Asing Kuasai Unicorn RI, Kepala Bekraf Sebut Pendanaan Lokal Minim
A
A
A
JAKARTA - Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Triawan Munaf menyebut investor lokal tidak mampu mendanai usaha rintisan (startup) yang memiliki valuasi di atas USD1 miliar atau unicorn. Akibatnya, banyak investor asing yang justru masuk ke unicorn Indonesia.
Triawan mengatakan, pilihan pendanaan asing tersebut mau tidak mau harus dilakukan. Sebab, kata dia, jika tidak maka nasib startup Indonesia bisa layu sebelum berkembang. Di sisi lain, Triawan menilai masuknya investor dari luar tak lantas membuat unicorn Indonesia dikuasai asing.
"Tidak (dikuasai asing). Jadi, cara berinvestasi di startup lokal seperti unicorn ini ada berbagai cara," ujarnya kepada SINDOnews di Jakarta, Senin (28/1/2019).
Triawan mencontohkan, Jack Ma selaku pendiri Alibaba juga mengambil langkah serupa. Hingga kini, Jack Ma hanya memiliki tidak lebih dari 5% saham di Alibaba. "Lebih terkait kontrolnya, bahwa (saham) Jack Ma hanya 5% dan investor Alibaba paling besar dari Jepang, tapi yang kontrol tetap Jack Ma," jelasnya.
Menurut Triawan, unicorn di Indonesia berpotensi besar seperti Alibaba. Namun, memang perlu pendanaan yang besar untuk melakukan ekspansi. "Sama seperti unicorn, lokal juga yang kontrol. Ini karena kita tidak punya dana sebesar itu, tapi tetap dikendalikan orang Indonesia, jadi tidak usah hawatir," pungkasnya.
Besarnya penguasaan asing atas unicorn lokal sejak lama menjadi keprihatinan berbagai kalangan. Mantan Menko Bidang Perekonomian Chairul Tanjung misalnya, pernah mengingatkan bahwa perusahaan-perusahaan startup yang saat ini berkembang didominasi kepemilikannya oleh pihak asing.
"Jangan berpikir Gojek itu milik anak bangsa, jangan berpikir Tokopedia itu milik anak bangsa, jangan berpikir semua yang ada saat ini milik anak bangsa," ujarnya dalam Seminar Nasional dan Kongres ISEI XX 2018 lalu.
Dia berargumen, anak bangsa yang memiliki berbagai startup tersebut hanya memiliki saham yang kecil. Sebaliknya, kepemilikan saham terbesarnya adalah pihak asing.
"Kenapa? Karena model bisnisnya membuat hal seperti itu. Investornya masuk USD1 billion, mengambil alih langsung 97%, yang founder disisain 3%. Besok dia masuk lagi, turun lagi, lama-lama selesai," cetusnya.
Dia mengingatkan bahwa hak ini akan jadi masalah dalam jangka panjang, karena begitu dikuasai asing, dan 5-10 tahun lagi saat perusahaan membesar, maka yang menikmati devidennya adalah investor asing.
Triawan mengatakan, pilihan pendanaan asing tersebut mau tidak mau harus dilakukan. Sebab, kata dia, jika tidak maka nasib startup Indonesia bisa layu sebelum berkembang. Di sisi lain, Triawan menilai masuknya investor dari luar tak lantas membuat unicorn Indonesia dikuasai asing.
"Tidak (dikuasai asing). Jadi, cara berinvestasi di startup lokal seperti unicorn ini ada berbagai cara," ujarnya kepada SINDOnews di Jakarta, Senin (28/1/2019).
Triawan mencontohkan, Jack Ma selaku pendiri Alibaba juga mengambil langkah serupa. Hingga kini, Jack Ma hanya memiliki tidak lebih dari 5% saham di Alibaba. "Lebih terkait kontrolnya, bahwa (saham) Jack Ma hanya 5% dan investor Alibaba paling besar dari Jepang, tapi yang kontrol tetap Jack Ma," jelasnya.
Menurut Triawan, unicorn di Indonesia berpotensi besar seperti Alibaba. Namun, memang perlu pendanaan yang besar untuk melakukan ekspansi. "Sama seperti unicorn, lokal juga yang kontrol. Ini karena kita tidak punya dana sebesar itu, tapi tetap dikendalikan orang Indonesia, jadi tidak usah hawatir," pungkasnya.
Besarnya penguasaan asing atas unicorn lokal sejak lama menjadi keprihatinan berbagai kalangan. Mantan Menko Bidang Perekonomian Chairul Tanjung misalnya, pernah mengingatkan bahwa perusahaan-perusahaan startup yang saat ini berkembang didominasi kepemilikannya oleh pihak asing.
"Jangan berpikir Gojek itu milik anak bangsa, jangan berpikir Tokopedia itu milik anak bangsa, jangan berpikir semua yang ada saat ini milik anak bangsa," ujarnya dalam Seminar Nasional dan Kongres ISEI XX 2018 lalu.
Dia berargumen, anak bangsa yang memiliki berbagai startup tersebut hanya memiliki saham yang kecil. Sebaliknya, kepemilikan saham terbesarnya adalah pihak asing.
"Kenapa? Karena model bisnisnya membuat hal seperti itu. Investornya masuk USD1 billion, mengambil alih langsung 97%, yang founder disisain 3%. Besok dia masuk lagi, turun lagi, lama-lama selesai," cetusnya.
Dia mengingatkan bahwa hak ini akan jadi masalah dalam jangka panjang, karena begitu dikuasai asing, dan 5-10 tahun lagi saat perusahaan membesar, maka yang menikmati devidennya adalah investor asing.
(fjo)