Menaruh Asa di Industri Pertambangan untuk Dongkrak Devisa

Rabu, 28 November 2018 - 22:10 WIB
Menaruh Asa di Industri Pertambangan untuk Dongkrak Devisa
Menaruh Asa di Industri Pertambangan untuk Dongkrak Devisa
A A A
MESKIPUN baru diselenggarakan tahun depan, namun suasana perhelatan politik pemilihan anggota legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres) sudah terasa sejak awal tahun 2018. Namun kondisi politik nasional diyakini banyak pihak tak banyak berpengaruh terhadap perekonomian nasional dan sektor industri. Termasuk industri pertambangan mineral dan batubara (minerba).

Alasannya, pemerintah sudah memiliki road map kebijakan-kebijakan yang mendukung pertumbuhan beragam sektor penopang perekonomian nasional. Meski demikian, ada hal yang perlu diperhatikan yakni konsistensi pemerintah dalam menerapkan kebijakan di sektor pertambangan minerba.

"Itu penting agar target pemerintah mendapat tambahan devisa dari sektor minerba tercapai," tegas Direktur Centre For Indonesian Resources Strategic Studies (Cirrus), Budi Santoso kepada SINDOnews, Rabu (28/11/2018).

Kebijakan pemerintah di sektor pertambangan minerba kini menjadi sorotan banyak pihak. Sebab, selain untuk menutup defisit neraca perdagangan dari hasil ekspornya, sektor minerba dinilai penting karena sektor ini potensial untuk menarik investasi baru.

Beragam diskusi dilakukan oleh para pakar untuk memberikan masukan kepada para pemangku kepentingan di sektor minerba. Bahkan, suasana meriah dan penuh antusiasme terlihat di sebuah diskusi soal energi dan pertambangan yang dihelat di Bimasena, Hotel Dharmawangsa, Jakarta beberapa waktu lalu.

Beberapa tokoh hadir diantaranya mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said, pakar ekonomi yang juga Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Arif Budimanta, Direktur Utama Inalum Budi Gunadi Sadikin, dan sejumlah tokoh industri pertambangan lainnya. Terlihat pula mantan Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Eddie Widiono.

Selain membahas mengenai sektor energi minyak dan gas bumi, diskusi tersebut juga memberikan perhatian terhadap kelangsungan industri pertambangan minerba di Tanah Air. "Kita ini eksportir batubara terbesar, cadangan kita di sektor pertambangan sangat besar dan potensial sebagai aset di masa depan," tegas Arif Budimanta kepada SINDOnews seusai menjadi pembicara dalam acara itu.

Indonesia merupakan surga produk tambang. Tak hanya batubara, juga nikel, bauksit, tembaga hingga emas. Data dari World Gold Council menunjukkan, cadangan emas Indonesia hingga 2018 mencapai 80,6 juta troy ounces.

Daerah-daerah penghasil emas tersebar mulai dari Kalimantan, Papua, Bengkalis (Sumatra), Bolaang Mangondow di Sulawesi Utara, Cikotok di Jawa Barat, Logas di Provinsi Riau, hingga Reja Lebong di Bengkulu.

Sedangkan daerah penghasil timah tersebar dari Bangkinang (Riau), Dabo (Singkep), Manggar (Belitung), hingga Sungai Liat (Bangka). Dengan cadangan sekitar 1,9 miliar ton, menjadikan Indonesia sebagai negara peringkat ke empat pemilik cadangan timah terbesar di dunia setelah Rusia, China dan Australia.

Dengan cadangan nikel sebesar 3,2 miliar ton, Indonesia juga menduduki peringkat 10 besar di dunia sebagai pemilik sumber daya alam yang bisa digunakan untuk memproduksi beragam produk itu.

Hasil survei dari Fraser Institute menunjukkan bahwa Indonesia memiliki cadangan sumber daya mineral yang besar. Sayangnya, potensi yang besar tersebut tidak dimbangi dengan aliran investasi yang juga besar untuk kegiatan eksplorasi.

Masih banyak kendala yang dihadapi untuk mengoptimalkan potensi besar mineral dan batubara. Tidak hanya dari sisi hilir, tetapi juga dari sisi hulu. Kegiatan eksplorasi menurun usai diterbitkannya regulasi yang melarang ekspor mineral dalam bentuk mentah pada 2014 silam, meskipun kemudian ada revisi terhadap peraturan tersebut pada 2017.

