Industri Gula Butuh Perbaikan Demi Jamin Ketersediaan
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah diminta memperbaiki sektor pergulaan Indonesia yakni dengan menyusun neraca gula yang akurat untuk memastikan ketersediaan serta kebutuhan yang ada. Institute for Development of Economics and Finance (Indef) memandang, neraca gula ini tidak bersifat jangka panjang yang harus ada setiap tahunnya.
"Maka dari itu keberadaan neraca ini diharapkan bisa menjadi instrumen untuk mengelola pasokan dalam rangka meredam gejolak/fluktuasi harga gula," kata Peneliti Indef Ahmad Heri Firdaus di Jakarta.
Pemerintah juga didorong melakukan inovasi atau efisiensi pabrik gula pemerintah agar produksi gula non rafinasi (gula rakyat) bisa lebih kompetitif dan efisien. Menurut dia, kebijakan ini bisa mereduksi disparitas harga antara gula rakyat dengan gula rafinasi (impor) bisa ditekan. Selain itu, penataan ulang pabrik gula milik Negara (BUMN) perlu dilakukan dengan upaya peningkatan kapasitas produksi. "Kondisi pabrik gula BUMN saat ini cukup memprihatinkan karena di bawah skala ekonomi," ungkap dia.
Ahmad melanjutkan, dari 45 pabrik gula BUMN, hanya 25% nan yang memiliki kapasitas produksi di atas 4.000 ton per hari. Sementara 78% pabrik gula di Jawa berusia di atas 100 tahun, sehingga sangat tidak kompetitif. Maka dari itu, ntuk meningkatkan produksi gula nasional maka diperlukan peningkatan luas areal perkebunan dan meningkatkan produktivitas usaha tani.
Hal ini dapat dilakukan oleh para petani melalui peningkatan rendemen tebu, serta efisiensi ditingkat pabrik pengolahan dengan peningkatan teknologi mesin giling. Lebih lanjut dia mengungkapkan, distorsi harga yang lebar antara rendahnya harga gula internasional dengan mahalnya harga gula di domestik membuat Indonesia menjadi importir gula selama bertahun-tahun sehingga mendorong suburnya perburuan rente gula.
Bahkan dalam tahap yang lebih jauh, distorsi harga tersebut turut andil dalam menjegal gagalnya Indonesia membangun sektor pergulaan, padahal dulu sebelum merdeka tahun 1930-an Indonesia adalah negara pengekspor gula terbesar di dunia.
Ekonom Senior Indef Faisal Basri menuturkan, Indonesia merupakan pengimpor gula terbesar di dunia. Menurut data BPS, pada Januari-November 2018? Impor Gula tersebut mencapai 4,6 juta ton atau senilai USD1,66 miliar. Meningkat dibanding Januari-November 2017 sebesar 4,48 juta ton.
Adapun data USDA dalam Statista tahun 2018, impor gula Indonesia terbesar di dunia, mencapai 4.45 juta metrik ton pada 2017/2018. Dia melanjutkan, pada 2018 Kementerian Perindustrian mentargetkan kebutuhan industri terhadap gula rafinasi sebesar 2,8 juta ton.
Sementara Kementerian Perdagangan (Kemendag) memberikan kuota impor sebanyak 3,6 juta ton. "Kuota ini dibagi dalam dua semester, semester 1 dan 2 sebesar 1,87 juta ton. Namun, realisasi yang terjadi pada semester I-2018 hanya sebesar 1,56 juta ton," beber dia.
Menurut Faisal, ini menggambarkan bahwa industri tidak membutuhkan gula rafinasi sebanyak yang direncanakan di awal tahun. Hal ini mendorong Kemendag untuk merevisi kuota dari 3,6 juta ton menjadi 3,15 juta ton.
Pada semester II-2018, kuota impor justru melejit hingga realisasi 2018 pada akhir tahun tercatat 3,37 juta ton. Meskipun masih memenuhi kuota impor di awal sebesar 3,6 juta ton akan tetapi meleset dari target kuota tengah tahun 3,15 juta ton.
Faisal mengungkapkan, realisasi impor ini masih di luar impor gula untuk konsumsi sebesar 1,01 juta ton di 2018. "Ini membuktikan bahwa gula yang diimpor tidak hanya untuk kebutuhan industri, namun juga untuk kebutuhan konsumsi," katanya.
Rata-rata harga gula mentah dunia di 2018 sebesar USD0.28 (Rp4.000) lebih murah jika dibandingkan dengan harga domestik. HPP gula mentah Rp9.700 (September 2018). Dengan perbedaan harga gula tinggi, maka upaya stabilisasi harga tentu akan mahal jika menggunakan gula petani.
