Pengusaha Ungkap Perbedaan Rupiah Saat Krisis 1998 dan 2018

Rabu, 05 September 2018 - 16:00 WIB
Pengusaha Ungkap Perbedaan...
Pengusaha Ungkap Perbedaan Rupiah Saat Krisis 1998 dan 2018
A A A
SURABAYA - Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Jawa Timur (Jatim) menilai, ekonomi Indonesia tetap kokoh dan tidak menjurus ke krisis seperti halnya 1998, silam kendati saat ini rupiah sedang terdepresiasi. Ketua HIPMI Jatim Mufti Anam menerangkan, kondisi fundamental ekonomi nasional cukup baik.

Sambung dia menjelaskan, pertumbuhan ekonomi saat ini 5,2% dengan inflasi tahunan terkelola pada level 3,2%. Sedangkan peringkat utang Indonesia masih investment grade, bahkan lembaga rating Fitch tetap pertahankan outlook stable untuk Indonesia.

“Pelemahan rupiah lebih banyak disebabkan faktor eksternal, terutama gejolak Turki dan Argentina serta kenaikan suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed),” ujar Mufti Anam kepada wartawan di Surabaya, Rabu (5/9/2018).

Faktor eksternal pula, lanjut dia, yang menyebabkan Indonesia mengalami krisis 1998. Namun, yang membedakan dengan kondisi saat ini adalah posisi fundamental ekonomi yang jauh lebih baik dibanding 1998.

”Jadi memang beda kondisi saat ini dengan 1998. Fundamental ekonomi kita oke hari ini, bahkan kalau dibandingkan dengan negara lain, kita lebih baik. Cadangan devisa pun tinggi. Sehingga BI (Bank Indonesia) punya cukup ruang untuk intervensi rupiah,” papar Mufti.

Saat ini terang dia, pengelolaan utang valas swasta juga sudah cenderung lebih berhati-hati karena banyak yang telah menggunakan fasilitas hedging (lindung nilai) agar terlindungi dari gejolak nilai tukar. Di lingkungan HIPMI sendiri sudah disosialisasikan penggunaan fasilitas swap BI untuk pengusaha yang butuh dolar.

”Pengusaha-pengusaha muda juga sudah konversi dolar ke rupiah. Anak-anak muda Jatim ada valas hasil ekspor, semua dikonversi ke rupiah. Ini wujud gerak kita bersama menjaga ekonomi,” ujarnya.

Mufti menambahkan, pengusaha mengapresiasi respons cepat pemerintah dan BI dalam mengelola dinamika kurs. Misalnya, BI langsung menurunkan batas minimal transaksi swap lindung nilai yang mendorong pengusaha memakai fasilitas itu agar terlindungi dari gejolak kurs.

Juga ada pembatasan impor barang-barang yang tak strategis, peningkatan bahan bakar nabati untuk menekan impor minyak, dan sebagainya. “Semua respons cepat pemerintah dan BI tersebut mampu berdampak psikologis yang membuat dunia usaha yakin bahwa risiko nilai tukar bisa terkelola dengan baik.” pungkasnya.
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6273 seconds (0.1#10.140)