Era Revolusi Industri 4.0, Sektor Pertanian Harus Efisien

Jum'at, 14 Desember 2018 - 13:55 WIB
Era Revolusi Industri...
Era Revolusi Industri 4.0, Sektor Pertanian Harus Efisien
A A A
JAKARTA - Para petani dan dunia pertanian harus mampu menghadapi perkembangan zaman di era disrupsi, yakni masa di mana terjadi perubahan yang sangat mendasar di berbagai sektor kehidupan. Perubahan tersebut berlangsung amat cepat dan tak ada satu orang pun mampu menghentikannya.

Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Moeldoko mengatakan, mereka yang tak bisa mengikuti perkembangan di era disrupsi akan tertinggal dan tergilas. Perubahan cepat tersebut telah mendorong dunia memasuki era revolusi industri keempat (industri 4.0) yang ditandai dengan penggunaan mesin-mesin otomasi yang terintegrasi dengan jaringan internet.

“Pada era ini, kegiatan pertanian berlangsung efisien dan efektif, sehingga mampu meningkatkan produktivitas secara signifikan dan berdaya saing,” kata Moeldoko dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (14/12/2018).

Ada lima teknologi utama yang menopang implementasi industri 4.0, yaitu Internet of Things, Artificial Intelligence, Human-Machine Interface, Robotic dan sensor, serta 3D Printing. Semua itu akan mengubah cara manusia berinteraksi hingga pada level yang paling mendasar, sekaligus dapat meningkatkan efisiensi dan daya saing industri, termasuk pertanian.

“Revolusi industri 4.0 menjadi titik balik fundamental bagi perubahan pada berbagai sektor pertanian, tidak terkecuali pada agro industri,” ujarnya.

Untuk itu, era digitalisasi pada revolusi industri 4.0, mau tidak mau membuat para pemangku kepentingan di sektor pertanian harus mampu mempersiapkan diri dan berdaptasi dengan perubahan tersebut untuk menjawab tantangan masa depan, serta mengubah ancaman menjadi peluang.

Namun masalahnya, seperti negara lain, Indonesia juga menghadapi era industri 4.0 yang arahnya belum benar-benar dipahami. "Harus diakui sebagian besar petani kita masih bertani secara tradisional dan masih memiliki lima persoalan krusial,” paparnya.

Persoalan itu yakni pertama, pemilikan lahan yang terbatas, rata-rata hanya 0,2 hektare. Kedua, kondisi tanah yang sudah rusak akibat penggunaan pupuk kimia dan pestisida yang berlebihan. Ketiga, aspek kurangnya permodalan dan rendahnya kualitas manajemen.

Keempat, lemahnya penguasaan teknologi. Dan, kelima adalah kesulitan dalam penanganan pascapanen. Menghadapi situasi ini, HKTI hadir dengan memerankan diri sebagai bridging institution dalam memecahkan persoalan petani tadi.

HKTI sendiri ditekankan berusaha menjembatani petani dengan pemerintah, dunia riset, dan para pebisnis atau pengusaha. “Jika keempat unsur tadi bisa dijembatani dengan baik, maka semua kepentingan bisa diakomodasi dengan baik pula,” akunya.

Dalam hal teknologi, HKTI mengembangkan bibit padi unggul varietas M400 dan M70D yang mampu menghasilkan panen lebih dari 9 ton per hektare, serta pupuk organik yang dapat memperbaiki kualitas hara tanah, sehingga menjadi subur kembali untuk ditanami. HKTI juga mengembangkan teknologi drone pertanian dan saat ini tengah menjajaki pembuatan mobil listrik pedesaan untuk membantu petani di daerah, dan lain-lain.
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1003 seconds (0.1#10.140)