Pada periode 2006 hingga 2014, Indonesia hanya menerima 2,5% dari total investasi global di sektor mineral dan batubara. Sementara pada periode 2015 hingga 2017, Indonesia hanya kebagian porsi investasi hanya 1%. Sangat kecil jika melihat potensi mineral Indonesia yang demikian besar.

Padahal, kegiatan eksplorasi diperlukan untuk mengetahui potensi sumber daya yang ada. Selain itu, kegiatan eksplorasi penting untuk meningkatkan status sumber daya menjadi cadangan.

Eksplorasi merupakan faktor yang paling fundamental di industri pertambangan. Sebab, tidak akan ada kegiatan penambangan tanpa ada kegiatan eksplorasi. Agar investor tertarik melakukan investasi dan mengembangkan bisnis tambang di Indonesia, pemerintah seharusnya berbagi risiko dengan memberikan data eksplorasi yang baik, murah dan mudah diakses.

"Tanpa eksplorasi tentu tidak akan menemukan cadangan-cadangan baru. Namun yang perlu diperhatikan, kegiatan eksplorasi perlu melibatkan masyarakat. Karena itu penting dari aspek sustainability income dan operasional," tutur Arif Budimanta.

Industri minerba dihadapkan pada situasi dilematis. Di satu sisi harus memenuhi kewajiban membangun smelter untuk meningkatkan nilai jual produk dari sumber daya alam Indonesia dalam rangka menambah pemasukan negara. Di sisi lain, momentum kenaikan harga minerba di pasar dunia harus dimanfaatkan untuk meningkatkan pendapatan dalam rangka peningkatan investasi di masa depan.

Dari data London Metal Exchange (LME) hingga Semester I 2018, harga nikel rata-rata mencapai USD14.900 per metrik ton, tumbuh 16,7% sejak Januari 2018 dengan posisi tertinggi USD15.750 per metrik ton pada awal Juni 2018. Sedangkan harga batubara sempat menembus nilai tertinggi dalam kurun enam tahun terakhir yakni USD116,6 per metrik ton pada Juli 2018. Sementara harga emas berada di level USD1.236-USD 1.300 per ounce.

Momentum tersebut tidak bisa dimaksimalkan oleh industri minerba karena hasil dari smelter yang dibangun tidak bisa langsung dinikmati. Hal ini terbukti dari kinerja emiten-emiten pertambangan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang melaporkan kinerja kurang impresif di tengah lonjakan harga produk hasil tambang. Meskipun ada kenaikan penjualan, namun tak sebesar periode sebelumnya.

Kendala lain yang dihadapi oleh industri minerba yakni infrastruktur pendukung pembangunan smelter yang tidak memadai. Seperti listrik, kereta api, jalan dan pelabuhan untuk mendukung fasilitas pengolahan hilir di banyak wilayah. Alhasil, industri minerba perlu mengeluarkan dana lebih untuk membangun infrastruktur pendukung, yang terkadang di beberapa wilayah tidak layak secara keekonomian.

"Konsep hilirisasi yang selama ini diterapkan pemerintah menurut saya kurang pas dari aspek bisnis," tegas Budi Santoso. Alasannya, banyak pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan area penambangan yang tidak besar kesulitan untuk membangun smelter karena kekurangan dana untuk melakukan investasi pembangunan smelter.

Seharusnya, kata Budi, pemerintah melakukan identifikasi berapa besar kebutuhan produk mineral di dalam negeri, juga berapa besar potensi ekspornya. Sehingga, pembangunan smelter akan lebih efisien. "Jangan seperti petani kapas lalu diwajibkan membangun pabrik kain. Ini tentu tidak memberikan dampak positif bagi pemerintah maupun industri," ungkap Budi.

Selain itu, perlu ada kebijakan yang mendorong kolaborasi antara industri pertambangan dengan industri yang menbutuhkan produk-produk pertambangan sebagai bahan baku. Misalnya, mensinergikan pertambangan bijih besi dengan perusahaan produsen baja. Sehingga proses hilirisasi memberikan nilai tambah bagi semua pihak. "Hilirisasi jangan hanya berhenti sampai pada smelter, tapi juga produk akhir. Itu akan memberikan nilai tambah yang lebih besar lagi," paparnya.

