Penugasan Bulog Impor 100.000 Ton Bawang Putih Tuai Polemik
A
A
A
JAKARTA - Penugasan Bulog untuk melakukan impor 100.000 ton bawang putih menuai polemik. Banyak pihak meminta pemerintah membatalkan pemberian diskresi kepada Bulog untuk mengimpor bawang putih tanpa perlakuan syarat yang sama dengan pengimpor lainnya.
Diskresi yang dimaksud yakni Bulog bisa mengimpor bawang putih tanpa harus kembali menanam 5% sesuai Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) Permentan Nomor 38/2017. Di sisi lain, kebijakan ini membuat swasta yang hidupnya bergantung pada usaha di bidang impor ini menjadi rugi, bahkan mati.“Enak banget BUMN itu, enggak boleh kayak gitu. Kalau begitu kita bikin BUMN aja sebanyak-banyaknya. Swasta dimatikan. Ini enggak sehat nih. Ini harus diusut KPPU,” kata Direktur Center For Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi kepada wartawan, Rabu (20/3/2019).
Ia menyarankan kebijakan ini segera dicabut atau dibatalkan lantaran persaingan usaha antara Bulog dengan importir bawang putih lainnya akan tidak sehat. Belum lagi nasib petani bawang putih.
Uchok menilai petani akan semakin sengsara lantaran tidak adanya subtitusi penanaman bawang dari proses impor yang dilakukan. Ia berharap Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan Ombudsman menyelidiki hal ini.
“Iya ini makin kacau aja kalau kayak begitu. Tidak ada persaingan usaha. Harusnya semua melalui lelang atau tender. Jangan kayak gini, ini enggak sehat,” tandasnya.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah berpendapat, impor 100.000 ton bawang putih oleh Bulog adalah langkah terpaksa. Hal ini dilakukan guna memenuhi kebutuhan dalam negeri yang hampir 90% impor.
Ia mengakui, ada ketidakpuasan pengusaha terhadap keistimewaan tidak wajib tanam yang diberikan kepada Bulog. “Kalau Bulog kemudian impor dan tidak dikenakan kewajiban tanam 5%, lalu importir merasa cemburu, nanti bisa-bisa impotir lapor ke WTO (World Trade Organization). Hal ini pernah terjadi di bidang susu. Waktu itu importir susu juga dipaksa bermitra, ini membatasi mereka, akhirnya mereka laporkan ke WTO karena ada persaingan yang tidak sehat,” tuturnya.
Diakui Rusli, industri susu memang beda dengan bawang, karena kebutuhannya lebih tinggi dan terkait protein. Namun jika kebutuhan bawang putih terus meningkat, bisa saja para importir melapor ke WTO.
Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santosa mengakui, ketersediaan bawang putih di Indonesia sebenarnya tidak bisa lepas dari impor. Bahkan hampir 560.000 ton bawang putih didapatkan dari impor setiap tahun.
Tingginya lonjakan harga bawang putih pada awal tahun ini disebabkan karena terlalu optimistisnya Kementerian Pertanian akan produksi dalam negeri. Diakuinya, Permentan No 38/2017, yang mana para importir diwajibkan menanam sebanyak 5% dari volume pengajuan impor, adalah hal yang baik.
Namun hal ini bukan berarti menjadi jaminan. Sehingga dia berpendapat, terdapat kekacauan dalam perencanaan tata kelola bawang putih. "Sekarang kita seolah-olah impor dalam jumlah besar dan itu sangat merugikan," imbuhnya.
Terkait penugasan Bulog untuk melakukan impor 100.000 ton bawang putih, dia mewanti-wanti jangan keputusan tersebut justru semakin membenani kerja BUMN tersebut. "Tapi kalau tidak punya infrastruktur terkait, ya tentu biaya tinggi karena harus pinjam gudang yang cocok untuk bawang putih. Cost lagi di sana. Sehingga tujuan utama untuk amankan pasokan bawang putih jadi terganggu," kata Andreas.
Sebelumnya Menko Perekonomian, Darmin Nasution memerintahkan Bulog untuk mengimpor bawang putih sebesar 100.000 ton. Impor ini untuk mengendalikan harga bawang putih yang mengalami kenaikan. Bulog, dalam impor kali ini diberikan keleluasaan tanpa harus memenuhi syarat tanam, 5% dari impor yang dilakukan. Sebagaimana lazim dilakukan wajib oleh pihak swasta.
