Efek Krisis Keuangan 2008 Masih Terasa di Inggris

Kamis, 13 September 2018 - 17:17 WIB
Efek Krisis Keuangan...
Efek Krisis Keuangan 2008 Masih Terasa di Inggris
A A A
JAKARTA - Efek krisis keuangan disampaikan oleh Menteri Keuangan Inggris Philip Hammond, masih terasa terhadap ekonomi dan masyarakat Inggris hingga saat ini. Sepuluh tahun setelah sistem keuangan global mengalami kehancuran, menurutnya banyak orang masih merasakan imbasnya.

Meski begitu dalam sebuah wawancara dengan BBC, Hammond menyakini masih ada harapan dengan mengibaratkan selalu terdapat cahaya di ujung terowongan. Terkait kondisi saat ini, terang dia peningkatan upah serta turunnya inflasi menjadi kabar baik di tengah ketidakpastian negosiasi Brexit untuk jadi peredam gejolak ekonomi.

Satu dekade lalu pada pekan ini, bank investasi AS Lehman Brothers ambruk hingga mengirimkan gelombang kejut melalui sistem keuangan global. Penelitian yang dilakukan untuk BBC, menunjukkan bahwa upah saat ini tetap jauh di bawah apa yang akan mereka hadapi saat krisis.

"Kami (Inggris) mengalami guncangan yang sangat besar terhadap perekonomian pada tahun 2008/2009, dan itu sangat mengejutkan dimana semua orang hingga kini masih menderita efeknya," ujar Hammond.

Ia menyadari sepenuhnya, tentang dampak stagnasi pada upah dan kehidupan. Namun dia menambahkan, "Kami telah melewati ini dalam kondisi yang jauh lebih baik daripada banyak negara tetangga. Memang belum ada peningkatan angka pengangguran secara luar biasa, sebaliknya kami mencetak peningkatan lapangan kerja sebanyak tiga juta lowongan pekerjaan sepanjang periode ini,".

"Kami tidak melihat adanya pengurangan luas rumah, runtuhnya bisnis, dalam cara yang kami lakukan di resesi sebelumnya. Jadi saya pikir cara ekonomi dikelola telah meminimalkan dampaknya," paparnya.

Efek Brexit

Lebih lanjut Ia menambahkan, berdasarkan data analis independen dari Budget Responsibility memproyeksikan adanya pertumbuhan upah riil selama beberapa tahun mendatang. Hammond juga melakukan pembelaan terhadap upaya pemerintah memotong utang, yang banyak orang berpendapat dapat menyebabkan penghematan dan memperburuk dampak pada pendapatan masyarakat dan ekonomi.

"Setelah terjadinya krisis, kebutuhan mendesak adalah untuk meyakinkan pasar dan investor tentang niat kami. Pinjaman pemerintah telah meningkat ke tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya - hampir 10% dari total pendapatan nasional di tahun setelah krisis - dan pasar perlu tahu bahwa kami akan mampu mengendalikannya," papar Hammond.

Terang dia, pada kenyataannya melonggarkan aturan fiskal pada 2016 memberikan banyak ruang bagi banyak perusahaan. Tetapi tantangan yang dihadapi perekonomian terang dia, bukan pada kurangnya permintaan akan tetapi produktivitas yang buruk. Ia menegaskan harapan lompatan berkelanjutan dalam standar hidup dan upah riil, serta tantangan produktivitas harus bisa diselesaikan.

Ditambahkan olehnya, hambatan terbesar bagi pertumbuhan ekonomi Inggris yakni ketidakpastian tentang hasil negosiasi untuk meninggalkan Uni Eropa (UE) alias Brexit. "Potensi negosiasi tanpa kesepakatan bisa menimbulkan gangguan tinggi sebagai konsekuensinya jelas merupakan risiko bagi sistem keuangan," ungkapnya.

Dia kembali memperingatkan, seputar dampak besar pada sektor jasa keuangan London apabila Brexit tanpa menuai kata sepakat. "Jika pasar terganggu, maka bisa ada konsekuensi signifikan," ujarnya.

Hammond mengatakan, dia memahami tentang dorongan untuk melakukan belanja lebih besar. "Kami telah membuat komitmen besar untuk NHS, berkomitmen untuk menghabiskan 24 miliar poundsterling di Inggris pada akhir periode lima tahun ini," katanya.
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1045 seconds (0.1#10.140)