Intip Perlakuan Perpajakan Bagi Bisnis E-Commerce
A
A
A
JAKARTA - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menjelaskan kembali latar belakang diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 210/PMK.10/2018 Tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik (e-commerce).
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (Direktur P2 Humas Pajak) Hestu Yoga Saksama mengatakan, penerbitan ini bakal memiliki banyak manfaat untuk penerimaan pajak. Salah satunya adalah untuk menciptakan rasa keadilan atau level playing field yang sama antara pelaku usaha konvensional maupun pelaku usaha e-commerce. Selain itu, untuk melindungi masyarakat.
"Sebenarnya, dari proses bisnis hanya beda model dari offline menjadi online. Latar belakangnya dari peraturan ini adalah suatu industri yang sedang berkembang harus diatur sehingga menimbulkan level playing field yang sama. Kemudian untuk melindungi masyarakat sehingga harus diregulate," ujar Hestu Yoga di Jakarta.
Sambung dia menambahkan, PMK 20 ini lebih rinci dari Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 74 Tahun 2017 tentang Peta Jalan Sistem Perdagangan Nasional Berbasis Elektronik (Road Map e-Commerce) Tahun 2017-2019 yang mengatur masalah perijinan, masalah perpajakan, bagaimana mengembangkan, mendukung e-commerce, sekaligus memberi perlindungan kepada masyarakat.
"Dengan PMK (210) ini, sebenarnya aturan mainnya menjadi jelas. Untuk pelaku seperti apa, pelapaknya seperti apa sehingga tidak ada lagi keraguan bagi masyarakat untuk memasuki ekosistem seperti itu. PMK ini turunan dari situ (Perpres 74) yang mengatur mengenai perpajakannya," jelasnya.
Direktur P2 Humas Pajak menegaskan, bahwa perlakuan perpajakan untuk e-commerce ini sama persis dengan yang konvensional. Tidak ada yang berbeda dalam hal tarif, objek dan subjek. Menurutnya PMK ini hanya penegasan saja.
Mengenai pemberlakuannya per 1 April 2019, perlakuan perpajakan untuk pelaku e-commerce bukan berarti tanggal 1 April baru mulai terutang pajak, namun selama ini sudah berjalan sesuai aturan.
Ia mencontohkan seperti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018 Tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu untuk UMKM yang dikenakan pajak 0,5% untuk kategori beromzet paling tinggi Rp4,8 miliar pertahun sekarang juga sudah berlaku untuk e-commerce.
"Begitu pula pelaku usaha yang memasarkan lewat media sosial meskipun dengan model pengawasan yang berbeda dan tidak bisa sekaligus terpenuhi. Contoh kedua, apabila seseorang memiliki toko konvensional dan marketplace, omzet keduanya harus dijumlahkan lalu dikenakan pajak yang sama," ungkapnya.
Di sisi lain, perusahaan Over The Top (OTT) pun harus membayar pajak seperti Google, meskipun cara pengawasan, pembangunan awareness, cara mengenakan pajak secara efektif dan level playing fieldnya berbeda. DJP terang dia, sedang berupaya menjangkau semua perbedaan level playing field tersebut dengan belajar juga ke negara seperti Australia yang lebih dulu memiliki pengalaman.
Dengan pertimbangan adanya model transaksi perdagangan melalui sistem elektronik (e-commerce), pemerintah memandang perlu lebih memudahkan pemenuhan kewajiban perpajakan bagi pelaku usaha perdagangan melalui sistem elektronik (e-commerce) sehingga para pelaku usaha dapat menjalankan hak dan kewajiban perpajakan dengan mudah sesuai model transaksi yang digunakan.
Dalam PMK ini disebutkan, Penyedia Platform Marketplace wajib memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) dan wajib dikukuhkan sebagai PKP (Pengusaha Kena Pajak).
Kewajiban untuk dikukuhkan sebagai PKP sebagaimana dimaksud, menurut PMK ini, juga diberlakukan kepada Penyedia Platform Marketplace, meskipun memenuhi kriteria sebagai pengusaha kecil sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai batasan pengusaha kecil Pajak Pertambahan Nilai.
Selain itu, PMK ini menegaskan, Pedagang atau Penyedia Jasa wajib memberitahukan NPWP kepada Penyedia Platform Marketplace.
Dalam hal Pedagang atau Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud belum memiliki NPWP, menurut PP ini: a. Pedagang atau Penyedia Jasa dapat mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP melalui aplikasi registrasi NPWP yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak atau yang disediakan oleh Penyedia Platform Marketplace; atau b. Pedagang atau Penyedia Jasa wajib memberitahukan Nomor Induk Kependudukan (NIK) kepada Penyedia Platform Marketplace.
“Pedagang atau Penyedia Jasa yang melakukan penyerahan barang dan/atau jasa secara elektronik (e-commerce) melalui Penyedia Platform Marketplace sebagaimana dimaksud melaksanakan kewajiban Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan,” bunyi Pasal 4 PMK ini.
