Aturan Ojek Online Tak Tepat Bisa Hambat Industri Digital
A
A
A
JAKARTA - Pengamat menilai aturan mengenai ojek online yang tidak tepat bisa menghambat pertumbuhan industri digital, terutama sektor ride hailing (berbagi tumpangan). Penilaian ini terkait rencana penetapan tarif batas bawah dan atas sebesar Rp3.100-3.500/km yang dianggap terlalu mahal bagi konsumen.
Pemerintah diminta memperhatikan kelangsungan industri digital sebagai tulang punggung operasional ojek online. "Kalau (tarif) kemahalan, konsumen berpotensi berkurang, maka pengemudi akan ikut terdampak. Akhirnya berdampak juga terhadap kelangsungan industrinya," kata pengamat industri digital dari Indonesia ICT Institute Heru Sutadi, di Jakarta, Senin (11/2/2019).
Terlebih, sambung dia, konsumen layanan ojek online bukan cuma individu, melainkan juga UMKM dan e-commerce yang memanfaatkan jasa logistik lewat penyedia transportasi berbasis aplikasi tersebut. Ia mencontohkan kasus kenaikan tarif dan bagasi berbayar pada pesawat terbang yang berdampak pada penurunan jumlah penumpang. Imbasnya pun telah sampai ke bisnis logistik dan e-commerce.
"Sebab itu, pemerintah perlu cermat menghitung kenaikan tarif ojek online. Tak cuma tarif per kilometer yang patut dipertimbangkan, kemampuan konsumen juga harus dihitung," ujar Heru.
Heru mengatakan keberadaan layanan aplikasi ojek online di era disrupsi memang membantu mobilitas konsumen. Selain tarif per kilometer yang jelas, ojek online mudah dipesan menggunakan aplikasi yang tersedia. Dengan begitu, konsumen bisa mendapat layanan ojek online kapan saja dan di mana saja.
Namun, kata Heru melanjutkan, saat ini konsumen sebenarnya sudah tak lagi mendapat layanan ojek online dengan harga murah seperti dahulu. Harga yang seolah-olah murah hanya berlaku saat promosi berlangsung. Ketika tanpa promosi, alias tarif dalam kondisi normal, besarannya sudah cukup sesuai baik bagi konsumen maupun mitra pengemudi.
"Kalau (tarif) mau dinaikkan terlalu mahal, kemudian konsumen keberatan, bukan tak mungkin mereka akan beralih ke moda transportasi lain. Order ojek online pun turun drastis," kata dia.
Ia menyarankan pemerintah sebaiknya mengajak semua pihak, termasuk aplikator dan konsumen, untuk ikut memberi masukan terhadap Rancangan Peraturan Menteri (RPM) Perhubungan yang mengatur tentang tarif ojek online sebelum akhirnya diterapkan. Bukan cuma mendengar keinginan mitra pengemudi semata. Suara konsumen yang keberatan dengan kenaikan tarif pun perlu diakomodir agar tak menghambat perkembangan industri digital.
"Iklim usaha kondusif hanya bisa terjadi bila ada kerja sama yang saling menguntungkan. Ini perlu didiskusikan dengan semua pihak, ya pengemudi, aplikator, juga konsumen, sehingga mendapat hasil yang tepat buat semua," tandasnya.
Diketahui, selama ini, aplikator Grab menerapkan tarif batas bawah ojek online sebesar Rp1.200/km, adapun Go-Jek memberikan Rp1.600 untuk mitra pengemudi. Jika dibandingkan dengan tarif batas bawah baru Rp3.100/km yang diformulasikan oleh Kementerian Perhubungan bersama Tim 10, artinya terjadi kenaikan dua kali lipat. Pemerintah menargetkan RPM ojek online tersebut rampung pada Maret 2019.
Pemerintah diminta memperhatikan kelangsungan industri digital sebagai tulang punggung operasional ojek online. "Kalau (tarif) kemahalan, konsumen berpotensi berkurang, maka pengemudi akan ikut terdampak. Akhirnya berdampak juga terhadap kelangsungan industrinya," kata pengamat industri digital dari Indonesia ICT Institute Heru Sutadi, di Jakarta, Senin (11/2/2019).
Terlebih, sambung dia, konsumen layanan ojek online bukan cuma individu, melainkan juga UMKM dan e-commerce yang memanfaatkan jasa logistik lewat penyedia transportasi berbasis aplikasi tersebut. Ia mencontohkan kasus kenaikan tarif dan bagasi berbayar pada pesawat terbang yang berdampak pada penurunan jumlah penumpang. Imbasnya pun telah sampai ke bisnis logistik dan e-commerce.
"Sebab itu, pemerintah perlu cermat menghitung kenaikan tarif ojek online. Tak cuma tarif per kilometer yang patut dipertimbangkan, kemampuan konsumen juga harus dihitung," ujar Heru.
Heru mengatakan keberadaan layanan aplikasi ojek online di era disrupsi memang membantu mobilitas konsumen. Selain tarif per kilometer yang jelas, ojek online mudah dipesan menggunakan aplikasi yang tersedia. Dengan begitu, konsumen bisa mendapat layanan ojek online kapan saja dan di mana saja.
Namun, kata Heru melanjutkan, saat ini konsumen sebenarnya sudah tak lagi mendapat layanan ojek online dengan harga murah seperti dahulu. Harga yang seolah-olah murah hanya berlaku saat promosi berlangsung. Ketika tanpa promosi, alias tarif dalam kondisi normal, besarannya sudah cukup sesuai baik bagi konsumen maupun mitra pengemudi.
"Kalau (tarif) mau dinaikkan terlalu mahal, kemudian konsumen keberatan, bukan tak mungkin mereka akan beralih ke moda transportasi lain. Order ojek online pun turun drastis," kata dia.
Ia menyarankan pemerintah sebaiknya mengajak semua pihak, termasuk aplikator dan konsumen, untuk ikut memberi masukan terhadap Rancangan Peraturan Menteri (RPM) Perhubungan yang mengatur tentang tarif ojek online sebelum akhirnya diterapkan. Bukan cuma mendengar keinginan mitra pengemudi semata. Suara konsumen yang keberatan dengan kenaikan tarif pun perlu diakomodir agar tak menghambat perkembangan industri digital.
"Iklim usaha kondusif hanya bisa terjadi bila ada kerja sama yang saling menguntungkan. Ini perlu didiskusikan dengan semua pihak, ya pengemudi, aplikator, juga konsumen, sehingga mendapat hasil yang tepat buat semua," tandasnya.
Diketahui, selama ini, aplikator Grab menerapkan tarif batas bawah ojek online sebesar Rp1.200/km, adapun Go-Jek memberikan Rp1.600 untuk mitra pengemudi. Jika dibandingkan dengan tarif batas bawah baru Rp3.100/km yang diformulasikan oleh Kementerian Perhubungan bersama Tim 10, artinya terjadi kenaikan dua kali lipat. Pemerintah menargetkan RPM ojek online tersebut rampung pada Maret 2019.
(fjo)