Diskresi yang dimaksud yakni Bulog bisa mengimpor bawang putih tanpa harus kembali menanam 5% sesuai Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) Permentan Nomor 38/2017. Di sisi lain, kebijakan ini membuat swasta yang hidupnya bergantung pada usaha di bidang impor ini menjadi rugi, bahkan mati.“Enak banget BUMN itu, enggak boleh kayak gitu. Kalau begitu kita bikin BUMN aja sebanyak-banyaknya. Swasta dimatikan. Ini enggak sehat nih. Ini harus diusut KPPU,” kata Direktur Center For Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi kepada wartawan, Rabu (20/3/2019).
Ia menyarankan kebijakan ini segera dicabut atau dibatalkan lantaran persaingan usaha antara Bulog dengan importir bawang putih lainnya akan tidak sehat. Belum lagi nasib petani bawang putih.
Uchok menilai petani akan semakin sengsara lantaran tidak adanya subtitusi penanaman bawang dari proses impor yang dilakukan. Ia berharap Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan Ombudsman menyelidiki hal ini.
“Iya ini makin kacau aja kalau kayak begitu. Tidak ada persaingan usaha. Harusnya semua melalui lelang atau tender. Jangan kayak gini, ini enggak sehat,” tandasnya.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah berpendapat, impor 100.000 ton bawang putih oleh Bulog adalah langkah terpaksa. Hal ini dilakukan guna memenuhi kebutuhan dalam negeri yang hampir 90% impor.
Ia mengakui, ada ketidakpuasan pengusaha terhadap keistimewaan tidak wajib tanam yang diberikan kepada Bulog. “Kalau Bulog kemudian impor dan tidak dikenakan kewajiban tanam 5%, lalu importir merasa cemburu, nanti bisa-bisa impotir lapor ke WTO (World Trade Organization). Hal ini pernah terjadi di bidang susu. Waktu itu importir susu juga dipaksa bermitra, ini membatasi mereka, akhirnya mereka laporkan ke WTO karena ada persaingan yang tidak sehat,” tuturnya.
Diakui Rusli, industri susu memang beda dengan bawang, karena kebutuhannya lebih tinggi dan terkait protein. Namun jika kebutuhan bawang putih terus meningkat, bisa saja para importir melapor ke WTO.
Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santosa mengakui, ketersediaan bawang putih di Indonesia sebenarnya tidak bisa lepas dari impor. Bahkan hampir 560.000 ton bawang putih didapatkan dari impor setiap tahun.
Tingginya lonjakan harga bawang putih pada awal tahun ini disebabkan karena terlalu optimistisnya Kementerian Pertanian akan produksi dalam negeri. Diakuinya, Permentan No 38/2017, yang mana para importir diwajibkan menanam sebanyak 5% dari volume pengajuan impor, adalah hal yang baik.
Namun hal ini bukan berarti menjadi jaminan. Sehingga dia berpendapat, terdapat kekacauan dalam perencanaan tata kelola bawang putih. "Sekarang kita seolah-olah impor dalam jumlah besar dan itu sangat merugikan," imbuhnya.
Terkait penugasan Bulog untuk melakukan impor 100.000 ton bawang putih, dia mewanti-wanti jangan keputusan tersebut justru semakin membenani kerja BUMN tersebut. "Tapi kalau tidak punya infrastruktur terkait, ya tentu biaya tinggi karena harus pinjam gudang yang cocok untuk bawang putih. Cost lagi di sana. Sehingga tujuan utama untuk amankan pasokan bawang putih jadi terganggu," kata Andreas.
Sebelumnya Menko Perekonomian, Darmin Nasution memerintahkan Bulog untuk mengimpor bawang putih sebesar 100.000 ton. Impor ini untuk mengendalikan harga bawang putih yang mengalami kenaikan. Bulog, dalam impor kali ini diberikan keleluasaan tanpa harus memenuhi syarat tanam, 5% dari impor yang dilakukan. Sebagaimana lazim dilakukan wajib oleh pihak swasta.
(poe)