Tak Kooperatif, DPR Ingatkan Renegoisasi KK Amandemen Vale Indonesia

Minggu, 30 Desember 2018 - 11:59 WIB
Tak Kooperatif, DPR...
Tak Kooperatif, DPR Ingatkan Renegoisasi KK Amandemen Vale Indonesia
A A A
JAKARTA - Anggota Komisi VII DPR, Ahmad M Ali, mengingatkan pemerintah untuk menimbang ulang status kontrak karya (KK) Amandemen Vale.

Selain hingga saat ini Vale tak kunjung menawarkan saham 20% kepada pihak Indonesia, ungkap Ahmad Ali, realisasi pembangunan smelter di Bahodopi dan Pomalaa juga tersendat. Padahal terkait pembangunan smelter di Bahodopi, Pemda Sulteng telah lama mengajukan diri, tapi tak digubris serius.

“Hal ini cukup untuk menjadi basis pijak untuk memaksa pihak Vale berunding kembali dan mempercepat agenda perubahan status KK menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP), yang termasuk di dalamnya divestasi saham 51% kepada pihak Indonesia,” katanya tegas, Minggu (30/12/2018).

Ali yang kini menjabat sebagai Ketua Fraksi NasDem menekankan, kegagagan agenda divestasi akan mempersulit desakan agenda strategis lainnya. Sejumlah agenda strategis yang akan terkendala disebutkannya seperti perbaikan penerimaan negara, atau komponen dalam negeri (TKDN), peningkatan kesejahteraan masyarakat dan penyelenggaraan tata kelola perusahaan yang lebih baik.

Pada 2014 lalu, ujar dia, energi bangsa tersita oleh perhelatan politik Pemilu dan Pilpres. Hal itu mengakibatkan isu Amandemen Kontrak Karya PT Vale luput dari perhatian publik di satu sisi, selain penyelenggaraannya yang cenderung tertutup. Dalam prosesnya sendiri, Vale menunjukkan sikap kurang kooperatif.

“Hampir dua tahun sejak diundangkan, pihak Vale tak kunjung maju ke meja perundingan. Pun, ketika Amandemen KK akhirnya disepakati, lagi-lagi menunjukkan kuatnya mental inlander mendera kita, khususnya pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab dalam urusan ini,” cetus Ali.

Sejumlah kritikan dilontarkan Ali menyikapi masih lemahnya upaya divestasi Vale. Lunaknya sikap atas kepentingan divestasi yang notabene paling penting dan strategis menjadi cerminan pejabat berwenang terhadap Vale. KK Amandemen disampaikannya hanya mewajibkan pelepasan saham 20% kepada publik.

“Lagi-lagi kita lupa pada sejarah. Sebelumnya, Vale telah melepaskan 20% sahamnya kepada publik. Tapi apa lacur, dalam praktiknya apa yang dinamakan ‘publik’ itu tetap didominasi oleh pihak swasta asing. Sebagaimana tercantum dalam laporan resmi Vale sendiri, sebagian besar saham publik itu dimiliki oleh swasta asing yang berkedudukan di luar negeri seperti Platinum Asia Fund, GIC Singapore, Citibank New York, NT SST Co, Vale Japan Limited, The Manufactures Life INS, BBH Boston, AIA, Prudential Life Assurance,” bebernya.

“Padahal dalam UU Minerba baru dan regulasi turunannya, khususnya PP Nomor 24 Tahun 2012, jelas termaktub bahwa divestasi saham wajib diberikan secara berjenjang kepada peserta Indonesia; Pemerintah, Pemda Provinsi dan Pemda Kab/Kota, BUMN, BUMD dan badan usaha swasta nasional. Hingga saat ini, Vale tak kunjung menawarkan saham kepada pihak Indonesia, sehingga peluang untuk terjadinya pemberian saham Vale kepada pihak asing berpeluang terulang kembali,” lanjutnya.

Sorotan kedua ucap Ali, Amandemen KK juga menyebutkan bahwa pembayaran royalti dinaikkan dari 0,9% menjadi 2%, dan menjadi 3% jika harga nikel menyentuh USD21.000 per ton. Klausul ini dinilainya berpotensi akal-akalan semata. Bahkan pada saat booming komoditas dimana harga komoditas mineral mencapai titik tertingginya pada 2011, harga Nikel dunia tak menyentuh level USD21.000.

“Angka ini terlalu tinggi dan tak mengacu pada konteks faktual harga komoditas nikel sepanjang sepuluh tahun terakhir, yang ditandai oleh berakhirnya era booming komoditas,” ujarnya.


Kedaulatan Kekayaan Alam Masih Mimpi

Bendahara Umum Partai NasDem ini memandang dengan lemahnya renegoisasi atas KK Vale mencerminkan Indonesia yang berdaulat atas kekayaan alamnya masih sebatas mimpi.

“Salah satu perwujudan yang terbilang penting adalah divestasi saham PT. Vale Indonesia (VI) menyusul keberhasilan divestasi PT. Freeport Indonesia yang menempatkan Indonesia sebagai pengendali utama. Sebuah mimpi yang sejatinya sederhana, karena nasionalisasi terhitung berat terealisasi. Masih sebatas mimpi? Senarai panjang faktanya berkata demikian,” kritik Ali.