PKP Pedagang atau PKP Penyedia Jasa yang melakukan penyerahan BKP (Barang Kena Pajak) dan/ atau JKP (Jasa Kena Pajak) secara elektronik (e-commerce) melalui Penyedia Platform Marketplace sebagaimana dimaksud, menurut PMK ini, wajib memungut, menyetor, dan melaporkan: a. Pajak Pertambahan Nilai yang terutang; atau b. Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
“Pajak Pertambahan Nilai yang terutang sebagaimana sebesar 10% (sepuluh persen) dari Nilai Transaksi penyerahan BKP dan/atau JKP,” bunyi Pasal 5 ayat (2) PMK ini.
Sedangkan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang, menurut PMK ini, mengikuti tarif dan tata cara penyetoran dan pelaporan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya, PMK ini menegaskan, PKP Pedagang dan PKP Penyedia Jasa wajib melaporkan dalam SPT Masa PPN setiap Masa Pajak atas penyerahan BKP dan/ a tau JKP yang melalui Penyedia Platform Marketplace.
Wajib Melaporkan
Menurut PMK ini, Penyedia Platform Marketplace wajib melaporkan rekapitulasi transaksi perdagangan yang dilakukan oleh Pedagang dan/atau Penyedia Jasa melalui Penyedia Platform Marketplace ke Direktorat Jenderal Pajak.
“Rekapitulasi transaksi perdagangan sebagaimana dimaksud merupakan dokumen yang harus dilampirkan dalam SPT Masa PPN Penyedia Platform Marketplace,” bunyi Pasal 7 ayat (3) PMK ini.
Dalam PMK ini ditegaskan, PKP Penyedia Platform Marketplace yang melakukan kegiatan: a. penyediaan layanan Platform Marketplace bagi Pedagang atau Penyedia Jasa; b. penyerahan BKP dan/atau JKP yang dilakukan melalui Platform Marketplace; dan/atau c. penyerahan BKP dan/atau JKP selain sebagaimana dimaksud, wajib memungut Pajak Pertambahan Nilai atas penyediaan layanan dan penyerahan BKP dan/atau JKP, dan wajib membuat Faktur Pajak.
Selanjutnya, pelaporan atas penyerahan BKP dan/atau JKP sebagaimana dimaksud dilakukan dalam SPT Masa PPN. “Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 2019,” bunyi Pasal 15 PMK Nomor 210/PMK.010/2018 yang diundangkan oleh Dirjen Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM, Widodo Ekatjahjana, pada 31 Desember 2018 itu
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (Direktur P2 Humas Pajak) Hestu Yoga Saksama mengatakan, penerbitan ini bakal memiliki banyak manfaat untuk penerimaan pajak. Salah satunya adalah untuk menciptakan rasa keadilan atau level playing field yang sama antara pelaku usaha konvensional maupun pelaku usaha e-commerce. Selain itu, untuk melindungi masyarakat.
"Sebenarnya, dari proses bisnis hanya beda model dari offline menjadi online. Latar belakangnya dari peraturan ini adalah suatu industri yang sedang berkembang harus diatur sehingga menimbulkan level playing field yang sama. Kemudian untuk melindungi masyarakat sehingga harus diregulate," ujar Hestu Yoga di Jakarta.
Sambung dia menambahkan, PMK 20 ini lebih rinci dari Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 74 Tahun 2017 tentang Peta Jalan Sistem Perdagangan Nasional Berbasis Elektronik (Road Map e-Commerce) Tahun 2017-2019 yang mengatur masalah perijinan, masalah perpajakan, bagaimana mengembangkan, mendukung e-commerce, sekaligus memberi perlindungan kepada masyarakat.
"Dengan PMK (210) ini, sebenarnya aturan mainnya menjadi jelas. Untuk pelaku seperti apa, pelapaknya seperti apa sehingga tidak ada lagi keraguan bagi masyarakat untuk memasuki ekosistem seperti itu. PMK ini turunan dari situ (Perpres 74) yang mengatur mengenai perpajakannya," jelasnya.
Direktur P2 Humas Pajak menegaskan, bahwa perlakuan perpajakan untuk e-commerce ini sama persis dengan yang konvensional. Tidak ada yang berbeda dalam hal tarif, objek dan subjek. Menurutnya PMK ini hanya penegasan saja.
Mengenai pemberlakuannya per 1 April 2019, perlakuan perpajakan untuk pelaku e-commerce bukan berarti tanggal 1 April baru mulai terutang pajak, namun selama ini sudah berjalan sesuai aturan.
Ia mencontohkan seperti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018 Tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu untuk UMKM yang dikenakan pajak 0,5% untuk kategori beromzet paling tinggi Rp4,8 miliar pertahun sekarang juga sudah berlaku untuk e-commerce.
