Pajak E-commerce Harus Berlaku untuk Semua Platform
A
A
A
JAKARTA - Kalangan pelaku marketplace menyikapi datar kebijakan pemerintah terkait pajak e-commerce tersebut. Ketua Asosiasi E-Commerce (iDEA) Ignatius Untung mengharapkan Peraturan Menteri Keuangan No. 210 tidak membuat sulit para pelaku bisnis online. Terutama bagi pedagang yang masih baru memulai usaha.
Salah satu pokok dalam peraturan tersebut ialah setiap orang yang berdagang atau menyediakan jasa lewat platform e-commerce diminta untuk memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Bukan hanya itu mereka juga harus membayar PPh final sesuai ketentuan yang berlaku yakni sebesar 0,5 persen dari omzet jika omzetnya tidak mencapai Rp 4,8 miliar per tahun.
"Nanti mereka akan lebih memilih di media sosial saja. Kalau di marketplace cukup repot, padahal seharusnya media sosial juga ikut peraturan ini," jelasnya.
Banyak pihak yang menyatakan turunnya peraturan ini karena desakan dari para pengusaha retail. Daniel Tumiwa, mantan CEO OLX yang kini juga menjadi pembina iDEA ini meminta para pengusaha retail untuk mengetahui bagian dari e-commerce. "Ritel yang masuk ranah online juga disebut E-Commerce, media sosial yang dijadikan tempat berdagang masyarat itu juga e-commerce. Bukan cuma marketplace sehingga jika ingin membuat aturan E-Commerce harus untuk semua platform," jelas Daniel.
Dengan nada kecewa, Daniel mengatakan, ingin menganjurkan pemerintah membiarkan orang orang menggunakan channel apapun untuk berjualan online. Karena bisnis di online datang dan pergi dengan cepat. Pajak bisa nanti ketika masing- masing penjual sudah mencukupi. Sebab ada banyak instrumen lain yang meminta mereka bayar pajak.
"Cara pandang orang ritel berjualan dan membayar pajak masih menggunakan rezim saat tidak ada internet. Dengan adanya internet atau menjadikan e commerce, cara berjualan dan pajak menjadi berbeda," tegasnya.
Misalnya ada seorang ibu yang ingin mulai jualan rengginang habya ingin mencoba saja. Lantas mengapa harus dari awal membuat NPWP, kemungkinan malah tidak jadi berjualan.
Lain dengan Hendrik Tio pendiri Bhineka e-commerce pertama di Indonesia yang kini dikenal sebagai pemain bussiness to
bussiness (b2b). Sejak 2017 setiap transaksi sudah dilaporkan ke bagian pajak, atas kepatuhan pajak ini membuat Bhineka mendapat penghargaan dari Ditjen Pajak.
"Pasar e-commerce masih luas dan akan terus bertumbuh, mengingat saat ini baru 5% yang bertransaksi di platform," ujar Hendrik.
Sejumlah brand ritel yang masuk marketplace mengaku tidak mengalami banyak perubahan dengan hadirnya peraturan baru tersebut. Seperti Cotton Ink lini fashion yang kini hadir di Tokopedia dan Shopee. Birgitta Nugraheni Accounting and Finance Manager Cotton Ink mengatakan, merema sudah comply dengan peraturan pajak yang berlaku sehingga tidak berpengaruh ke peraturan pajak yg berlaku untuk e-commerce. (Ananda Nararya)
Salah satu pokok dalam peraturan tersebut ialah setiap orang yang berdagang atau menyediakan jasa lewat platform e-commerce diminta untuk memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Bukan hanya itu mereka juga harus membayar PPh final sesuai ketentuan yang berlaku yakni sebesar 0,5 persen dari omzet jika omzetnya tidak mencapai Rp 4,8 miliar per tahun.
"Nanti mereka akan lebih memilih di media sosial saja. Kalau di marketplace cukup repot, padahal seharusnya media sosial juga ikut peraturan ini," jelasnya.
Banyak pihak yang menyatakan turunnya peraturan ini karena desakan dari para pengusaha retail. Daniel Tumiwa, mantan CEO OLX yang kini juga menjadi pembina iDEA ini meminta para pengusaha retail untuk mengetahui bagian dari e-commerce. "Ritel yang masuk ranah online juga disebut E-Commerce, media sosial yang dijadikan tempat berdagang masyarat itu juga e-commerce. Bukan cuma marketplace sehingga jika ingin membuat aturan E-Commerce harus untuk semua platform," jelas Daniel.
Dengan nada kecewa, Daniel mengatakan, ingin menganjurkan pemerintah membiarkan orang orang menggunakan channel apapun untuk berjualan online. Karena bisnis di online datang dan pergi dengan cepat. Pajak bisa nanti ketika masing- masing penjual sudah mencukupi. Sebab ada banyak instrumen lain yang meminta mereka bayar pajak.
"Cara pandang orang ritel berjualan dan membayar pajak masih menggunakan rezim saat tidak ada internet. Dengan adanya internet atau menjadikan e commerce, cara berjualan dan pajak menjadi berbeda," tegasnya.
Misalnya ada seorang ibu yang ingin mulai jualan rengginang habya ingin mencoba saja. Lantas mengapa harus dari awal membuat NPWP, kemungkinan malah tidak jadi berjualan.
Lain dengan Hendrik Tio pendiri Bhineka e-commerce pertama di Indonesia yang kini dikenal sebagai pemain bussiness to
bussiness (b2b). Sejak 2017 setiap transaksi sudah dilaporkan ke bagian pajak, atas kepatuhan pajak ini membuat Bhineka mendapat penghargaan dari Ditjen Pajak.
"Pasar e-commerce masih luas dan akan terus bertumbuh, mengingat saat ini baru 5% yang bertransaksi di platform," ujar Hendrik.
Sejumlah brand ritel yang masuk marketplace mengaku tidak mengalami banyak perubahan dengan hadirnya peraturan baru tersebut. Seperti Cotton Ink lini fashion yang kini hadir di Tokopedia dan Shopee. Birgitta Nugraheni Accounting and Finance Manager Cotton Ink mengatakan, merema sudah comply dengan peraturan pajak yang berlaku sehingga tidak berpengaruh ke peraturan pajak yg berlaku untuk e-commerce. (Ananda Nararya)
(nfl)