha Bahan Bakar Nabati (BU BBN) yang memasok FAME (Fatty Acid Methyl Esters) yang bersumber dari CPO (Crude Palm Oil).
Sebelumnya Menko Perekonomian Darmin Nasution meyakini, kebijakan ini bisa berbuah cepat bagi negara, terutama untuk penyelamatan devisa karena akan ada penghematan devisa karena solarnya dicampur minyak CPO. “Berdasar hitungan Kementerian ESDM jika kebijakan berlaku efektif per 1 September nanti, maka penghematan yang bisa didapat negara untuk sementara adalah USD1,1 miliar atau Rp15,8 triliun,” ungkap Darmin.
(akr)