"Begitu pula pelaku usaha yang memasarkan lewat media sosial meskipun dengan model pengawasan yang berbeda dan tidak bisa sekaligus terpenuhi. Contoh kedua, apabila seseorang memiliki toko konvensional dan marketplace, omzet keduanya harus dijumlahkan lalu dikenakan pajak yang sama," ungkapnya.
Di sisi lain, perusahaan Over The Top (OTT) pun harus membayar pajak seperti Google, meskipun cara pengawasan, pembangunan awareness, cara mengenakan pajak secara efektif dan level playing fieldnya berbeda. DJP terang dia, sedang berupaya menjangkau semua perbedaan level playing field tersebut dengan belajar juga ke negara seperti Australia yang lebih dulu memiliki pengalaman.
Dengan pertimbangan adanya model transaksi perdagangan melalui sistem elektronik (e-commerce), pemerintah memandang perlu lebih memudahkan pemenuhan kewajiban perpajakan bagi pelaku usaha perdagangan melalui sistem elektronik (e-commerce) sehingga para pelaku usaha dapat menjalankan hak dan kewajiban perpajakan dengan mudah sesuai model transaksi yang digunakan.
Dalam PMK ini disebutkan, Penyedia Platform Marketplace wajib memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) dan wajib dikukuhkan sebagai PKP (Pengusaha Kena Pajak).
Kewajiban untuk dikukuhkan sebagai PKP sebagaimana dimaksud, menurut PMK ini, juga diberlakukan kepada Penyedia Platform Marketplace, meskipun memenuhi kriteria sebagai pengusaha kecil sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai batasan pengusaha kecil Pajak Pertambahan Nilai.
Selain itu, PMK ini menegaskan, Pedagang atau Penyedia Jasa wajib memberitahukan NPWP kepada Penyedia Platform Marketplace.
Dalam hal Pedagang atau Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud belum memiliki NPWP, menurut PP ini: a. Pedagang atau Penyedia Jasa dapat mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP melalui aplikasi registrasi NPWP yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak atau yang disediakan oleh Penyedia Platform Marketplace; atau b. Pedagang atau Penyedia Jasa wajib memberitahukan Nomor Induk Kependudukan (NIK) kepada Penyedia Platform Marketplace.
“Pedagang atau Penyedia Jasa yang melakukan penyerahan barang dan/atau jasa secara elektronik (e-commerce) melalui Penyedia Platform Marketplace sebagaimana dimaksud melaksanakan kewajiban Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan,” bunyi Pasal 4 PMK ini.
PKP Pedagang atau PKP Penyedia Jasa yang melakukan penyerahan BKP (Barang Kena Pajak) dan/ atau JKP (Jasa Kena Pajak) secara elektronik (e-commerce) melalui Penyedia Platform Marketplace sebagaimana dimaksud, menurut PMK ini, wajib memungut, menyetor, dan melaporkan: a. Pajak Pertambahan Nilai yang terutang; atau b. Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
“Pajak Pertambahan Nilai yang terutang sebagaimana sebesar 10% (sepuluh persen) dari Nilai Transaksi penyerahan BKP dan/atau JKP,” bunyi Pasal 5 ayat (2) PMK ini.
Sedangkan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang, menurut PMK ini, mengikuti tarif dan tata cara penyetoran dan pelaporan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya, PMK ini menegaskan, PKP Pedagang dan PKP Penyedia Jasa wajib melaporkan dalam SPT Masa PPN setiap Masa Pajak atas penyerahan BKP dan/ a tau JKP yang melalui Penyedia Platform Marketplace.
Wajib Melaporkan
Menurut PMK ini, Penyedia Platform Marketplace wajib melaporkan rekapitulasi transaksi perdagangan yang dilakukan oleh Pedagang dan/atau Penyedia Jasa melalui Penyedia Platform Marketplace ke Direktorat Jenderal Pajak.
“Rekapitulasi transaksi perdagangan sebagaimana dimaksud merupakan dokumen yang harus dilampirkan dalam SPT Masa PPN Penyedia Platform Marketplace,” bunyi Pasal 7 ayat (3) PMK ini.
Dalam PMK ini ditegaskan, PKP Penyedia Platform Marketplace yang melakukan kegiatan: a. penyediaan layanan Platform Marketplace bagi Pedagang atau Penyedia Jasa; b. penyerahan BKP dan/atau JKP yang dilakukan melalui Platform Marketplace; dan/atau c. penyerahan BKP dan/atau JKP selain sebagaimana dimaksud, wajib memungut Pajak Pertambahan Nilai atas penyediaan layanan dan penyerahan BKP dan/atau JKP, dan wajib membuat Faktur Pajak.
Selanjutnya, pelaporan atas penyerahan BKP dan/atau JKP sebagaimana dimaksud dilakukan dalam SPT Masa PPN. “Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 2019,” bunyi Pasal 15 PMK Nomor 210/PMK.010/2018 yang diundangkan oleh Dirjen Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM, Widodo Ekatjahjana, pada 31 Desember 2018 itu
(akr)