Untuk menutup defisit neraca pedagangan dan meningkatkan devisa negara, dalam jangka pendek, kebijakan membuka keran ekspor produk mentah minerba dinilai cocok. "Sembari melakukan penataan kembali kebijakan dan yang paling penting masalah tumpang tindih lahan harus diperhatikan. Pemerintah harus turun tangan terkait permasalahan yang dihadapi industri, jangan industri diminta selesaikan sendiri," paparnya.

Budi juga menyoroti kebijakan relaksasi ekspor yang diterapkan pemerintah. Sebab di satu sisi bisa meningkatkan ekspor minerba, namun di sisi lain membuat industri yang sudah mengembangkan smelter menghadapi masalah baru.

"Jadi konsep hilirisasinya ini yang harus di evaluasi. Termasuk terkait perizinan di daerah dan perizinan lainnya, agar industri minerba terus tumbuh dan memberikan sumbangan yang besar bagi negara," tuturnya.

Meskipun kebijakan mengembangkan sektor hilir memiliki niat baik agar bernilai tambah bagi negara, namun waktunya dinilai tidak tepat. Sebab permintaan global saat ini untuk beberapa produk mineral cukup tinggi. Dampak dari peraturan hilirisasi itu, beberapa penambangan mineral berskala kecil telah menghentikan operasi.

Sementara, beberapa perusahaan tambang skala besar mengurangi kegiatan produksi. Hal ini tidak hanya berdampak pada penambang itu sendiri, tetapi memiliki dampak yang signifikan terhadap pendapatan ekspor, pajak, dan royalti, serta perkembangan ekonomi domestik. "Resources kita di sektor minerba itu sangat besar, karenanya agar pendapatan negara meningkat perlu ada kebijakan yang tepat," tegas Budi.

Pendapat berbeda diungkapkan mantan Menteri ESDM Sudirman Said. Kebijakan hilirisasi akan memberikan nilai tambah yang besar bagi negara. "Memang butuh proses dan harus konsisten, karena nilai tambahnya besar," tegas Sudirman kepada SINDOnews.

Dari catatan Kementerian Perindustrian, investasi baru di sektor industri pengolahan dan pemurnian logam yang masuk pada awal 2018 mencapai USD3 miliar. Terdiri dari investasi pabrik nikel di Papua Barat sebesar USD350 juta, pembangunan pabrik nikel di Konawe, Sulawesi Utara senilai USD2,5 miliar dan pengembangan pabrik pengolahan tembaga senilai USD150 juta di Kalimantan Tengah.

Industri pertambangan sendiri berharap, pemerintah segera melakukan pembenahan yang serius di sektor pertambangan. Pembenahan yang dinilai mendesak untuk segera dilakukan yakni menyangkut masalah regulasi yang saat ini dianggap masih belum mampu memberikan kepastian secara hukum kepada para pelaku industri pertambangan.

Industri pertambangan merupakan sektor yang sangat potensial untuk mengurangi defisit neraca perdagangan karena sektor ini menjadi salah satu penyumbang terbesar bagi devisa negara dan memberikan kontribusi hingga 6% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Tak hanya itu, sumbangan sektor pertambangan terhadap penerimaan negara dari sektor pajak juga besar. Dari sektor Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), kontribusi sektor minerba terus menunjukkan tren meningkat. Dari data Kementerian ESDM, penerimaan PNBP dari sektor ini mencapai Rp29,6 triliun pada 2015. Kemudian pada 2016 menjadi Rp27,2 triliun, pada 2017 sebesar Rp40,6 triliun dan hingga November 2018 berhasil mencapai Rp41,02 triliun. Ini berarti PNBP sektor minerba pada 2018 telah melebihi target pemerintah.

Menurut Ketua Umum Indonesia Mining Association (IMA), Ido Hutabarat, sejak kebijakan pelarangan ekspor produk tambang dalam bentuk mentah (ore) diterbitkan, dalam beberapa tahun terakhir, ada kecenderungan perlambatan investasi di sektor pertambangan.

Padahal, kegiatan ekspor minerba berpotensi mendatangkan investasi asing ke Indonesia. Dengan kontribusinya yang cukup besar terhadap PDB, pemerintah seharusnya memberikan perhatian lebih kepada sektor minerba. Misalnya terkait dengan kemudahan dan insentif, juga masalah perizinan. Sebab sektor pertambangan, sektor memberikan multiplier effect yang juga besar kepada masyarakat.