Bukan tanpa sebab Ali berkomentar demikian, alasan pertama dipaparkannya yang paling telanjang secara politik-hukum adalah Kontrak Karya itu sendiri. Di bawah rezim dan relasi perikatan Kontrak Karya, perusahaan dan negara diposisikan setara. Ini relasi yang tidak wajar, karena negara yang merepresentasi rakyat Indonesia adalah pemilik sah Tanah Air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Sudah sepatutnya pemerintah berposisi lebih tinggi dari korporasi sebagai pengelola.

“Fenomena ini berimplikasi luas: berkali-kali pihak korporasi diberi perpanjangan KK dengan klausul yang lebih condong menguntungkan pihak korporasi tambang, membuat kesan publik bahwa negara lemah dihadapan korporasi pertambangan mendapat justifikasi. Vale adalah salah satunya,” Ali mengkritik.

“Kesan lemahnya negara saat berhadapan dengan Vale tak terhindarkan, salah satunya tercermin dari renegosiasi Kontrak Karya generasi kedua –saat itu masih bernama Inco– yang justru menurunkan besaran pajak penghasilan dari 45% pada KK sebelumnya menjadi 30%,” timpalnya.

Pun demikian dari sisi ekonomi-fiskal, berupa manipulasi yang dapat berdampak pada hilangnya potensi penerimaan negara, baik berupa pajak maupun royalti. Sepanjang 2018 kontribusi sektor minerba bagi penerimaan negara memang telah melampaui target, dari Rp32,1 triliun yang dipatok dalam APBN dan telah terealisasi sebesar Rp39 triliun. Hal ini dipicu oleh membaiknya harga komoditas, khususnya harga komoditas mineral.

“Tetapi fakta general ini tak mampu menyembunyikan fakta spesifik dalam praktek pertambangan yang tak secerah perkiraan. Apakah kontribusi maskapai pertambangan asing seperti Vale telah wajar dan pantas buat negara? Jawaban dari pertanyaan ini dapat beragam,” Ali berseloroh.

Lebih jauh Ali meminta pemerintah mempertimbangkan fakta yang menggambarkan sejak 2013-2017, total penjualan, atau dalam istilah yang digunakan Vale pengiriman, selalu lebih besar ketimbang total produksi Vale sendiri. Jika dirata-ratakan mencapai 1.222 ton, dan yang terbesar pada tahun 2015 yang mencapai 1.730 ton, bersamaan dengan momentum produksi Vale mencapai tingkat tertingginya sebesar 81.177 ton.

Vale menurutnya kerap berdalih bahwa total penjualan tersebut untuk mengimbangi penurunan harga, tetapi kenyataan serupa telah menjadi kecenderungan lama; telah tertera pada 2011 pada saat harga komoditas mineral global mencapai titik tertingginya.

“Belum lagi ditambah fakta lain berupa semua produksi nikel Vale dijual kepada entitas induk, Vale Canada sebanyak 80% dan 20% sisanya kepada Sumitomo, masing-masing dengan kepemilikan saham dominan sebesar 58,73% dan 20,1%. Praktik yang menyerupai insider trading ini, selain dapat berdampak pada ketidakseimbangan informasi kepada pelaku pasar, juga berpotensi pada manipulasi dan ketidakuratan informasi yang berpotensi hilangnya penerimaan negara,” bebernya.

Di sisi lain, Ali berpesan bahwa fakta ini membuat isu tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) lebih condong sekadar lips service bahkan omong kosong semata. Demikian pula secara sosial-budaya yang juga tak kalah penting menurut Ali adalah enclosure, konflik dan pengabaian hak-hak masyarakat sekitar area konsesi.

“Fenomena ini telah banyak mendapat ulasan dan dipublikasikan secara luas. Vale sendiri telah menetapkan agenda untuk menjadi korporasi berbiaya rendah, yang dapat dibaca sebagai pengurangan biaya secara signifikan, termasuk didalamnya biaya sosial yang ditujukan kepada masyarakat sekitar wilayah konsesi,” tukas Ali.

“Pemerintah Daerah penghasil sendiri nyaris tak memiliki kapabilitas untuk melakukan advokasi hak-hak masyarakat, karena tak memiliki alas hukum yang memadai. Jika biaya sosial dan lingkungan dari operasionalisasi Vale ikut diperhitungkan, maka kalkulasi antara manfaat dan mudharat bisa cenderung negatif,” tuturnya, seraya menambahkan, kelabu praktik ekstraksi nikel Vale ini berakar pada Kontrak Karya, yang berimplikasi pada lemahnya posisi negara karena bukan entitas pengendali utama.

Seperti diberitakan media massa, sebelumnya PT Vale Indonesia Tbk. (INCO) menyatakan siap mendivestasi 20% sahamnya pada Oktober 2019 sesuai dengan amandemen Kontrak Karya.

"Yang paling penting bagi kami ialah mengikuti peraturan. Jadi perusahaan akan mengikuti tahap-tahap divestasi sesuai peraturan," kata Presiden Direktur Vale Indonesia, Nico Kanter Selasa (28/8).

Nico mengungkapkan, berdasarkan amandemen KK yang ditandatangani INCO dan pemerintah pada 2014, kepemilikan saham publik sebesar 20% telah diakui sebagai pemenuhan kewajiban divestasi. Perseroan selanjutnya mendapat kewajiban tambahan divestasi 20% sehingga ditargetkan total divestasi saham perseroan mencapai 40% pada Oktober 2019.

Komposisi pemegang saham Vale Indonesia saat ini ialah Vale Canada Limited 58,73%, Sumitomo Metal Mining 20,09%, publik 20,49%, Vale Japan 0,55%, dan Sumitomo Coporation 0,14%.
(poe)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1164 seconds (0.1#10.140)