Menang Arbitrase, Ekonom Minta Menkeu Waspadai Gugatan Balik IMFA
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah Indonesia berhasil memenangi gugatan arbitrase yang diajukan oleh Indian Metal Ferro & Alloys Limited (IMFA). Kemenangan ini diklaim menyelamatkan keuangan negara sebesar Rp6,68 triliun, yang merupakan kerugian yang dialami IMFA di Indonesia.
Kendati demikian, pakar hukum pidana Universitas Al Azhar Indonesia Suparji Ahmad meminta pemerintah tetap waspada. Menurut dia, pemerintah belum sepenuhnya bisa bernafas lega. Sebab, IMFA masih mungkin mengajukan gugatan pembatalan putusan arbitrase.
"Mereka (IMFA) bisa mengajukan gugatan pembatalan putusan arbitrase ke pengadilan. Tentunya dengan bukti dan alasannya yang jelas, yakni bertentangan dengan kepentingan umum," ujar Suparji di Jakarta, Kamis (4/4/2019).
Dia menambahkan, putusan arbitrase yang dimenangi pemerintah pun itu belum bisa sepenuhnya disebut sebagai penyelamatan keuangan negara. Sebab, masih perlu eksekusi yang diputuskan oleh pengadilan negeri, yakni PN Jakarta Pusat.
"Jika Ketua PN mengakui kekalahan IMFA, maka baru bisa memberikan peritnah untuk pelaksanaan putusan tersebut. Jadi apakah putusan itu sudah diakui dan dilaksanakan oleh pengadilan?" tuturnya.
Terkait sikap kejaksaan yang tidak mengusut pidana kasus yang berawal dari dugaan pelanggaran yang dilakukan mantan Bupati Barito Timur pada saat kontrak itu diberikan, Suparji mengatakan bahwa hal itu harus diusut tuntas. Bahkan, kata dia, KPK perlu melakukan supervisi atas kasus ini.
Sementara pengamat hukum Fajar Trio Winarko menyampaikan apresiasi terhadap tim pengacara di samping kejaksaan yang ikut membantu pemerintah mengalahkan gugatan IMFA. Namun, dia menyayangkan sikap pemerintah mempublikasikan kemenangan sebelum pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase tersebut.
"Mungkin di masa-masa pemilu semua ingin menjadi pahlawan dan melupakan hal-hal teknis dalam hukum, dengan mengedepankan pencitraan terlebih dahulu. Harusnya, tunggu selesai putusan pengadilan negeri dan pastikan ada uang masuk ke kas negara, barul gembor-gembor kemenangan," kata Fajar.
Menurut dia, proses pelaksanaan putusan pun bisa terbilang masih cukup panjang. Sebab setelah dari PN Jakarta Pusat, ketua pengadilan harus mengirimkan permohonan tersebut ke Mahkamah Agung.
"Karena MA merupakan lembaga yang berwenang mengeluarkan putusan eksekutorial atau exequatur atas putusan arbitrase asing tersebut," urainya.
Dia menambahkan, jika Kejaksaan ingin betul-betul berprestasi harusnya juga mengusut dugaan tindak pidana penyalahgunaan wewenang oleh mantan Bupati Barito Timur yang memberikan izin ke IMFA. "Jangan lakukan pembiaran seperti saat ini. Kalau memang bekerja untuk negara ya jangan setengah-setengah. Usut tuntas juga kasus pidananya," ujarnya.
Menurut dia, seusai fakta yuridis kasus tumpang tindih izin konsesi lahan tersebut berasal dari mantan bupati setempat. Sebagai informasi, IMFA menggugat pemerintah dengan alasan adanya tumpang tindih IUP (Izin Usaha Pertambangan) yang dimiliki PT Sri Sumber Rahayu Indah (SSRI) akibat adanya permasalahan batas wilayah yang tidak jelas. Karena tumpang tindih itulah IMFA mengklaim pemerintah Indonesia melanggar BIT India-Indonesia dan menuntut pemerintah membayar ganti rugi kepada IMFA sebesar Rp6,68 triliun.
Kendati demikian, pakar hukum pidana Universitas Al Azhar Indonesia Suparji Ahmad meminta pemerintah tetap waspada. Menurut dia, pemerintah belum sepenuhnya bisa bernafas lega. Sebab, IMFA masih mungkin mengajukan gugatan pembatalan putusan arbitrase.
"Mereka (IMFA) bisa mengajukan gugatan pembatalan putusan arbitrase ke pengadilan. Tentunya dengan bukti dan alasannya yang jelas, yakni bertentangan dengan kepentingan umum," ujar Suparji di Jakarta, Kamis (4/4/2019).
Dia menambahkan, putusan arbitrase yang dimenangi pemerintah pun itu belum bisa sepenuhnya disebut sebagai penyelamatan keuangan negara. Sebab, masih perlu eksekusi yang diputuskan oleh pengadilan negeri, yakni PN Jakarta Pusat.
"Jika Ketua PN mengakui kekalahan IMFA, maka baru bisa memberikan peritnah untuk pelaksanaan putusan tersebut. Jadi apakah putusan itu sudah diakui dan dilaksanakan oleh pengadilan?" tuturnya.
Terkait sikap kejaksaan yang tidak mengusut pidana kasus yang berawal dari dugaan pelanggaran yang dilakukan mantan Bupati Barito Timur pada saat kontrak itu diberikan, Suparji mengatakan bahwa hal itu harus diusut tuntas. Bahkan, kata dia, KPK perlu melakukan supervisi atas kasus ini.
Sementara pengamat hukum Fajar Trio Winarko menyampaikan apresiasi terhadap tim pengacara di samping kejaksaan yang ikut membantu pemerintah mengalahkan gugatan IMFA. Namun, dia menyayangkan sikap pemerintah mempublikasikan kemenangan sebelum pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase tersebut.
"Mungkin di masa-masa pemilu semua ingin menjadi pahlawan dan melupakan hal-hal teknis dalam hukum, dengan mengedepankan pencitraan terlebih dahulu. Harusnya, tunggu selesai putusan pengadilan negeri dan pastikan ada uang masuk ke kas negara, barul gembor-gembor kemenangan," kata Fajar.
Menurut dia, proses pelaksanaan putusan pun bisa terbilang masih cukup panjang. Sebab setelah dari PN Jakarta Pusat, ketua pengadilan harus mengirimkan permohonan tersebut ke Mahkamah Agung.
"Karena MA merupakan lembaga yang berwenang mengeluarkan putusan eksekutorial atau exequatur atas putusan arbitrase asing tersebut," urainya.
Dia menambahkan, jika Kejaksaan ingin betul-betul berprestasi harusnya juga mengusut dugaan tindak pidana penyalahgunaan wewenang oleh mantan Bupati Barito Timur yang memberikan izin ke IMFA. "Jangan lakukan pembiaran seperti saat ini. Kalau memang bekerja untuk negara ya jangan setengah-setengah. Usut tuntas juga kasus pidananya," ujarnya.
Menurut dia, seusai fakta yuridis kasus tumpang tindih izin konsesi lahan tersebut berasal dari mantan bupati setempat. Sebagai informasi, IMFA menggugat pemerintah dengan alasan adanya tumpang tindih IUP (Izin Usaha Pertambangan) yang dimiliki PT Sri Sumber Rahayu Indah (SSRI) akibat adanya permasalahan batas wilayah yang tidak jelas. Karena tumpang tindih itulah IMFA mengklaim pemerintah Indonesia melanggar BIT India-Indonesia dan menuntut pemerintah membayar ganti rugi kepada IMFA sebesar Rp6,68 triliun.
(fjo)