Namun, kalangan industri mengakui bahwa pemerintah telah memberikan angin segar bagi industri minerba dengan berupaya meningkatkan kemudahan dalam hal perizinan pertambangan.

Melalui penerbitan Permen Nomor 11 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan dan Pelaporan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, diharapkan akan semakin memudahkan investor yang ingin melakukan investasi di sektor pertambangan.

Industri pertambangan berharap pemerintah konsisten melakukan reformasi kebijakan sektor pertambangan secara keseluruhan agar kebijakan kemudahan perizinan yang sudah diterbitkan tersebut berjalan optimal.

Sebab, industri pertambangan menilai, masih ada beberapa hal yang harus diselesaikan oleh pemerintah untuk menggairahkan kembali investasi di sektor pertambangan. Misalnya, masalah kepastian hukum hingga masalah peningkatan nilai tambah melalui industri smelter.

Pemerintah melalui Kementerian ESDM terus berupaya mendorong pengembangan fasilitas pemrosesan dalam negeri, dengan memberikan pungutan ekspor yang lebih rendah bagi perusahaan pertambangan yang bersedia berkomitmen untuk mengembangkan fasilitas pemrosesan atau pengolahan.

Meskipun hal ini disambut baik, namun masih diperlukan insentif lain yang lebih sesuai dengan kebutuhan investor. Misalnya, memberikan insentif pajak atau insentif lain untuk bisnis yang sangat padat modal ini. Sebab, industri pertambangan minerba memerlukan investasi awal yang cukup besar dan memiliki periode pengembalian yang panjang.

Pakar pertambangan Tino Ardhyanto A.R. menilai, konsistensi pemerintah juga diperlukan agar produk minerba tidak hanya sekadar sebagai komoditas perdagangan yang di ekspor. "Jangan sekadar menjadi komoditas perdagangan tetapi juga harus memberikan dampak terhadap pertumbuhan industri lainnya dalam bentuk produk hilir," tegas mantan Ketua Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) ini.

Indonesia, akan terus menjadi pemain yang diperhitungkan dalam industri pertambangan global, dengan produksi batubara, tembaga, emas, timah, bauksit, dan nikel yang signifikan. Indonesia juga akan terus menjadi salah satu eksportir batubara termal terbesar di dunia. Perusahaan pertambangan global secara konsisten menempatkan Indonesia di peringkat yang tinggi dalam hal prospek bisnis mineral dan batubara.

Namun, kalangan pelaku usaha khususnya calon investor masih menilai, kebijakan pertambangan minerba dan iklim investasi belum seperti yang diharapkan. Ke depan, regulasi-regulasi baru yang diterbitkan pemerintah diharapkan memberikan kepastian investor untuk memacu investasi baru dan memperkuat posisi Indonesia sebagai pemain kunci di sektor pertambangan dunia.

Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah memainkan peran penting dalam industri pertambangan. Dengan menetapkan kebijakan pertambangan nasional yang memiliki standar, pedoman dan kriteria yang baku, akan mendorong peningkatan daya saing investasi di sektor ini.

Faktor-faktor yang menjadi kendala bagi iklim investasi sektor minerba seperti ketidakpastian hukum, tumpang tindih regulasi antara pemerintah pusat dan daerah, antara Kementerian ESDM dan Kementerian Kehutanan harus segera diatasi.

Para stakeholder di sektor pertambangan berharap pemerintah Indonesia dapat memperbaiki tantangan-tantangan tersebut. Sehingga industri pertambangan mampu menjadi sumber devisa negara serta mampu menyerap tenaga kerja dari anak bangsa.

Dengan menerapkan prinsip-prinsip good mining practise secara konsisten, prospek industri pertambangan di Tanah Air ke depan akan sangat baik. Tentu saja sepanjang di dukung kebijakan dan regulasi pembangunan yang kondusif, adil dan transparan. Selain itu, penegakan hukum yang konsisten, serta suasana politik dan bisnis yang positif. Manfaat yang akan diraih tidak hanya dinikmati oleh perusahaan tambang tapi juga oleh masyarakat sekitar tambang.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8530 seconds (0.1#10.140)