Keluarga Korban Kecelakaan Lion Air Sebut Klaim Ganti Rugi Dipersulit
A
A
A
JAKARTA - Keluarga korban kecelakaan pesawat Lion Air JT-610 yang jatuh Oktober lalu mengatakan bahwa upaya mereka mengklaim ganti rugi atas insiden tersebut dipersulit. Tak hanya dari Lion Air, para keluarga korban menuntut ganti rugi dari Boeing yang secara resmi telah mengakui adanya masalah pada sistem pesawat tersebut.
"Waktu sudah berjalan 6 bulan, tidak ada kepastian ganti rugi dari maskapai. Anak saya yang paling sulung sudah kuliah, tetapi dua anak saya lainnya masih sangat kecil," ujar Merdian Agustin, istri Eka Suganda, salah satu korban kecelakaan pesawat tersebut dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (8/4/2019).
Wanita yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga itu menerangkan, ketika ingin melakukan pencairan dana ganti rugi Maret lalu, dia diwajibkan untuk menandatangani dokumen release and discharge.
"Saya tidak berkenan, karena saya diwajibkan untuk melepas tuntutan saya terhadap Lion Air, Boeing, dan 200 anak perusahaan lainnya. Perolehan ganti rugi dipersulit, Boeing memperlakukan keluarga korban layaknya bagasi. Kami sudah banyak kehilangan, kenapa masih harus dihadapkan dengan hal seperti ini," keluhnya.
Padahal, beberapa hari yang lalu, pihak Boeing menyampaikan permintaan maaf resmi ke publik melalui CEO Dennis Muilenburg. Boeing mengakui adanya permasalahan sistem di pesawat Boeing 737 MAX 8 dalam tragedi yang menewaskan sebanyak 346 korban tersebut.
Kuasa hukum keluarga korban Harry Ponto menegaskan bahwa tidak boleh ada penundaan penggantian rugi lebih jauh. Berkolaborasi dengan Kabateck yang berbasis di Los Angeles dan beberapa firma hukum lain, gugatan terkait insiden ini sudah masuk ke Amerika Serikat (AS) sejak November 2018, ditambah dengan kasus kecelakaan di Ethiopia.
Harry menjelaskan bahwa hal-hal terkait ganti rugi akibat kecelakaan maskapai penerbangan diatur dalam UU Nomor 1 tahun 2009. Lion Air sendiri menjanjikan komitmen ganti rugi sebesar Rp1,25 miliar.
"Meskipun sudah menandatangani dokumen release and discharge, keluarga korban masih berhak untuk meminta ganti rugi tambahan," tegasnya.
Pihak keluarga korban menurutnya ingin menerima ganti rugi tanpa menandatangani dokumen release and discharge tersebut. Kuasa hukum, tegas dia, tak akan segan untuk meminta perlindungan dari pemerintah terkait tuntutan tersebut.
Menanggapi proses hukum di Amerika Serikat, pengacara legal Kabateck Michael Indrayana angkat bicara. "Laporan KNKT dari Lion Air dan Ethiopia belum keluar, sementara proses mitigasi masih berlangsung. Nominal ganti rugi yang pantas masih belum bisa dispekulasi," ungkapnya.
Michael menjelaskan, proses mitigasi di Amerika cukup unik, di mana didalamnya terdapat tahap yang disebut sebagai discovery. Setelah gugatan dikirim dan tergugat menjawab, ada proses dimana kedua belah pihak meminta dokumen kesaksian (evidence) untuk membuktikan kasus. Proses discovery ini menurutnya fleksibel, bergantung kepada berapa banyak data dan seberapa besar kasus yang ditangani.
"Untuk kasus Boeing, akan berlangsung lama karena ada banyak data yang harus dilihat, seperti data engineering, design, laporan kecelakaan, dan data-data lainnya," jelas dia.
