Pemda Perlu Awasi Ketat Setoran Pajak BBM Industri dan Laut

Jum'at, 22 Februari 2019 - 22:21 WIB
Pemda Perlu Awasi Ketat Setoran Pajak BBM Industri dan Laut
Pemda Perlu Awasi Ketat Setoran Pajak BBM Industri dan Laut
A A A
JAKARTA - Dalam harga bahan bakar minyak (BBM), baik bersubsidi maupun nonsubsidi, terdapat komponen Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) yang besarnya ditetapkan oleh masing masing pemerinrah daerah (pemda) yang bersangkutan. Ketentuan tentang komponen PBBKB dalam harga BBM tersebut antara lain diatur dalam Perpres No 22 Tahun 2005 tentang Harga Jual Eceran BBM Dalam Negeri.

Untuk wilayah Provinsi DKI Jakarta misalnya, Pemda DKI menetapkan besaran PBBKB sebesar 5% per liter, mengacu kepada Perda Pemrov DKI No 10 Tahun 2010. Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) Sofyano Zakaria mengatakan, perolehan PBBKB tersebut sangat berarti bagi pemda. Karena itu, imbuh dia, pemda perlu secara intensif melakukan pengawasan dan pemungutan PBBKB bagi BBM nonsubsidi.

"PBBKB bagi BBM nonsubsidi dan BBM bersubsidi yang dijual lewat SPBU mudah mengontrolnya karena badan usaha niaga umum penyedia BBM lewat SPBU jumlahnya terbatas, yakni Pertamina, Shell, Total, Vivo dan AKR. Jadi mudah bagi pemda melakukan pengawasannya," kata Sofyano di Jakarta, Jumat (22/2/2019).

Namun, sambung dia, pengawasan penjualan BBM nonsubsidi bagi keperluan industri dan laut atau perairan atau dikenal dengan BBM marines, relatif lebih sulit. Pasalnya, jelas Sofyano, bisnis ini nyaris dilakukan secara langsung ke konsumen (door to door).

Untuk diketahui, lanjut dia, penyedia BBM industri marines yang berbentuk Badan Usaha Pemegang Izin Niaga Umum (BU-PIUNU) , jumlahnya sekitar 120 BU-PIUNU , yang tersebar diseluruh Indonesia. Lebih kurang 60 juta kiloliter BBM nonsubsidi industri marines yang diperdagangkan setiap tahunnya .

"Jika PBBKB untuk BBBM industri marines yang besarannya antara 5% hingga 7,5% dinilai rata rata sebesar Rp200 per liter, maka Itu berarti PBBKB secara nasional menyumbang pendapatan bagi pemda sekitar Rp12 triliun per tahun. Ini sungguh angka yang sangat besar," jelasnya.

Karena itu, tegas dia, pemda perlu mengamati serius dan ketat penyetoran PBBKB kepada yang dilakukan oleh BU-PIUNU, khususnya yang bukan BUMN. "Apakah pemda punya data siapa-siapa badan usaha yang beroperasi di wilayahnya dan punya data akurat volume penjualan BBM nonsubsidi untuk industri dan marines yang dilakukan pihak swasta ini?" tuturnya.

Karena itu, Sofyano menyarankan agar pemda bekerja sama dengan Badan Usaha Niaga Umun BUMN dan anak perusahaannya, yakni PT Pertamina (Persero) dan PT Patra Niaga, di mana BUMN ini yang memungut PBBKB ketika Badan usaha Niaga Umum swasta membeli BBM industri atau marines dari Pertamina atau Patra Niaga.

"Lebih mudah mengontrol Pertamina dan Patra Niaga terkait pemungutan PBBKB ketimbang pihak swasta," tandasnya.

Seperti diketahui, Badan Usaha Niaga Umum Pertamina dan Patra Niaga langsung memungut PBBKB dari agen-agen mereka ketika para agen membeli BBM industri marines. Sementara, jelas Sofyano, hal yang sama tidak dilakukan terhadap Badan Usaha Niaga Umum swasta, karena mereka juga adalah badan usaha yang juga adalah wajib pungut.

"Tidak dipungutnya PBBKB dari pembeli akhir oleh para perusahaan ini bisa membuat selisih harga yang cukup besar dan ini tentu menjadi masalah sebagai persaingan yang tidak sehat antarpelaku bisnis BBM industri marines. Namun, ujung-ujungnya Pemdalah yang dirugikan," tandasnya.
(fjo)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6814 seconds (0.1#10.140)