Ini Jawaban Kenapa Grab Sulit Lawan Go-Jek di Indonesia
A
A
A
JAKARTA - Persaingan bisnis aplikasi transportasi online mengerucut di Indonesia, setelah Uber diakuisisi oleh Grab. Alhasil, saat ini hanya ada dua operator aplikasi transportasi online di negeri ini: Go-Jek dan Grab. Pertanyaan pun kerap muncul, siapa yang lebih dominan di Indonesia?
Dalam kolom opini di media internasional Bloomberg, Shuli Ren menulis status Go-Jek sebagai super app membuatnya lebih dominan di bisnis ride-hailing di Indonesia dibanding rivalnya. Strategi Go-Jek berjalan dalam jalur yang benar dengan memanfaatkan aplikasi super (super app).
"Selain memesan tumpangan, Anda dapat membayar tagihan, memesan makanan, mengirim paket kilat, dan menemukan pembersih rumah tanpa meninggalkan aplikasi Go-Jek. Anda bahkan dapat menyewa penata rambut, menggunakan Go-Glam," tulisnya dalam artikel berjudul Why Grab Doesn’t Have a Handle on Indonesia, Selasa (6/11/2018).
Lain halnya dengan Grab. Sebagai perbandingan, aplikator asal Malaysia itu hanya menawarkan makanan dan pengiriman paket ekspres di luar opsi jasa tumpangan.
Meskipun Grab berniat mengembangkan diri menjadi aplikasi super, itu tak berlaku di Indonesia. Tidak seperti Go-Jek, perusahaan asing itu tidak memiliki lisensi dompet digital (e-wallet) yang diterbitkan bank sentral.
Padahal lisensi itu sangat penting yang membuat Go-Jek dapat melayani siapapun yang tak memiliki rekening bank atau kartu kredit. Cukup dengan Go-Pay, pengguna dapat mengisi ulang di toko-toko atau memberikan uang tunai kepada yang lain tanpa repot.
Di saat yang sama, Grab mencoba mensiasati dengan membangun kemitraan dengan OVO, e-wallet yang dimiliki Lippo Group. Minusnya dari kemitraan ini adalah Grab harus bersedia menyerahkan kontrol pengalaman pada pengguna dan teknologi.
Padahal, e-wallet merupakan kuncinya sebagai solusi lantaran perbankan sangat ketinggalan teknologi.
Shuli Ren menceritakan pengalamannya berdiskusi dengan startup di Jakarta pekan lalu. Diketahui kalau 20% barang yang dibeli di Shopee tak dilanjutkan transaksinya lantaran pembayaran melalui bank sangat kaku.
Sisi inilah yang menjadi kekuatan Go-Jek di mana Go-Pay sudah mengantongi lisensi e-wallet dari Bank Indonesia. Dengan Go-Pay, pengguna diuntungkan karena membayar lebih murah ketimbang transaksi lainnya.
Misalnya pengiriman ekspress dari kantor Bloomberg di Jakarta ke bank sentral, perjalanan 1,6 kilometer hanya dikutip Rp13.000 selama jam sibuk, tapi menggunakan Go-Pay hanya Rp12.000. Di saat bersamaan, Go-Jek kini menjelma sebagai perusahaan sektor swasta terbesar di Indonesia dan memberi solusi atas kemacetan di Jakarta.
Dalam kolom opini di media internasional Bloomberg, Shuli Ren menulis status Go-Jek sebagai super app membuatnya lebih dominan di bisnis ride-hailing di Indonesia dibanding rivalnya. Strategi Go-Jek berjalan dalam jalur yang benar dengan memanfaatkan aplikasi super (super app).
"Selain memesan tumpangan, Anda dapat membayar tagihan, memesan makanan, mengirim paket kilat, dan menemukan pembersih rumah tanpa meninggalkan aplikasi Go-Jek. Anda bahkan dapat menyewa penata rambut, menggunakan Go-Glam," tulisnya dalam artikel berjudul Why Grab Doesn’t Have a Handle on Indonesia, Selasa (6/11/2018).
Lain halnya dengan Grab. Sebagai perbandingan, aplikator asal Malaysia itu hanya menawarkan makanan dan pengiriman paket ekspres di luar opsi jasa tumpangan.
Meskipun Grab berniat mengembangkan diri menjadi aplikasi super, itu tak berlaku di Indonesia. Tidak seperti Go-Jek, perusahaan asing itu tidak memiliki lisensi dompet digital (e-wallet) yang diterbitkan bank sentral.
Padahal lisensi itu sangat penting yang membuat Go-Jek dapat melayani siapapun yang tak memiliki rekening bank atau kartu kredit. Cukup dengan Go-Pay, pengguna dapat mengisi ulang di toko-toko atau memberikan uang tunai kepada yang lain tanpa repot.
Di saat yang sama, Grab mencoba mensiasati dengan membangun kemitraan dengan OVO, e-wallet yang dimiliki Lippo Group. Minusnya dari kemitraan ini adalah Grab harus bersedia menyerahkan kontrol pengalaman pada pengguna dan teknologi.
Padahal, e-wallet merupakan kuncinya sebagai solusi lantaran perbankan sangat ketinggalan teknologi.
Shuli Ren menceritakan pengalamannya berdiskusi dengan startup di Jakarta pekan lalu. Diketahui kalau 20% barang yang dibeli di Shopee tak dilanjutkan transaksinya lantaran pembayaran melalui bank sangat kaku.
Sisi inilah yang menjadi kekuatan Go-Jek di mana Go-Pay sudah mengantongi lisensi e-wallet dari Bank Indonesia. Dengan Go-Pay, pengguna diuntungkan karena membayar lebih murah ketimbang transaksi lainnya.
Misalnya pengiriman ekspress dari kantor Bloomberg di Jakarta ke bank sentral, perjalanan 1,6 kilometer hanya dikutip Rp13.000 selama jam sibuk, tapi menggunakan Go-Pay hanya Rp12.000. Di saat bersamaan, Go-Jek kini menjelma sebagai perusahaan sektor swasta terbesar di Indonesia dan memberi solusi atas kemacetan di Jakarta.
(ven)