Dia menambahkan, tidak ada jaminan atau kepastian seberapa lama kasus ini akan berlangsung. Tetapi, jika angka yang ditetapkan Boeing sudah dianggap pantas dan diterima oleh pihak keluarga korban, kasusnya bisa diselesaikan lebih cepat dan lebih awal. "Tapi sekali lagi, itu masih hal yang belum pasti," tutup pengacara Kabateck itu.
"Waktu sudah berjalan 6 bulan, tidak ada kepastian ganti rugi dari maskapai. Anak saya yang paling sulung sudah kuliah, tetapi dua anak saya lainnya masih sangat kecil," ujar Merdian Agustin, istri Eka Suganda, salah satu korban kecelakaan pesawat tersebut dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (8/4/2019).
Wanita yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga itu menerangkan, ketika ingin melakukan pencairan dana ganti rugi Maret lalu, dia diwajibkan untuk menandatangani dokumen release and discharge.
"Saya tidak berkenan, karena saya diwajibkan untuk melepas tuntutan saya terhadap Lion Air, Boeing, dan 200 anak perusahaan lainnya. Perolehan ganti rugi dipersulit, Boeing memperlakukan keluarga korban layaknya bagasi. Kami sudah banyak kehilangan, kenapa masih harus dihadapkan dengan hal seperti ini," keluhnya.
Padahal, beberapa hari yang lalu, pihak Boeing menyampaikan permintaan maaf resmi ke publik melalui CEO Dennis Muilenburg. Boeing mengakui adanya permasalahan sistem di pesawat Boeing 737 MAX 8 dalam tragedi yang menewaskan sebanyak 346 korban tersebut.
Kuasa hukum keluarga korban Harry Ponto menegaskan bahwa tidak boleh ada penundaan penggantian rugi lebih jauh. Berkolaborasi dengan Kabateck yang berbasis di Los Angeles dan beberapa firma hukum lain, gugatan terkait insiden ini sudah masuk ke Amerika Serikat (AS) sejak November 2018, ditambah dengan kasus kecelakaan di Ethiopia.
Harry menjelaskan bahwa hal-hal terkait ganti rugi akibat kecelakaan maskapai penerbangan diatur dalam UU Nomor 1 tahun 2009. Lion Air sendiri menjanjikan komitmen ganti rugi sebesar Rp1,25 miliar.
"Meskipun sudah menandatangani dokumen release and discharge, keluarga korban masih berhak untuk meminta ganti rugi tambahan," tegasnya.
Pihak keluarga korban menurutnya ingin menerima ganti rugi tanpa menandatangani dokumen release and discharge tersebut. Kuasa hukum, tegas dia, tak akan segan untuk meminta perlindungan dari pemerintah terkait tuntutan tersebut.
Menanggapi proses hukum di Amerika Serikat, pengacara legal Kabateck Michael Indrayana angkat bicara. "Laporan KNKT dari Lion Air dan Ethiopia belum keluar, sementara proses mitigasi masih berlangsung. Nominal ganti rugi yang pantas masih belum bisa dispekulasi," ungkapnya.
Michael menjelaskan, proses mitigasi di Amerika cukup unik, di mana didalamnya terdapat tahap yang disebut sebagai discovery. Setelah gugatan dikirim dan tergugat menjawab, ada proses dimana kedua belah pihak meminta dokumen kesaksian (evidence) untuk membuktikan kasus. Proses discovery ini menurutnya fleksibel, bergantung kepada berapa banyak data dan seberapa besar kasus yang ditangani.
"Untuk kasus Boeing, akan berlangsung lama karena ada banyak data yang harus dilihat, seperti data engineering, design, laporan kecelakaan, dan data-data lainnya," jelas dia.
Dia menambahkan, tidak ada jaminan atau kepastian seberapa lama kasus ini akan berlangsung. Tetapi, jika angka yang ditetapkan Boeing sudah dianggap pantas dan diterima oleh pihak keluarga korban, kasusnya bisa diselesaikan lebih cepat dan lebih awal. "Tapi sekali lagi, itu masih hal yang belum pasti," tutup pengacara Kabateck itu.
(fjo)