"Upaya ‘potong kompas’ kebijakan stabilisasi ini membuat gula petani susah terserap. Dengan demikian jika masyarakat sebagai konsumen harus membayar lebih mahal, sementara petani gula juga tidak menikmati ‘manisnya’ harga, lalu siapa penikmat rente gula ini?," jelasnya.
"Maka dari itu keberadaan neraca ini diharapkan bisa menjadi instrumen untuk mengelola pasokan dalam rangka meredam gejolak/fluktuasi harga gula," kata Peneliti Indef Ahmad Heri Firdaus di Jakarta.
Pemerintah juga didorong melakukan inovasi atau efisiensi pabrik gula pemerintah agar produksi gula non rafinasi (gula rakyat) bisa lebih kompetitif dan efisien. Menurut dia, kebijakan ini bisa mereduksi disparitas harga antara gula rakyat dengan gula rafinasi (impor) bisa ditekan. Selain itu, penataan ulang pabrik gula milik Negara (BUMN) perlu dilakukan dengan upaya peningkatan kapasitas produksi. "Kondisi pabrik gula BUMN saat ini cukup memprihatinkan karena di bawah skala ekonomi," ungkap dia.
Ahmad melanjutkan, dari 45 pabrik gula BUMN, hanya 25% nan yang memiliki kapasitas produksi di atas 4.000 ton per hari. Sementara 78% pabrik gula di Jawa berusia di atas 100 tahun, sehingga sangat tidak kompetitif. Maka dari itu, ntuk meningkatkan produksi gula nasional maka diperlukan peningkatan luas areal perkebunan dan meningkatkan produktivitas usaha tani.
Hal ini dapat dilakukan oleh para petani melalui peningkatan rendemen tebu, serta efisiensi ditingkat pabrik pengolahan dengan peningkatan teknologi mesin giling. Lebih lanjut dia mengungkapkan, distorsi harga yang lebar antara rendahnya harga gula internasional dengan mahalnya harga gula di domestik membuat Indonesia menjadi importir gula selama bertahun-tahun sehingga mendorong suburnya perburuan rente gula.
Bahkan dalam tahap yang lebih jauh, distorsi harga tersebut turut andil dalam menjegal gagalnya Indonesia membangun sektor pergulaan, padahal dulu sebelum merdeka tahun 1930-an Indonesia adalah negara pengekspor gula terbesar di dunia.
Ekonom Senior Indef Faisal Basri menuturkan, Indonesia merupakan pengimpor gula terbesar di dunia. Menurut data BPS, pada Januari-November 2018? Impor Gula tersebut mencapai 4,6 juta ton atau senilai USD1,66 miliar. Meningkat dibanding Januari-November 2017 sebesar 4,48 juta ton.
Adapun data USDA dalam Statista tahun 2018, impor gula Indonesia terbesar di dunia, mencapai 4.45 juta metrik ton pada 2017/2018. Dia melanjutkan, pada 2018 Kementerian Perindustrian mentargetkan kebutuhan industri terhadap gula rafinasi sebesar 2,8 juta ton.
Sementara Kementerian Perdagangan (Kemendag) memberikan kuota impor sebanyak 3,6 juta ton. "Kuota ini dibagi dalam dua semester, semester 1 dan 2 sebesar 1,87 juta ton. Namun, realisasi yang terjadi pada semester I-2018 hanya sebesar 1,56 juta ton," beber dia.
Menurut Faisal, ini menggambarkan bahwa industri tidak membutuhkan gula rafinasi sebanyak yang direncanakan di awal tahun. Hal ini mendorong Kemendag untuk merevisi kuota dari 3,6 juta ton menjadi 3,15 juta ton.
Pada semester II-2018, kuota impor justru melejit hingga realisasi 2018 pada akhir tahun tercatat 3,37 juta ton. Meskipun masih memenuhi kuota impor di awal sebesar 3,6 juta ton akan tetapi meleset dari target kuota tengah tahun 3,15 juta ton.
Faisal mengungkapkan, realisasi impor ini masih di luar impor gula untuk konsumsi sebesar 1,01 juta ton di 2018. "Ini membuktikan bahwa gula yang diimpor tidak hanya untuk kebutuhan industri, namun juga untuk kebutuhan konsumsi," katanya.
Rata-rata harga gula mentah dunia di 2018 sebesar USD0.28 (Rp4.000) lebih murah jika dibandingkan dengan harga domestik. HPP gula mentah Rp9.700 (September 2018). Dengan perbedaan harga gula tinggi, maka upaya stabilisasi harga tentu akan mahal jika menggunakan gula petani.
"Upaya ‘potong kompas’ kebijakan stabilisasi ini membuat gula petani susah terserap. Dengan demikian jika masyarakat sebagai konsumen harus membayar lebih mahal, sementara petani gula juga tidak menikmati ‘manisnya’ harga, lalu siapa penikmat rente gula ini?," jelasnya.
(akr)