China di Bawah Tekanan Demi Capai Kesepakatan Dagang

Senin, 28 Januari 2019 - 14:09 WIB
China di Bawah Tekanan...
China di Bawah Tekanan Demi Capai Kesepakatan Dagang
A A A
BEIJING - China dan Amerika Serikat (AS) bakal menggelar pembicaraan tingkat tinggi pekan ini di Washington, sejak kedua belak pihak sepakat melakukan gencatan perang dagang secara sementara. Kedua ekonomi terbesar di dunia tersebut punya batas waktu hingga 1 Maret untuk mencapai kompromi atau perang tarif bakal kembali bergulir yang dapat mempengaruhi kondisi global.

Seperti dilansir BBC, para pengamat China mengatakan bahwa Beijing sedang berada di bawah tekanan untuk membuat kesepakatan dengan AS. Alasannya yakni Perang Dagang mungkin bukan penyebab utama perlambatan ekonomi China, namun hal itu bisa saja memperburuk keadaan. Data pertumbuhan yang dirilis pekan lalu menunjukkan China mencatatkan tingkat pertumbuhan paling lambat sejak 1990.

Selanjutnya sentimen dari data konsumen serta penjualan ritel yang datar atau melemah dengan cepat juga punya andil. Perusahaan-perusahaan kecil dan menengah di China merasakan penurunan pesanan serta inventaris yang lebih rendah. Kondisi tersebut kemudian diperkirakan menjadi tekanan yang harus dihadapi Partai Komunis, dimana Presiden Xi Jinping, legitimasinya didasarkan pada bagian menjaga China tetap kuat.

Ditambah kekuatan pabrik China mulai kendur. Ada bukti yang menunjukkan bahwa perusahaan asing melakukan diversifikasi sumber, produksi, dan rantai pasokan mereka jauh dari China, meskipun tidak menarik diri sepenuhnya dari Negeri Tirai Bambu -julukan China-. Survei yang belum lama ini dilakukan oleh QIMA, auditor rantai pasokan Asia terkemuka, menunjukkan bahwa 30% dari lebih dari 100 bisnis global mengalihkan sumbernya dari China ke negara lain.

Sebanyak tiga perempat dari perusahaan tersebut telah mulai mencari pemasok di negara-negara baru. Jika tren ini berlanjut, maka pekerjaan di pabrik-pabrik China berada dalam risiko dimana sebuah laporan belum lama ini melihat ekonomi China oleh JP Morgan menunjuk adanya peningkatan pengangguran sebagai risiko jangka pendek utama.

Stabilitas sosial didasarkan pada stabilitas ekonomi Beijing, dan Partai Komunis sangat menyadari bahwa kredibilitasnya terletak pada penyampaian impian China kepada rakyatnya. Faktor lainnya nasib Huawei juga tergantung pada keseimbangan, baik dari sudut pandang bisnis maupun diplomatik. China besar dalam hal simbolisme dan "tidak percaya pada kebetulan" seperi disampaikan Einar Tangen, seorang penasihat urusan ekonomi untuk pemerintah Cina.

Tangen menilai penangkapan Meng Wanzhou, putri pendiri Huawei, yang terjadi saat Presiden Xi dan Presiden AS Donald Trump bertemu di KTT G20 dan menyatakan gencatan senjata sementara antara kedua pihak, menetapkan batas waktu 90 hari untuk pembicaraan. Sementara itu AS dikabarkan sedang mempersiapkan investigasi ke Huawei yang dapat membuatnya dilarang membeli chip Amerika, sebuah langkah yang melumpuhkan ZTE China tahun lalu.

Tangen memperingatkan bahwa tekanan kepada Beijing akan menjadi bumerang. "Orang Cina melihat ini, bahwa AS berusaha menekan China. Ini bukan tentang benar atau salah. Mereka memandang ini dalam konteks penghinaan 100 tahun yang mereka derita di tangan Barat dan mereka tidak ingin itu terulang lagi," paparnya.

Di sisi lain perusahaan-perusahaan Amerika juga menginginkan kesepakatan untuk membuat AS juga di bawah tekanan untuk membuat kesepakatan. Perusahaan-perusahaan Amerika di Cina telah mengeluhkan dampak kebijakan tarif tinggi yang diusung oleh Trump terhadap bisnis mereka. Tetapi para pelaku bisnis tetap ingin AS membuat kesepakatan yang baik.

"Pemerintahan ini telah bersedia mengambil risiko kesehatan ekonomi AS dengan tarif. Jadi sekarang kita sudah sejauh ini, bisnis ingin mengambil keuntungan dari momen ini dan menjauh dari hanya negosiasi dengan sesuatu yang signifikan. Mereka ingin melihat tawaran China untuk membeli lebih banyak barang Amerika, bersama dengan janji perubahan sistemik," kata Stephen Kho, mitra dagang internasional di firma hukum Akin Gump di Washington DC.
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1093 seconds (0.1#10.140)