IA-CEPA Berpotensi Jadi Solusi Dongkrak Ekspor CPO RI
A
A
A
JAKARTA - Penandatanganan naskah kerja sama Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA) antara Indonesia dan Australia akan membuka peluang ekspor Indonesia lebih besar. Australia pun dipandang sebagai pasar potensial yang mampu menyerap produk-produk unggulan Indonesia.
Kerja sama ini diharapkan bisa menjadi solusi juga terhadap produk-produk unggulan Indonesia yang tengah dihadang di negara-negara lain. Sejumlah kalangan mengungkapkan optimismenya terhadap penandatanganan perjanjian yang sampai berlarut-larut sembilan tahun lamanya itu.
“Selama ini kan Australia bukan pasar yang mature buat Indonesia. Kurang dilihat. Dengan IA-CEPA bisa jadi peluang,” ujar Ekonom Universitas Indonesia, Lana Soelistianingsih, di Jakarta, Selasa (5/3/2019).
Lana mengapresiasi kesuksesan Kementerian Perdagangan (Kemendag) dalam menjalin kerja sama dengan Australia melalui IA-CEPA. Kerja sama free trade agreement kedua negara diharapkan bisa memacu ekspor Indonesia ke Negeri Kanguru. Australia sendiri saat ini hanya menempati posisi ke-17 sebagai negara tujuan ekspor nonmigas Indonesia.
Di sisi lain, Ia mengingatkan agar tiap pemangku kepentingan, memanfaatkan perjanjian perdagangan bebas dengan Negeri Kanguru tersebut secara saksama. Komoditas yang menjadi perhatianuntuk bisa gencar diekspor ke Australia tak lain adalah CPO.
Masalahnya, saat ini minyak sawit Indonesia tengah menghadapi banyak hambatan nontarif yang membuat perdagangannya mengalami kontraksi. Dengan adanya IA-CEPA, Lana berharap pengiriman ekspor minyak sawit dapat kembali bergariah karena mendapatkan pasar baru di Australia.
“Harus diapresiasi. Ini sebagai upaya pemerintah untuk membuat pasar-pasar baru juga kan. Jangan sampai terulang kembali kejadian-kejadian perjanjian perdagangan bebas yang lalu di mana setelah naskah kerja sama ditandatangani, justru aliran barang impor lebih kencang daripada pemanfaatan ekspor," selorohnya, berharap semua pihak memanfaatkan perjanjian ini.
Sementara itu, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Ahmad Heri Firdaus, mengungkapkan apresiasi atas rampungnya IA-CEPA yang telah memakan waktu hingga 9 tahun itu. Menurutnya, IA-CEPA bisa menjadi peluang untuk mengembangkan hubungan antar negara, salah satunya dalam hal perdagangan.
“IA-CEPA ini sebenarnya bisa jadi peluang untuk mengembangkan ekspor, untuk meminimalisir defisit neraca perdagangan Indonesia dengan Australia, untuk meningkatkan output industri, ya segala macem lah. Peluang sebenarnya,” kata Heri kepada wartawan, Selasa (5/3).
Dibalik peluang tersebut, Heri menyoroti jika adanya IA-CEPA juga menjadi tantangan sendiri. Pasalnya, daya saing produk-produk Indonesia yang nantinya membanjiri pasar Australia itu patut diperhatikan.
“Produk kita sudah cukup kompetitif belum di sana? Meskipun sudah diberikan keringanan tarif misalnya. Kalau kita lebih kompetitif, itu berarti bisa meningkatkan ekspor yang cukup signifikan,” paparnya.
Heri melanjutkan, tantangan kedua yang akan dihadapi adalah tentang persyaratan non-tariff measure (NTM), atau aturan-aturan non tarif yang ditetapkan oleh Australia. Dalam pandangan Heri, untuk melindungi produk dalam negeri, suatu negara cenderung mengeluarkan banyak NTM tarif ketika aturan terkait tarif telah diminimalkan.
