Banyak Peluang Kerja di Jepang, Kemenperin Siap Fasilitasi
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) akan memfasilitasi pemenuhan kebutuhan sumber daya manusia (SDM) industri yang kompeten dari Indonesia untuk bekerja di Negeri Sakura. Ini sebagai bagian dari respons terhadap regulasi mengenai visa kerja baru untuk tenaga kerja asing di Jepang pada 14 sektor bidang usaha, yang mulai berlaku pada 1 April 2019.
"Kami tentunya menyambut baik adanya peraturan tersebut. Ini sejalan dengan upaya pemerintah Indonesia yang sedang menggalakkan program peningkatan kualitas SDM melalui berbagai kegiatan pendidikan dan pelatihan vokasi industri," kata Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) Kemenperin Harjanto di Jakarta, Jumat (15/3/2019).
Harjanto menyampaikan hal itu setelah bertemu dengan perwakilan dari Kementerian Ekonomi, Perdagangan dan Perindustrian (Ministry of Economy, Trade and Industry/METI) Jepang, Kedutaan Besar Jepang di Jakarta, serta Japan External Trade Organization (JETRO), beberapa waktu lalu.
"Kami berharap, SDM industri Indonesia bisa dapat pengalaman kerja di industri Jepang. Ini sebagai wujud transfer pengetahuan," imbuhnya.
Dirjen ILMATE menjelaskan, Kemenperin mempunyai sejumlah program pendidikan dan pelatihan vokasi industri guna menghasilkan tenaga kerja terampil yang sesuai kebutuhan perusahaan saat ini, terutama dalam kesiapan memasuki era industri 4.0. Kemenperin antara lain memiliki program pendidikan vokasi yang link and match antara Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dengan industri.
Sejak diluncurkan tahun 2017, program tersebut telah menjangkau wilayah Jawa, Sumatera, hingga Sulawesi dan akan terus dilanjutkan ke daerah lainnya. Hingga tahap kesembilan, Kemenperin sudah melibatkan sebanyak 2.350 SMK dan 899 perusahaan dengan total perjanjian kerja sama mencapai 4.351 yang telah ditandatangani.
"Pada bulan Maret ini, kami akan meluncurkan lagi untuk wilayah Jawa Barat, yang dilaksanakan di Sukabumi. Program ini juga mendorong peningkatan kompetensi guru produktif SMK dan fasilitasi silver expert dari perusahaan untuk SMK," tuturnya.
Selain itu, Kemenperin menggelar program pelatihan industri berbasis kompetensi dengan sistem 3 in 1, yaitu pelatihan, sertifikasi kompetensi, dan penempatan kerja. Program Diklat 3 in 1 ini dapat juga dimanfaatkan oleh para penyandang disabilitas.
"Program link and match dengan SMK dan Diklat 3 in 1 bertujuan untuk meningkatkan atau upgrade kualitas SDM kita khususnya untuk memenuhi kebutuhan dunia industri," ujar Harjanto.
Oleh karena itu, dengan adanya kebutuhan tenaga kerja di Jepang, diyakini menjadi jembatan untuk penyerapan SDM industri Indonesia. "Sebagai bentuk komitmen Kemenperin dalam peningkatan kualitas SDM, khususnya di sektor industri, kami telah membentuk unit eselon 1, yakni Badan Pengembangan SDM Industri. Jadi, kami berkomitmen untuk membantu permasalahan kekurangan SDM industri di Jepang," paparnya.
Harjanto optimistis, SDM industri Indonesia akan menjadi pilihan terbaik bagi sejumlah industri di Jepang. "Sebab, SDM industri Indonesia terkenal sangat cocok bekerja di Jepang mengingat karakter masyarakat Indonesia yang selalu fokus, sopan, serta respect," ungkapnya.
Ikeda mewakili METI menerangkan, selama ini permasalahan kekurangan tenaga kerja di Jepang sangat terbantu dengan adanya program pemagangan, termasuk peserta pemagangan dari Indonesia. Namun, lanjut Ikeda, jika mengandalkan dari peserta magang, tentu tidak bisa mencukupi kebutuhan tenaga kerja di Jepang.
Dengan diberlakukannya visa kerja baru, peserta magang yang telah menyelesaikan programnya berkesempatan untuk bekerja di Jepang dengan visa kerja keterampilan khusus. Dalam skema visa kerja tokuteiginou, kebutuhan tersebut dapat dipenuhi dari peserta magang yang telah kembali ke Indonesia.
Selain itu, ada juga jalur melalui pemegang visa pendidikan (ryugakusei), atau tenaga kerja baru yang belum pernah bekerja di Jepang, namun mempunyai kemampuan bahasa dan tingkat keterampilan (skill) yang sesuai dengan kebutuhan industri di Jepang.
"Kami berharap, untuk sourcing yang terakhir ini, ujian keterampilan bisa dilaksanakan di Indonesia, dengan standar yang ditetapkan sesuai kebutuhan industri di Jepang. Oleh karena itu, kami merasa perlu berkoordinasi dengan pemerintah Indonesia, agar skema visa kerja baru tersebut dapat dilaksanakan dengan baik dan bermanfaat bagi berbagai pihak," tandasnya.
Berdasarkan catatan METI, total kebutuhan tenaga kerja di Jepang pada 14 bidang usaha pada tahun pertama ini akan mencapai 47.550 orang, yang terdiri dari sektor manufaktur sebanyak 15.400 orang meliputi industri bahan baku, manufaktur mesin industri, serta industri terkait listrik dan informasi elektronik.
Selanjutnya, industri galangan kapal dan industri kelautan, bengkel mobil, industri penerbangan, serta industri makanan dan minuman. Diproyeksi, pada lima tahun ke depan, total kebutuhan tenaga kerja di Jepang pada 14 bidang usaha, akan mencapai 345.150 orang, dengan sektor industri sebanyak 87.650 orang.
"Kami tentunya menyambut baik adanya peraturan tersebut. Ini sejalan dengan upaya pemerintah Indonesia yang sedang menggalakkan program peningkatan kualitas SDM melalui berbagai kegiatan pendidikan dan pelatihan vokasi industri," kata Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) Kemenperin Harjanto di Jakarta, Jumat (15/3/2019).
Harjanto menyampaikan hal itu setelah bertemu dengan perwakilan dari Kementerian Ekonomi, Perdagangan dan Perindustrian (Ministry of Economy, Trade and Industry/METI) Jepang, Kedutaan Besar Jepang di Jakarta, serta Japan External Trade Organization (JETRO), beberapa waktu lalu.
"Kami berharap, SDM industri Indonesia bisa dapat pengalaman kerja di industri Jepang. Ini sebagai wujud transfer pengetahuan," imbuhnya.
Dirjen ILMATE menjelaskan, Kemenperin mempunyai sejumlah program pendidikan dan pelatihan vokasi industri guna menghasilkan tenaga kerja terampil yang sesuai kebutuhan perusahaan saat ini, terutama dalam kesiapan memasuki era industri 4.0. Kemenperin antara lain memiliki program pendidikan vokasi yang link and match antara Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dengan industri.
Sejak diluncurkan tahun 2017, program tersebut telah menjangkau wilayah Jawa, Sumatera, hingga Sulawesi dan akan terus dilanjutkan ke daerah lainnya. Hingga tahap kesembilan, Kemenperin sudah melibatkan sebanyak 2.350 SMK dan 899 perusahaan dengan total perjanjian kerja sama mencapai 4.351 yang telah ditandatangani.
"Pada bulan Maret ini, kami akan meluncurkan lagi untuk wilayah Jawa Barat, yang dilaksanakan di Sukabumi. Program ini juga mendorong peningkatan kompetensi guru produktif SMK dan fasilitasi silver expert dari perusahaan untuk SMK," tuturnya.
Selain itu, Kemenperin menggelar program pelatihan industri berbasis kompetensi dengan sistem 3 in 1, yaitu pelatihan, sertifikasi kompetensi, dan penempatan kerja. Program Diklat 3 in 1 ini dapat juga dimanfaatkan oleh para penyandang disabilitas.
"Program link and match dengan SMK dan Diklat 3 in 1 bertujuan untuk meningkatkan atau upgrade kualitas SDM kita khususnya untuk memenuhi kebutuhan dunia industri," ujar Harjanto.
Oleh karena itu, dengan adanya kebutuhan tenaga kerja di Jepang, diyakini menjadi jembatan untuk penyerapan SDM industri Indonesia. "Sebagai bentuk komitmen Kemenperin dalam peningkatan kualitas SDM, khususnya di sektor industri, kami telah membentuk unit eselon 1, yakni Badan Pengembangan SDM Industri. Jadi, kami berkomitmen untuk membantu permasalahan kekurangan SDM industri di Jepang," paparnya.
Harjanto optimistis, SDM industri Indonesia akan menjadi pilihan terbaik bagi sejumlah industri di Jepang. "Sebab, SDM industri Indonesia terkenal sangat cocok bekerja di Jepang mengingat karakter masyarakat Indonesia yang selalu fokus, sopan, serta respect," ungkapnya.
Ikeda mewakili METI menerangkan, selama ini permasalahan kekurangan tenaga kerja di Jepang sangat terbantu dengan adanya program pemagangan, termasuk peserta pemagangan dari Indonesia. Namun, lanjut Ikeda, jika mengandalkan dari peserta magang, tentu tidak bisa mencukupi kebutuhan tenaga kerja di Jepang.
Dengan diberlakukannya visa kerja baru, peserta magang yang telah menyelesaikan programnya berkesempatan untuk bekerja di Jepang dengan visa kerja keterampilan khusus. Dalam skema visa kerja tokuteiginou, kebutuhan tersebut dapat dipenuhi dari peserta magang yang telah kembali ke Indonesia.
Selain itu, ada juga jalur melalui pemegang visa pendidikan (ryugakusei), atau tenaga kerja baru yang belum pernah bekerja di Jepang, namun mempunyai kemampuan bahasa dan tingkat keterampilan (skill) yang sesuai dengan kebutuhan industri di Jepang.
"Kami berharap, untuk sourcing yang terakhir ini, ujian keterampilan bisa dilaksanakan di Indonesia, dengan standar yang ditetapkan sesuai kebutuhan industri di Jepang. Oleh karena itu, kami merasa perlu berkoordinasi dengan pemerintah Indonesia, agar skema visa kerja baru tersebut dapat dilaksanakan dengan baik dan bermanfaat bagi berbagai pihak," tandasnya.
Berdasarkan catatan METI, total kebutuhan tenaga kerja di Jepang pada 14 bidang usaha pada tahun pertama ini akan mencapai 47.550 orang, yang terdiri dari sektor manufaktur sebanyak 15.400 orang meliputi industri bahan baku, manufaktur mesin industri, serta industri terkait listrik dan informasi elektronik.
Selanjutnya, industri galangan kapal dan industri kelautan, bengkel mobil, industri penerbangan, serta industri makanan dan minuman. Diproyeksi, pada lima tahun ke depan, total kebutuhan tenaga kerja di Jepang pada 14 bidang usaha, akan mencapai 345.150 orang, dengan sektor industri sebanyak 87.650 orang.
(fjo)