“Jadi aturan-aturan non tarif itu, itu justru yang menyulitkan negara-negara berkembang untuk masuk ke negara maju. Nah, kita sudah bisa belum menghadapi NTM-nya? Sudah bisa menghadapi itu belum? Itu yang jadi pekerjaan rumah,” jelasnya.
Kerja sama ini diharapkan bisa menjadi solusi juga terhadap produk-produk unggulan Indonesia yang tengah dihadang di negara-negara lain. Sejumlah kalangan mengungkapkan optimismenya terhadap penandatanganan perjanjian yang sampai berlarut-larut sembilan tahun lamanya itu.
“Selama ini kan Australia bukan pasar yang mature buat Indonesia. Kurang dilihat. Dengan IA-CEPA bisa jadi peluang,” ujar Ekonom Universitas Indonesia, Lana Soelistianingsih, di Jakarta, Selasa (5/3/2019).
Lana mengapresiasi kesuksesan Kementerian Perdagangan (Kemendag) dalam menjalin kerja sama dengan Australia melalui IA-CEPA. Kerja sama free trade agreement kedua negara diharapkan bisa memacu ekspor Indonesia ke Negeri Kanguru. Australia sendiri saat ini hanya menempati posisi ke-17 sebagai negara tujuan ekspor nonmigas Indonesia.
Di sisi lain, Ia mengingatkan agar tiap pemangku kepentingan, memanfaatkan perjanjian perdagangan bebas dengan Negeri Kanguru tersebut secara saksama. Komoditas yang menjadi perhatianuntuk bisa gencar diekspor ke Australia tak lain adalah CPO.
Masalahnya, saat ini minyak sawit Indonesia tengah menghadapi banyak hambatan nontarif yang membuat perdagangannya mengalami kontraksi. Dengan adanya IA-CEPA, Lana berharap pengiriman ekspor minyak sawit dapat kembali bergariah karena mendapatkan pasar baru di Australia.
“Harus diapresiasi. Ini sebagai upaya pemerintah untuk membuat pasar-pasar baru juga kan. Jangan sampai terulang kembali kejadian-kejadian perjanjian perdagangan bebas yang lalu di mana setelah naskah kerja sama ditandatangani, justru aliran barang impor lebih kencang daripada pemanfaatan ekspor," selorohnya, berharap semua pihak memanfaatkan perjanjian ini.
Sementara itu, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Ahmad Heri Firdaus, mengungkapkan apresiasi atas rampungnya IA-CEPA yang telah memakan waktu hingga 9 tahun itu. Menurutnya, IA-CEPA bisa menjadi peluang untuk mengembangkan hubungan antar negara, salah satunya dalam hal perdagangan.
“IA-CEPA ini sebenarnya bisa jadi peluang untuk mengembangkan ekspor, untuk meminimalisir defisit neraca perdagangan Indonesia dengan Australia, untuk meningkatkan output industri, ya segala macem lah. Peluang sebenarnya,” kata Heri kepada wartawan, Selasa (5/3).
Dibalik peluang tersebut, Heri menyoroti jika adanya IA-CEPA juga menjadi tantangan sendiri. Pasalnya, daya saing produk-produk Indonesia yang nantinya membanjiri pasar Australia itu patut diperhatikan.
“Produk kita sudah cukup kompetitif belum di sana? Meskipun sudah diberikan keringanan tarif misalnya. Kalau kita lebih kompetitif, itu berarti bisa meningkatkan ekspor yang cukup signifikan,” paparnya.
Heri melanjutkan, tantangan kedua yang akan dihadapi adalah tentang persyaratan non-tariff measure (NTM), atau aturan-aturan non tarif yang ditetapkan oleh Australia. Dalam pandangan Heri, untuk melindungi produk dalam negeri, suatu negara cenderung mengeluarkan banyak NTM tarif ketika aturan terkait tarif telah diminimalkan.
“Jadi aturan-aturan non tarif itu, itu justru yang menyulitkan negara-negara berkembang untuk masuk ke negara maju. Nah, kita sudah bisa belum menghadapi NTM-nya? Sudah bisa menghadapi itu belum? Itu yang jadi pekerjaan rumah,” jelasnya.
(akr)